Jumat,
29 Juni 2012 ini akan sangat berkesan bagi saya. Sama berkesannya
dengan Kamis, 10 Mei. 10 Mei lalu saya masuk RS Wahidin Sudirohusodo
(RSWS) karena tiba-tiba lumpuh.
Dan hari ini, setelah 50 hari dalam
penanganan dokter, saya sudah bisa meninggalkan RS. Tapi bukan keluar
karena sudah sembuh. Dokter Ashari B SpS yang menangani saya sudah
melakukan semua tindakan medis untuk penyembuhan saya. Artinya tidak ada
lagi tindakan lanjutan. Saya harus berobat jalan sebagai langkah
selanjutnya.
Dan subuh ini akan menjadi subuh terakhir bagi saya di RSWS.
Banyak kenangan di RSWS. Mulai sejak saya di UGD, ICU, hingga ruang
perawatan Palm B2 No.14. Saya ingat bagaimana saya naik taksi sendiri ke
RSWS dalam keadaan sudah lumpuh. Lalu bagaimana saya begitu panik di
UGD dengan kondisi saya yang memburuk. Sesak nafas, sakit tak terkira
hingga bayang-bayang kematian yang membuat saya harus berpikir keras
mengingat dimana dan kepada siapa saja saya berutang. Alasannya tentu
saja saya tidak mau utang akan mengganggu dan menyiksa saya dalam proses
"berpulang" atau jadi sumber pertanyaan "kelak". Di UGD ada juga
kenangan saya berteriak-teriak memanggil dokter agar memberi tindakan
emergenci karena saya makin sulit bernafas sementara dokternya hanya
berdiri "santai". Hingga akhirnya saya tidak sadarkan diri.
Banyak juga pengalaman di ICU. Mulai dari kepanasan, lampu yang
sangat mengganggu yang menurut perawat mereka tidak tahu letak saklarnya
dimana. Juga pengalaman pertama dimandikan perawat dimana saat itu saya
malu-malu. Pernah juga saya cegukan selama tujuh jam pada 15 Mei yang
dimulai pukul 19.00 hingga 02.00 wita.
Pengalaman terbanyak tentu saja di Palm B2 No.14. Termasuk bagaimana
saya menyiksa diri mengikuti perkembangan final liga champions antara
tim kesayangan saya Chelsea dengan Bayern Munchen lewat livescore.com
karena TV di kamar hanya menyiarkan TVRI. Padahal TV itu hanya butuh
antena dalam seharga RP20 ribu. Berkat antena itu pula, hanya final
Piala Eropa yang saya lewatkan di RS. Itupun karena saya sudah keluar
RS.
Teman sekamar selama dirawat di Palm juga memberi kenangan
tersendiri. Maklum selama 50 hari dirawat, ada tujuh pasien yang sempat
menjadi teman sekamar saya. Mulai dari Abdul Rasyid, warga Takalar yang
lumpuh, Kamaruddin asal Polman, Sulbar (batu ginjal), Amrin warga Bone
(jantung), Adianto dari Toraja (ginjal), Danial Hendrik pegawai Lapas
Palopo (prostat), brimob asal Gorontalo, Usman (batu empedu), hingga
pendeta dari Kendari asal Toraja bernama
Tikuali yang didiagnosa Malaria.
Mereka ada yang takut disuntik, kerap bertengkar, suka berkeliaran
atau yang tidak jelas penyakitnya seperti Tikuali yang awalnya
didiagnosa malaria lalu setelah itu tidak jelas lagi apa penyakitnya.
Pengambilan sampel darahnya tak membuahkan hasil. Tikuali setiap malam
tak bisa tidur. Ia gelisah dan obat tidur yang diresepkan setengah biji
tak pernah mempan. Bahkan dua biji plus suntikan pun tak membuat matanya
mampu tertutup.
"Dia diguna-gunai. Makanya dokter tidak bisa temukan jenis
penyakitnya. Kami akan keluarkan saja baru diobati di Toraja," kata
bapak Shinta, saudara Tikuali yang menjemput Tikuali dari Kendari.
Subuh ini, setelah semifinal kedua Italia-Jerman yang dimenangkan
Italia dengan skor 2-1 yang berarti negeri pizza itu berhak ke final
Piala Eropa, semua kenangan itu muncul. Muncul membaur bersama berbagai
perasaan. Saya pasti akan merindukan banyak hal di RS. Rindu akan
semangat yang dibawa para dokter saat mereka muncul di pintu ruangan.
Sebagai pasien, kemunculan dokter memang terasa sangat berharga.
Setidaknya, kami merasa masih ada peluang sembuh. Atau masih ada upaya
untuk mengobati kami yang benar-benar harus pasrah pada keadaan. Setelah
subuh dan hari ini, suasana tentu akan berubah. Tak ada lagi dokter.
Saya tentu harus mencari semangat lain untuk berjuang dan sembuh. Tak
boleh lagi mengharap pada kehadiran dokter yang sudah maksimal berusaha
mencari tahu penyakit saya dan mengobatinya meski sejak awal mereka
lebih sering mengucap kata "sabar" saat akan meninggalkan saya yang
terbaring.
Sejak hari ini, tidak akan lagi pembawa nasi, pembawa obat, atau
perawat yang rutin datang menyuntik dan menanyakan perkembangan keadaan
saya. Mulai hari ini, tidak akan ada lagi cengkrama suster Emma di
ruang fisioterapi yang selalu membohongi saya.
"Ya, bagus Pak Amir. Sudah ada perkembangan. Ya, dorong terus.
Bagus. Dilatih terus ya." Begitu kata Suster Emma setiap kali saya
terapi. Saya tahu kaki saya belum bisa bergerak. Saya tahu saya belum
bisa mendorong saat dia perintahkan. Saya tahu Emma hanya berbohong
untuk menyemangati saya agar tidak putus asa. Semua saya tahu dengan
pasti. Begitulah cara kerja mereka.
Hari ini akan menjadi kehidupan baru saya. Kini, perjuangan saya
untuk sembuh masuk pada babak baru. Satu hal yang akan sama adalah
tentang mimpi-mimpiku. Saya ingin sembuh dan normal kembali. Didoakan ya
dan jaga kesehatan kalian.
29 Juni 2012 pukul 11:50
(Makassar, suatu subuh di pengujung Juni yg penuh ujian)
Selasa, 16 Juli 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya