Selasa, 16 Juli 2013

Setelah Kemeriahan Itu


Subuh yg dingin. Ini subuh terakhir di 2012. Selain suara mobil yg sesekali melintas dan entah tujuannya kemana, nyaris tak ada suara lain. Benar-benar sunyi.


Tiba-tiba saja saya terbangun. Mungkin karena kedinginan. Atau bisa jadi Tuhan memang ingin membangunkan saya. Tuhan ingin saya merenung tanpa harus ada yang mengganggu. Tuhan mungkin ingin saya menapaktilas perjalanan hidup di 2012. Saya lakukan saja.

2012 saya awali dengan kegembiraan. Sebuah rumah baru berwarna kuning muda menjadi pembuka tahun keluarga kami. Rumah yang telah lama diidam-idamkan. Prosesi "masuk rumah" diiringi kemeriahan tiga bocah kecilku dengan kembang api dan petasannya masing-masing. Sungguh malam pergantian tahun yang menyenangkan. Harapan akan sebuah kebahagian sepanjang tahun pun muncul.

Tapi rasanya kesenangan itu berjalan singkat. Hanya dua hari berselang, si bungsu Arqam Arung Mario sakit. Dia muntah dan harus dilarikan ke RS. Sesaat setelah penanganan di UGD RS Ibnu Sina dokter sebenarnya sudah membolehkan Arqam pulang. Namun istri saya, Eka menolak. "Badannya bengkak." Itu kata Eka. Dan benar saja, Arqam mesti menjalani perawatan intensif hampir sebulan.

++++++++*****+++++++++

Saya lahir saat kakek nenek kami tersisa dua; Puang Tutu dan Umming Te'ne. Nenek perempuan dari garis keturunan bapak, Puang Nene' Tajang dan kakek dari garis keturunan ibu, H Dg Masalle meninggal jauh sebelum saya lahir.
Saat kelas I SMA, kakek saya yang memang tinggal di Soppeng, Puang Tutu, menyusul meninggal. Meski sempat sakit-sakitan, kematiannya tetap saja terkesan mendadak. Kabar kematiannya baru tiba beberapa saat sebelum dikebumikan. Kami sekeluarga tak bisa menyentuh jazadnya. Meski sedih, tak ada tangisan dari saya untuk kakek yang selalu saya kenang lewat siulan dan kacamata hitamnya itu.

Sepeninggal Puang Tutu, praktis yang tersisa hanya Umming. Saya cukup dekat dengan Umming. Perempuan kelahiran 1928 itu menjadi salah satu tempat bermanjaku sejak kecil. Banyak kenangan bersama beliau. Saat mahasiswa dan rambut saya agak panjang, Umming sering membelai kepala saya. "Pada bawakko wita makkunraie mbo (artinya: kau seperti perempuan)." Begitu katanya suatu pagi saat ia datang ke rumah kami.

Setiap libur kuliah dan pulang kampung, saya memang selalu menyempatkan waktu ke rumah Umming yang jaraknya hanya sekitar 200 meter dari rumah kami. Demikian halnya saat sudah bekerja. Umming senang sekali bercerita ke saya tentang berbagai hal. Mulai dari kebahagiaannya melihat 48 cucunya yang sebagian besar telah dewasa, hingga kondisi kesehatannya. Ia juga kerap menceritakan masa lalunya, termasuk saat berhaji dengan kapal laut, KM Gunung Jati.

Namun tahun 2012 juga menjadi tahun terakhir kebersamaan kami. 4 Maret 2012 Umming meninggal dunia. Satu kesan yang mendalam, sehari menjelang kematiannya, Umming ingin bertemu saya. Beberapa kali ia menanyakan saya. Saat itu ia sedang dirawat di RS Barru dan saya di Makassar.
Sesaat setelah menerima telepon dari keluarga, saya langsung pulang. Namun karena harus masuk kantor, hari itu juga saya balik ke Makassar. Besoknya, Umming meninggalkan kami semua.

Kabar kematian Umming disampaikan kakak saya, Adil lewat telepon sambil menangis. Saya mencoba kuat. Sepanjang perjalanan dari Makassar ke Barru, saya berusaha mengingat hal-hal yang lucu. Saya tak ingin sedih. Namun ternyata saya tak kuat. Di anak tangga pertama, saya sudah tak bisa menahan air mata.
Hari itu, untuk pertama kalinya saya merasa kehilangan orang tercinta.

+++++++++********++++++++

Kesedihan di 2012 ternyata tak sebatas kehilangan Umming. Kamis, 10 Mei 2012, saya tiba-tiba sakit. Saya tiba-tiba tak bisa menggerakkan kaki dan lumpuh. Tidak jelas penyakit apa yang menyerang saya yang sehari sebelumnya masih sempat bermain bola. Perawatan selama 50 hari di RS Wahidin Sudirohusodo tak mampu menyembuhkan. Diagnosa bermacam-macam pun muncul sebelum dokter menyarankan saya pulang ke rumah saja dan berobat jalan.

Keluar dari rumah sakit, saya masih melanjutkan perawatan medis dengan mengkonsumsi bermacam-macam obat. Dalam sehari saya kadang harus menelan 21 obat untuk tiga kali makan. Setelah tak ada perkembangan signifikan, saran untuk berobat alternatif pun kami ikuti. Saya pun telah berobat di berbagai orang dan tempat. Mulai dari Makassar, Barru, Maros, Pinrang hingga Soppeng. Obat herbal dan peralatan yang bisa membantu perbaikan saraf di tulang belakang juga tak ketinggalan digunakan.

2012 memang tahun penuh "cobaan" bagi saya dan keluarga. Saat sementara berjuang untuk sembuh dari penyakit yang memaksa saya menghabiskan hari di ranjang dan kursi roda, mama saya juga sakit. Pertengahan November 2012, pada suatu malam, mama sakit perut. Ia akhirnya dilarikan ke RS Andi Makkasau Parepare.

Kabar sakitnya mama saya sempat disembunyikan keluarga. Mereka takut saya khawatir dan bertambah sakit. Bapak baru menyampaikannya saat kondisi mama sudah membaik. Tapi ternyata perkiraan bapak salah. Mama harus dioperasi. Ada gangguan di ususnya. Karena kondisi mama kurang bagus menjelang operasi, pengambilan tindakan batal dilakukan. Keluarga juga khawatir sebab diagnosa kurang jelas.

Akhirnya, mama dilarikan ke Makassar. Awal Januari lalu mama pun dioperasi di RS Wahidin Sudirohusodo. Namun ternyata operasi tersebut belum menjadi akhir tindakan medis yang harus dijalani. Rabu, 2 Januari 2013, mama harus menjalani kemoterapi. Rencananya kemoterapi ini akan dilakukan delapan kali.

Sejak pertama di RS hingga hari ini belum sekalipun saya bertemu mama. Saya sengaja tak menemuinya. Saya tak mau membuatnya khawatir.

Senin, 31 Desember ini adalah hari terakhir tahun 2012. Beberapa jam ke depan, 2013 akan segera hadir bersama berjuta harapan umat manusia. Termasuk saya, tentunya. Saya berharap kenangan pahit di 2012 segera berakhir.

Barru, 31 Desember 2012
(Subuh yang dingin dan siang yang penuh hujan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya