Selasa, 16 Juli 2013

Subuh Terakhir di Palm

Jumat, 29 Juni 2012 ini akan sangat berkesan bagi saya. Sama berkesannya dengan Kamis, 10 Mei. 10 Mei lalu saya masuk RS Wahidin Sudirohusodo (RSWS) karena tiba-tiba lumpuh.
Dan hari ini, setelah 50 hari dalam penanganan dokter, saya sudah bisa meninggalkan RS. Tapi bukan keluar karena sudah sembuh. Dokter Ashari B SpS yang menangani saya sudah melakukan semua tindakan medis untuk penyembuhan saya. Artinya tidak ada lagi tindakan lanjutan. Saya harus berobat jalan sebagai langkah selanjutnya.
Dan subuh ini akan menjadi subuh terakhir bagi saya di RSWS.

Banyak kenangan di RSWS. Mulai sejak saya di UGD, ICU, hingga ruang perawatan Palm B2 No.14. Saya ingat bagaimana saya naik taksi sendiri ke RSWS dalam keadaan sudah lumpuh. Lalu bagaimana saya begitu panik di UGD dengan kondisi saya yang memburuk. Sesak nafas, sakit tak terkira hingga bayang-bayang kematian yang membuat saya harus berpikir keras mengingat dimana dan kepada siapa saja saya berutang. Alasannya tentu saja saya tidak mau utang akan mengganggu dan menyiksa saya dalam proses "berpulang" atau jadi sumber pertanyaan "kelak". Di UGD ada juga kenangan saya berteriak-teriak memanggil dokter agar memberi tindakan emergenci karena saya makin sulit bernafas sementara dokternya hanya berdiri "santai". Hingga akhirnya saya tidak sadarkan diri.

Banyak juga pengalaman di ICU. Mulai dari kepanasan, lampu yang sangat mengganggu yang menurut perawat mereka tidak tahu letak saklarnya dimana. Juga pengalaman pertama dimandikan perawat dimana saat itu saya malu-malu. Pernah juga saya cegukan selama tujuh jam pada 15 Mei yang dimulai pukul 19.00 hingga 02.00 wita.

Pengalaman terbanyak tentu saja di Palm B2 No.14. Termasuk bagaimana saya menyiksa diri mengikuti perkembangan final liga champions antara tim kesayangan saya Chelsea dengan Bayern Munchen lewat livescore.com karena TV di kamar hanya menyiarkan TVRI. Padahal TV itu hanya butuh antena dalam seharga RP20 ribu. Berkat antena itu pula, hanya final Piala Eropa yang saya lewatkan di RS. Itupun karena saya sudah keluar RS.

Teman sekamar selama dirawat di Palm juga memberi kenangan tersendiri. Maklum selama 50 hari dirawat, ada tujuh pasien yang sempat menjadi teman sekamar saya. Mulai dari Abdul Rasyid, warga Takalar yang lumpuh, Kamaruddin asal Polman, Sulbar (batu ginjal), Amrin warga Bone (jantung), Adianto dari Toraja (ginjal), Danial Hendrik pegawai Lapas Palopo (prostat), brimob asal Gorontalo, Usman (batu empedu), hingga pendeta dari Kendari asal Toraja bernama
Tikuali yang didiagnosa Malaria.

Mereka ada yang takut disuntik, kerap bertengkar, suka berkeliaran atau yang tidak jelas penyakitnya seperti Tikuali yang awalnya didiagnosa malaria lalu setelah itu tidak jelas lagi apa penyakitnya. Pengambilan sampel darahnya tak membuahkan hasil. Tikuali setiap malam tak bisa tidur. Ia gelisah dan obat tidur yang diresepkan setengah biji tak pernah mempan. Bahkan dua biji plus suntikan pun tak membuat matanya mampu tertutup.

"Dia diguna-gunai. Makanya dokter tidak bisa temukan jenis penyakitnya. Kami akan keluarkan saja baru diobati di Toraja," kata bapak Shinta, saudara Tikuali yang menjemput Tikuali dari Kendari.

Subuh ini, setelah semifinal kedua Italia-Jerman yang dimenangkan Italia dengan skor 2-1 yang berarti negeri pizza itu berhak ke final Piala Eropa, semua kenangan itu muncul. Muncul membaur bersama berbagai perasaan. Saya pasti akan merindukan banyak hal di RS. Rindu akan semangat yang dibawa para dokter saat mereka muncul di pintu ruangan. Sebagai pasien, kemunculan dokter memang terasa sangat berharga. Setidaknya, kami merasa masih ada peluang sembuh. Atau masih ada upaya untuk mengobati kami yang benar-benar harus pasrah pada keadaan. Setelah subuh dan hari ini, suasana tentu akan berubah. Tak ada lagi dokter. Saya tentu harus mencari semangat lain untuk berjuang dan sembuh. Tak boleh lagi mengharap pada kehadiran dokter yang sudah maksimal berusaha mencari tahu penyakit saya dan mengobatinya meski sejak awal mereka lebih sering mengucap kata "sabar" saat akan meninggalkan saya yang terbaring.

Sejak hari ini, tidak akan lagi pembawa nasi, pembawa obat, atau perawat yang rutin datang menyuntik dan menanyakan perkembangan keadaan saya. Mulai hari ini, tidak akan ada lagi cengkrama suster Emma di ruang fisioterapi yang selalu membohongi saya.

"Ya, bagus Pak Amir. Sudah ada perkembangan. Ya, dorong terus. Bagus. Dilatih terus ya." Begitu kata Suster Emma setiap kali saya terapi. Saya tahu kaki saya belum bisa bergerak. Saya tahu saya belum bisa mendorong saat dia perintahkan. Saya tahu Emma hanya berbohong untuk menyemangati saya agar tidak putus asa. Semua saya tahu dengan pasti. Begitulah cara kerja mereka.

Hari ini akan menjadi kehidupan baru saya. Kini, perjuangan saya untuk sembuh masuk pada babak baru. Satu hal yang akan sama adalah tentang mimpi-mimpiku. Saya ingin sembuh dan normal kembali. Didoakan ya dan jaga kesehatan kalian.



29 Juni 2012 pukul 11:50
(Makassar, suatu subuh di pengujung Juni yg penuh ujian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya