Amiruddin ke Bantimurung: Sebuah Mimpi di Kerajaan Kupu-kupu


WANITA-WANITA itu duduk berjejer di depan dagangan masing-masing. Lemari kaca berisi kupu-kupu yang sudah diawetkan sesekali mereka buka. Ada ratusan kupu-kupu dengan nama latin tertera di bawahnya. Sekilas tampak kupu-kupu berbagai warna itu seperti masih hidup.

"Mari belanja, harganya murah," ujar seorang wanita ke sejumlah penumpang bus yang baru saja diparkir. Seraya menawarkan, wanita itu membuka penutup lemari kaca di depannya. Ia menyebut harga Rp 15 ribu untuk satu ekor kupu-kupu. 

Oleh naturalis Inggris kesohor, Alfred Russel Wallaccae yang meneliti 150 jenis spesies pada tahun 1856-1857, kawasan itu dijuluki The Kingdom Butterfly atau kerajaan kupu-kupu.
Dari 150 spesies kupu-kupu nan cantik di kawasan ini, termasuk juga pappilo dan androcles yang sudah langkah.

Tapi The Kingdom Butterfly itu hanya julukan. Nama kawasan itu sebenarnya Bantimurung. Lengkapnya Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Taman seluas 43.750 ha itu ditunjuk sebagai kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 18 Oktober 2004.

Dikelola Balai Taman Nasional, di dalam kawasan ini ada juga Museum Nasional Kupu-kupu yang mempertegas wilayah berjarak 50 km dari ibukota Sulsel, Makassar tersebut sebagai pusat kupu-kupu.

Nama Bantimurung diambil dari gabungan kata, Benti dan Merrung yang dalam Bahasa Bugis (Bahasa salah satu suku di Sulsel) berarti air dan bergemuruh atau air bergemuruh. Konon, itu perlambang sebuah air terjun yang ditemukan Karaeng Simbang, seorang bangsawan Maros yang sempat memimpin di sana.
Lama kelamaan, Benti-Merrung itu kemudian dilafalkan Bantimurung. Ada juga yang mengartikan Bantimurung ini membanting kemurungan.

Maros sendiri dalam perjanjian Bungaya I dan II pada tahun 1667-1667 merupakan daerah yang dikuasai langsung pemerintah kolonial Belanda. Formulasi kerajaan kecil di bawah kerajaan Maros membentuk regentschaap yang dipimpin penguasa bangsawan lokal bergelar regent. Gelar itu setingkat bupati.

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berada dalam kepungan bukit kapur kars. Bukit itu berjejer di sisi jalan dan terlihat sebelum melintasi patung raksasa kupu-kupu yang seolah terbang. Patung ini dibangun beberapa tahun lalu sebagai gapura atau pintu masuk menggantikan patung monyet. Untuk masuk kawasan konservasi ini, kita harus lewat di bawahnya.

Saya ingat tahun 1990, waktu masih SD, saya juga sempat ke Bantimurung. Selain penataan dan keberadaan museum kupu-kupu, yang berbeda ketika itu karena untuk masuk kita melewati patung monyet yang sedang menggaruk kepala dengan tangan kirinya.

Saya ke sana lagi Sabtu, 3 April 2010 lalu. Banyak yang berubah. Terlihat lebih bersih. Beberapa bangunan baru sudah berdiri. Di pintu masuk yang menjadi pos pengambilan karcis, tertera biaya untuk masuk yang terpasang di kaca jendela. Termasuk biaya karcis bagi wisatawan asing.

Tak hanya karena air terjun dan kupu-kupunya, Bantimurung juga dikenal dengan keberadaan guanya. Di Bantimurung ada gua bernama Gua Mimpi. Hari itu, saya bersama beberapa teman menyempatkan diri menelusuri gua itu. Kebetulan memang saat itu ada juga teman dari Surabaya yang ikut bersama rombongan kami dari Makassar.

Jalan menuju ke gua itu cukup sulit. Dari baruga utama yang kami sewa, harus menyeberang jembatan gantung selebar satu meter yang membelah sungai seluas kurang lebih 15 meter. Saat menjejakkan kaki, jembatan tersebut bergoyang. Kita seperti sedang berayung saat melangkah di atasnya. Lepas dari jembatan, kami disambut pria bernama Dedi. Usianya 23 tahun. Mengenakan celana buntung dan kaos oblong, ia menyambut kami dengan tas menggantung di bahunya.

"Biaya penunjuk jalan Rp 50 ribu. Untuk senter, sewanya satu buah Rp 25 ribu," kata Dedi menawarkan jasa menjadi penunjuk jalan kami. Beberapa saat kemudian, empat rekannya muncul dengan setelan sama. Masing-masing membawa tas berisi senter. Mendengar suara besi beradu, saya yakin isi senter di tasnya ada beberapa.

Setelah tawar menawar, dan harga disepakati, kami pun mulai mendaki bukit yang berada di sisi air terjun. Capek juga menyusuri perbukitan kapur itu. Dua teman saya, Ramah Praeska dan Mahadir yang badannya cukup gempal dan jarang berolah raga berulangkali terengah memegang perut masing-masing. Beberapa kali kami harus istirahat di balai-balai reot yang banyak berdiri sepanjang jalan menuju pintu gua. Dalam perjalanan menuju pintu gua, satu persatu kami mengungkapkan harapan mimpi di dalam gua. Bahkan ada teman yang sambil bercanda berharap di dalam Gua Mimpi bisa bermimpi aneh-aneh. Termasuk ingin mimpi basah.

Setelah mendaki sekira 20 menit, kami tiba di pintu masuk gua. Tak terlalu lebar. Hanya sekira tiga meter setengah. Dari luar, tampak di dalam gua sangat gelap. Lampu senter pun satu per satu dinyalakan. Dedi berjalan paling depan. Kami mengikut di belakangnya. Di belakang kami teman-teman Dedi mengawal, juga dengan senternya.

Saat memulai perjalanan menelusuri gua, bergantian kami memukul batu di pintu gua yang mengeluarkan bunyi seperti suara gong. Batu itu berada di sisi kiri lorong gua. Entah siapa yang memulai memukul batu itu. Yang pasti, saya yang berada di bagian belakang juga ikut memukul batu tersebut.

Berbeda dengan gua lainnya, menelusuri Gua Mimpi tidaklah mudah. Pasalnya, kita harus berjalan dalam kegelapan, hanya mengandalkan beberapa senter, di atas jembatan kayu selebar satu meter. Sebenarnya, di dalam gua ini dulu sempat ada lampu. Tapi karena tidak terawat, akhirnya rusak dan hilang dengan sendirinya.Beberapa papan jembatan juga yang sudah patah memaksa kami harus berpegangan di kayu pengaman jembatan. Kondisi jembatan yang basah karena rembesan air dari atas gua membuat perjalanan semakin sulit. Kadang ada teman yang terpeleset.  

Kami terpaksa bertahan di jembatan lantaran untuk turun ke tanah di dalam gua, tidak lebih baik. Kondisi tanahnya licin. Belum lagi batu gunung yang runcing dan air yang terkadang tergenang. Di dalam gua, perasaan takut terkadang mendera saya. Saya selalu membayangkan ular besar di dalam gua yang gelap gulita mengintai kami. Entah pikiran buruk ini juga dialami teman-teman saya yang lain.
Sekira 30 meter menyusuri lorong gua, Dedi mulai menunjukkan satu persatu batu yang bentuknya aneh di dinding-dinding gua. Relief batu yang terbentuk dari tetesan air dan menggantung di atas langit-langit goa itu tampak indah indah dengan kumpulan Kristal.
Pertama kami diperlihatkan batu yang menyerupai ukiran wajah bayi. Batu itu betul-betul persis wajah seorang bayi dengan bentuk muka bulat, mata terbuka, serta ada bibir dan alisnya. Wajah bayi itu tampak jelas disorot senter. Ukuran wajahnya juga sebesar bayi pada umumnya. Kami sempat berpikir bahwa itu sebenarnya patung dan sengaja diukir lalu dipasang di langit-langit gua.  “Cahaya senter harus disatukan untuk melihatnya dengan jelas,” kata Dedi.
Kami tak lama di bawah relief batu berwujud bayi itu. Setelah semua bisa mengamati dan mengiyakan bahwa batu itu memang mirip wajah bayi, kami melanjutkan perjalanan.
Setelah kembali berjalan, kami menemukan batu-batu stalaktif lainnya yang terukir alami oleh air. Sebuah relief batu menyerupai air terjun diperlihatkan Dedi dan teman-temannya. Sama seperti di relief batu berbentuk wajah bayi, kami juga mencecar Dedi dan kawan-kawan dengan sejumlah pertanyaan agar kami yakin bahwa yang ada di langit-langit gua sebelah kiri kami,itu memang menyerupai air terjun.
Pemandu kami itu pun kembali memusatkan cahaya senter di bagian yang dimaksudkan mirip air terjun. Di sana terlihat batu dengan larik-larik menyerupai air yang mengalir turun dari atas dinding gunung. Sama seperti relief wajah bayi, kami juga akhirnya mengiyakan bahwa memang relief itu mirip air terjun.

Setelah berjalan dalam kegelapan sekira 100 meter, Dedi memperlihatkan ke kami batu berbentuk tumbuhan kaktus. Ada dua batu berdampingan yang memang menyerupai tumbuhan kaktus. Di lokasi ini, kami tak bertanya banyak. Saat cahaya senter mengarah ke dua batu yang berdiri berdampingan, saya langsung ingat gambar-gambar kaktus yang sering saya lihat, termasuk di film-film.
Relief batu menyerupai wanita berjilbab kami temukan selanjutnya. Yang membuat batu itu mirip wanita berjilbab adalah garis di keningnya. Garis melintang itu memang mirip jilbab. Batu menyerupai wanita berjilbab dengan kedua bola mata itu hanya sebatas kepala hingga dada saja. Tak jauh dari situ, ada juga relief batu menyerupai kain horden.
 Dedi dan kawannya yang mengantar kami sangat hafal dengan isi gua tersebut. Setiap kali melewati batu dengan model tertentu, pasti mereka berhenti dan menunjukkannya ke kami. Silih berganti mereka memberi penjelasan soal batu-batu tersebut. Beberapa kali kami sempat bertanya bagian mana dari batu  yang menyerupai gambar yang dimaksud.

Melanjutkan perjalanan, kami yang terkadang harus berjalan sambil memiringkan badan karena gua sempit seperti berada di alam mimpi saja. Berbagai batu berbentuk aneh kami lewati. Termasuk batu menyerupai sepasang alat kelamin manusia. Dua batu yang mirip model alat kelamin dan berdampingan itu berada di pertengahan gua sepanjang kurang lebih 1 km. Cukup lama kami ditempati ini. Teman-teman panitia DBL (Deteksi Basket League, satu even basket  antarsiswa yang dilaksanakan Jawa Pos) juga ikut bertanya soal batu yang dimaksud. Batu mirip kelamin laki-laki berada di sebelah kanan. Sedangkan relief batu berbentuk kelamin wanita di sisi kirinya. Jaraknya sangat dekat. Saya menerka-nerka sekira satu setengah jengkal saja. Kedua batu ini berada di langit-langit gua sebelah kanan dari arah kami masuk.

Ada juga batu berbentuk mirip penjual jamu dengan bakul tempat jamu di pundaknya. Pada bakul terlihat batu berukir menyerupai botol-botol jamu yang berjejer. Di bagian lain, terlihat batu menyerupai tangan. Karena merasa batu berbentuk tangan itu tak terlalu menarik, kami pun hanya sekadar lewat saja dan mengikuti gerakan cahaya senter.
Gua Mimpi juga memperlihatkan ke kami isinya berupa relief batu berbentuk kucing. Setelah itu ada juga  keris, orang bungkuk dengan tongkatnya, ibu-ibu yang sedang menggendong bayi, deretan candi, serta ayam jago.
Saat mendekati ujung gua, kami diperlihatkan batu yang menyerupai buaya. Di tempat ini, perjalanan kami agak terhambat. Pasalnya, selain jalanan licin karena rembesan air dari atas, kami juga harus mengangkangkan kaki lebar-lebar agar bisa naik ke batu yang pada beberapa bagian terlihat tergenag air. Sempat juga teman-teman yang berjalan di depan menginstruksikan kami membasuh muka dengan air rembesan dari langit-langit gua. Katanya itu harus dilakukan agar bisa selamat keluar dari gua. Tapi ternyata tak semua teman menurut. Yessi, salah satunya. Panitia DBL asal Makassar yang ikut bersama kami ngotot tidak mau membasuh mukanya meski teman-temannya sesame panitia DBL terus mendesak dan menakut-nakuti dia. Tak jelas alasannya. Bisa jadi, ia tak mau menghilangkan bedak di wajahnya. Teman-teman yang berjalan di depan  ternyata memang hanya mengerjai kami. Saat Yessi ngotot melewati batu-batu yang menyerupai lantai itu, mereka tertawa.

Di dalam gua sebelum keluar, beberapa kali kami istirahat dan berfoto bersama. Sayangnya, batu bergambar yang kami dapati sepanjang lorong gua tak bisa diabadikan karena suasana di dalam gua gelap gulita. Blitz kamera yang kami bawa meskipun cukup bagus tak mampu mengalahkan gelap dalam gua.

"Di sini ada 34 batu yang menyerupai benda, bagian tubuh manusia, serta binatang dan hewan tertentu," jelas Dedi.

Setelah menyusuri gua hampir satu jam, kami pun tiba di pintu keluar gua. Menuju pintu keluar, kita harus merangkak naik. Pintu gua berada di bawah sebuah pohon besar. Berbeda dengan pintu masuk yang cukup lebar, saat keluar, kita harus antre. Pasalnya pintu keluar hanya menyerupai sebuah lubang kecil yang muat satu orang saja.  Juga sangat licin lantaran jalan keluar itu adalah lubang tanah.

Saat berada di luar, saya mendekati Dedi. Saya masih penasaran dengan nama gua tersebut. Dalam hati saya berpikir bahwa Gua Mimpi menjadi nama gua tersebut lantaran berbagai model batu yang ada di dalamnya. Kita seolah bermimpi melihat itu semua. Bukan seperti asumsi kami sebelum masuk bahwa di dalam gua kita akan bermimpi tentang suatu kejadian atau perisitiwa tertentu sesuai keinginan kami. Tapi ternyata kesimpulan saya salah.

"Gua ini dinamakan Gua Mimpi karena ditemukan lewat mimpi oleh bupati Maros tahun 1986 silam. Setelah bermimpi melihat gua ini, Puang Sakka, salah seorang warga Maros kemudian diperintahkan masuk. Ternyata memang betul ada gua ini. Saat itulah jembatan kayu di dalam gua dibangun," tutur Dedi.

Menurut Dedi, memang banyak pengunjung Bantimurung yang menganggap saat masuk gua mereka akan bermimpi. Padahal kenyataannya tidak demikian.

"Banyak yang berpikir demikian. Tapi memang kami baru menjelaskannya saat di luar gua," katanya. Itu agar pengunjung penasaran dan betul-betul bisa menikmati perjalanan di dalam gua.

Dari pintu keluar gua, kami berjalan menuruni bukit. Perjalanan juga tak kalah sulitnya disbanding saat kami menuju pintu masuk gua. Hanya saja jika saat menuju pintu gua kami menanjak, saat itu kebalikannya. Tapi tetap saja sama susahnya. Berjalan menuruni bukit, beberapa kali kami juga harus berhenti karena kecapekan. Setelah sekira 10 menit, kami akhirnya sampai di perkampungan warga.
Perkampungan itu berada di luar area Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Menyusuri jalan di perkampungan itu, kami tiba di tempat parkir. Sama seperti saat kami masuk siangnya, sore itu ratusan kendaraan masih terparkir di sana. Bahkan puluhan pengunjung lain dengan mobil dan motor terlihat baru datang.
Untuk masuk kembali ke Bantimurung, kami langsung melapor ke petugas karcis. "Dari Gua Mimpi? Silakan masuk," kata petugas pria saat melihat kami mengangguk. (amiruddin@fajar.co.id)