Selasa, 16 Juli 2013

Arung Mario 2


TANPA baju dia masih tertidur pulas pagi ini. Tiga botol susu berserakan di sekitarnya. Satu di atas kepala, dua lainnya di sisi kiri dan kanannya.


Itu kebiasaan Arung Mario. Saat tetes terakhir sudah masuk ke mulutnya, botol-botol susu itu akan melayang. Langsung dilemparkan.
"Abis." Begitu katanya. Maksud dia, susunya habis.

Hari ini, usia Arung 2 tahun 6 bulan. Perlahan dia tumbuh menjadi bocah. Dia agak kurus. Tapi tak masalah, saya dulu juga kurus saat seusianya. Ya, setidaknya Arung sehat. Tidak harus menghabiskan banyak waktu di rumah sakit seperti dulu. Dulu, bungsuku ini sangat akrab dengan rumah sakit. Setelah dilahirkan cesar, berturut-turut dia masuk RS sakit tiga kali dan mengkhawatirkan kami. Saat masuk RS yang kedua, saya bahkan sudah merelakannya kembali ke pangkuan-NYA. Arung sudah sangat kurus. Sakitnya parah. Sangat sedih melihatnya. Namun doa ibunya diterima Allah swt. Arung sembuh.

Rasanya bahagia sekali dipilih Allah swt untuk menjadi orang tua Arung. Setiap hari dia memperlihatkan kelincahannya, kelucuannya dan kenakalan kanak-kanaknya. Ia sering mencubit saya. Kadang gigi runcingnya melukai tangan saya. Tapi tak masalah, itu sakit yang menyenangkan.

Saat masih di dalam perut ibunya, saya sudah memulai kisah tentang Arung. Termasuk soal namanya, Arung Mario. Itu dalam bentuk catatan di Facebook berjudul
"Kusiapkan Arung Mario Untuknya". Nama itu saya siapkan jauh sebelum dia lahir.

Saat masih di kandungan, saya juga sudah menggantungkan harapan besar padanya. Kelak saya ingin ia sukses. Mungkin sukses sebagai pemain bola. Saya mau dia meloloskan Indonesia ke Piala Dunia. Amin.

Melihatnya tumbuh, saya makin yakin impian bahwa Arung kelak jadi pesepakbola bukan mustahil. Dia kini bocah yang sangat akrab dengan bola. Arung suka baju dan celana bola yang dibelikan ibunya (Sayang baju Barcelona FC).

"Real Madrid, Chelsea sama Intermilan tidak ada di jual di pasar, Ayah." Itu pembenaran ibunya saat saya memprotes baju pilihannya.

Arung juga akan menangis dan tak mau meninggalkan toko/mal sebelum bola yang diinginkannya dibayar. Ini sudah kebiasaannya. Puluhan bola dan mainan bola-bolaan sukses dia bawa pulang dengan strategi menangisnya. Pernah suatu hari, saat pulang dari M'Tos, Arung pulang ke rumah dengan bola orang dewasa. Dia kelihatan lucu dengan bola itu. Ukurannya hampir separuh tingginya yang saat itu baru satu tahun lebih.

"Nda' mauki pulang. Napeluk terus itu bola sambil menangis. Terpaksa dibayar ka malu-maluki. Untung diskonji," kata ibunya suatu sore saat baru pulang dari mal.

Arung Mario juga sangat suka siaran sepak bola di TV. Dia akan berteriak, "Boya, boya, boya," saat tiba-tiba ada siaran bola di TV. Setelah itu menangis jika chanel dipindah. Pernah juga dia bangun dini hari menonton Liga Champion bersama saya dan berteriak, "Ol!". Maksudnya, gol.

Saat malam, ketika waktu bagi ibu-ibu tiba untuk menonton sinetron, termasuk ibunya, Mario sering muncul jadi pengacau. Pilihan mereka beda. Arung ingin Tendangan Si Madun sedang ibunya mau nonton sinetron lain. Tapi Arung selalu menang dalam "pertengkaran" itu berkat tangisan dan teriakan "boya"-nya yang makin keras.

Tentu saja Arung akan menjadi pesepakbola, sampai hari ini baru sebatas impian saya. Tidak ada yang bisa memprediksi akan seperti apa Arung, kelak, meskipun kini ia sudah "pintar" meniru aksi freestyle Yusuf Mahardika, pemeran Madun. Pastinya dengan gaya kanak-kanaknya; memutar bola di lantai atau meletakkan bola di belakang lehernya sambil mengangkat satu kakinya.

Sepertinya Arung sudah bangun. Saya juga harus segera bangun (duduk). Jika tidak ia akan menggangguku bersama ibunya. "Mamung...mamung aya." Begitu yang ia selalu bilang saat membangunkanku.


Jumat pagi, 5 April 2013
(Saat tetangga asik dengan Ebiet G Ade: kawan coba dengan apa jawabnya...........)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya