Selasa, 16 Juli 2013

Bermimpilah, Nak

"Dimanaki? Jadi bapak maki. Matanya sipit. Cantik. Kapanki ke sini?"

Setidaknya seperti itu inti pembicaraan kami. Eka, istriku menelepon. Anak pertama kami telah lahir. Saya kaget. Bukan lantaran prediksi dokter Eka baru akan melahirkan pertengahan bulan. Saya kaget karena malam itu, Jumat, 7 Maret 2003, saya sudah jadi seorang Ayah.

Awalnya saya sempat tak percaya. Dalam hati, mungkin Eka bercanda. Tapi suara tangis bayi membuat saya yakin, Eka serius. Dan saya benar-benar sudah menyandang status baru, orang tua.

Ada rasa yang sulit dilukiskan ketika itu. Kulit wajah seperti menebal. Badan saya gemetar. Oh, senggama kami membuahkan hasil.
******
Rasanya momen bahagia itu baru kemarin. Waktu bergerak begitu cepat. Bayi yang kemudian kami namakan Aura Nursabila itu kini sudah berusia 10 tahun. Hari ini, Rara, berulangtahun. Berbagai kado sudah disiapkan dan kue tar pun sudah terbikin untuk sebuah perayaan sederhana.

Rara kecil sangat lucu. Seperti bayi pada umumnya, dia menggemaskan. Mata sipitnya mengikuti bapaknya (panggilan ke kakeknya dari garis ibu). Rambut lurus dan hidung kurang mancungnya milik ibunya (janganki marah Ibu). Ia tumbuh selincah ayahnya.

Kini, di usianya yang ke-10, Rara sudah kelas IV SD Takkalasi. Ia rangking III di kelas unggulan. Rangking terbaik sejak ia mulai bersekolah. Senang dan bangga rasanya sebagai ayah.

Seiring pertumbuhannya, Rara mulai punya impian. Katanya, ia mau jadi dokter. Nilai IPA dan Matematikanya bagus.
*****
Saya ingat, cita-cita menjadi dokter juga pernah menjadi "impian" saya. Tepatnya, diimpikan Mama saya, neneknya Rara. Mama saya berharap anak bungsunya bisa menjadi dokter. Seperti empat kemenakannya. Impian yang wajar. Orang tua tentu berharap anaknya menjadi yang terbaik. Dan sampai saat ini, profesi sebagai dokter memang masih dianggap yang terbaik, khususnya oleh orangtua-orangtua di kampung.

Tapi saya gagal menggapai mimpi itu. Alasannya banyak. Salah satunya, saya memang tidak pernah mau menjadi dokter. Saya mau jadi detektif.
*********
Menyenangkan sekaligus membanggakan mendengar Rara punya impian menjadi dokter. Setidaknya dia tahu harus bagaimana agar cita-cita itu tercapai.

Sebab saat ini, disadari atau tidak, kita kadang hidup tanpa impian yang jelas. Kita berharap kehidupan mengalir begitu saja tanpa berusaha memastikan ke depannya akan jadi apa.
Akibatnya, selesai kuliah, bingung. Gelar sarjana membuat bimbang.

Saya mungkin salah seorang yang masuk kategori ini. Tapi akhirnya saya lebih beruntung karena tak harus menyandang status pengangguran.

Semua orang tua tentu ingin anaknya punya masa depan yang baik. Termasuk kami. Saya berharap Rara kelak bisa menggapai impiannya dan tentu saja impian neneknya yang tertunda.
******
"Ayah, saya dapat hadiah ulang tahun dari guru dan teman sekolahku," ujar Rara.
Siang ini Rara pulang sekolah dengan bahagia. Senyumnya terus mengembang. Semoga senyum itu akan terjaga, Nak.


"BERMIMPILAH, NAK. SETINGGI MUNGKIN. JANGAN RAGU. KAMI SELALU ADA DI SAMPINGMU"

(Di kursi roda, jam 10 pagi-siang, saat Rara berulangtahun ke-10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya