Dari Rumah Kampung

Suasana di kampung Bungi malam itu sudah sunyi. Angin malam yang berembus membuat se isi kampung menjadi dingin. Sebagian besar mata lampu di rumah warga yang seluruhnya masih rumah kayu sudah padam.
Pukul 20.30 ketika itu.

Di atas sebuah rumah panggung berukuran sedang, dua anak laki-laki usia enam tahun dan tiga tahun, Adil dan Afdal sudah terlebih dulu terlelap di salah satu kamar. Sedangkan ibunya terbaring di atas ranjang didampingi beberapa wanita. Bapak kedua anak itu, terduduk di ruang tamu dengan mimik cemas. Pukul 21.00 wita, suara bayi pun terdengar.

St Syamsiah nama si ibu itu telah melahirkan dibantu bidan desa. Bayinya mungil. Hidung mancung, dan rambut ikal. Kulitnya mengikuti bapaknya. Agak gelap. Saat lahir, satu persatu keluarga ibunya melirik
padanya sambil bergumam.

Nama bayi laki-laki itu, Amirullah. Bapaknya, Saloge M, guru SD bergaji rendah. Maklum Saloge hanya tamatan SPG di Kabupaten Soppeng. Ia ditakdirkan berjodoh dengan Syamsiah seorang anak pedagang di Bungi Kabupaten Barru yang tak lain masih kemanakannya sendiri.

Hingga umur satu tahun, Amirullah sudah mengukir banyak cerita. Menurut bapaknya, ia balita yang lucu. Hingga akhirnya nama itu menghilang untuk selamanya.
+++++++++++++++++++
Waktu itu tahun 1979. Rumah panggung di Desa Lalabata itu selalu ramai. Ada saja keluarga si pemilik rumah yang singgah. Dari Soppeng. Juga dari desa lain di kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.Tapi ada dua tamu keluarga itu yang paling berkesan. Keduanya bernama Amiruddin. Satu bernama lengkap dr Amiruddin Aliah. Satunya lagi Andi Amiruddin. Nama itulah yang kemudian menjadi nama anak bungsu keluarga ini, Amiruddin. Amiruddin Aliah yang seorang dokter dan Andi Amiruddin yang seorang ulama asal Maros menarik hati keluarga Anwar Saloge dan St Syamsiah untuk kemudian memilihnya menjadi nama anak ketiga mereka.

“Dulu dr Amiruddin dan Andi Amiruddin selalu singgah di rumah kami. Makanya kami memberi nama anak bungsu kami Amiruddin. Kami berharap ia kelak menjadi pintar dan saleh seperti dokter dan ulama,” kata Anwar suatu waktu.

Nama itu memang doa. Itu terlihat mengikuti pertumbuhan Amiruddin. Ia anak yang cukup encer otaknya. Sejak kelas I SD, selalu juara kelas. Di rumahnya, saat sepupu-sepupunya dari Makassar datang berlibur dan bapaknya menguji kemampuan mereka lewat soal hitungan dan mata pelajaran lain, Amiruddin selalu yang terbaik.

Prestasi Amiruddin berlanjut hingga SMP dan kelas II SMA. Saat kelas III, pergulatannya semakin kuat. Orang tua dan wali kelas menginginkan dia menjadi dokter, kelas Ilmu Pengetahua Alam (IPA) adalah yang paling ideal. “Padahal saya suka Ilmu Pengatahuan Sosial (IPS) dan kelas bahasa,” kata Amiruddin.

Amiruddin melampiaskan dengan minuman keras dan rokok. Ia jadi anak nakal. “Bentuk penolakan,” lanjutnya. “Saya hampir tak lulus.”

“Amiruddin itu anak yang pintar. Makanya kami masukkan ia ke IPA,” kata bapaknya.

“Kami mau dia menjadi seorang dokter seperti beberapa sepupunya.”
Ibunya, Syamsiah selalu punya harapan anaknya kelak seorang dokter.

Sempat menganggur setahun lantaran tak lulus di Fakultas Kedokteran Unhas, meneruskan mimpi orangtuanya yang menginginkannya menjadi seorang dokter, Amiruddin akhirnya kuliah juga. Ia menjadi salah
seorang mahasiswa Fakultas Sastra angkatan 1998 dan menyelesaikan studinya lima tahun kemudian.
++++++++++++++++++++++++++
++++
“Ayo bangun Lambato. Mandi baru ke sekolah,” kata bapaknya seraya duduk di bibir ranjang. Sesekali ia membelai wajah anak bungsunya. Menciuminya tanpa merasa jijik meski bisa jadi dari mulut Lambato yang akrab dengan air liur keluar bau tak sedap.
“Saya tidak mau bangun kalau tidak digendong.” Lambato merajut minta digendong. Itu kebiasaan Lambato kecil. Jika tidak digendong bapaknya, Lambato pasti tidak akan bangun. Ia akan memilih melanjutkan tidur dan mimpi-mimpinya. Termasuk mimpi bermain, dikejar setan, hingga kesenangannya berenang di sungai.

Kebiasaan Lambato itu berlangsung sejak masuk sekolah dasar. Bapaknya yang memanjanya berlebihan menjadikan ia menjadi sosok raja di rumahnya. “Jika tidak digendong, dia tidak akan bangun. Bahkan akan
menangis sehingga suaranya terdengar para tetangga,” kata bapaknya.

“Etta, epa’ka (dalam bahasa Bugis: Bapak gendongka).” Itu menjadi teriakan rutin setiap pagi Lambato. Teriakan yang kerap mengganggu telinga tetangganya saat pagi.

Perilaku manja ini bukan hanya diketahui para tetangga. Beberapa sepupunya yang seumuran dengannya juga tahu. Tak heran Lambato kerap diolok-olok. “lajabae (si cengeng).”

Sifat manja Lambato memang agak keterlaluan. Kebisaan bangun harus digendong bapaknya bahkan berlanjut hingga kelas I SMP. “Waktu kecil, kalau bukan bapaknya yang menggendong, ia tidak akan
bangun. Malah menangis dan susah didiamkan. Dia baru berhenti menangis kalau bapaknya sudah menggendongnya,” kata ibu Lambato.
++++++++++++++++++
Namanya Miru. Ia anak yang kurus. Tapi badan kurus itu ada hikmahnya. Ia menjadi anak yang sangat lincah. Di kampungnya, di Lalabata, ia dikenal anak seusianya jago main bola. Tak heran, jika setiap ada
pertandingan bola antar anak-anak ia selalu ikut.
Kemampuannya mendrible bola dan kecepatannya berlari membuat ia sangat disegani hingga ke kampung lain. Usia 13 tahun, ia sudah mengenal sepatu bola. Dan saat porseni (pekan olahraga dan seni) antar wilayah, ia sudah menjadi salah satu pemain andalan sekolahnya, SMP Padaelo, yang kini sudah ganti nama menjadi
SMPN 1 Tanete Rilau.

Bakat bermain bola Miru menurun dari bapaknya. Kecepatan larinya sebagai striker juga turun dari bapaknya. Suatu waktu, bapaknya pernah bercerita bahwa di Soppeng, saat masih muda, ia pernah menjebol gawang seorang kiper ternama dari Makassar dengan tumitnya. Dari tiga bersaudara, bakat bermain bola itu hanya turun ke Miru.

Karena bakatnya ini, Miru pun sudah bergabung dalam tim sepak bola di desanya saat masih kelas II SMA. Bahkan untuk anak seusianya di desa berpenduduk lebih dari 1500 orang, dialah satu-satunya yang mampu
bergabung di PS Pola Putra, tim bola kampungnya. Ia keliling kabupaten bertanding.

Bakat main bola ini juga didukung staminanya yang bagus. Maklum sejak kecil, sungai menjadi tempat tumbuhnya. Tak heran jika ia sempat nyaris menjadi korban keganasan sungai. Dua kali ia nyaris tenggelam saat belum pintar berenang. Ia hingga kini masih tetap hidup berkat pertolongan teman-teman kakaknya.

Sayang, pergaulan di sekolah dan di kampungnya ternyata sangat mempengaruhi hidupnya. Ia menjadi sosok remaja yang nakal. Tiada malam tanpa keluar rumah. Tidak ada acara pesta kawinan yang dilewatkan.

Setiap ada pesta kawinan yang menyewa orkes (jenis hiburan yang disewa keluarga pengantin di kampung-kampung pada tahun 1990-an) ia pasti ada di sana. Tak peduli harus menyetop mobil truk dan bergantung di
bak samping bersama temannya. Rokok dan minuman keras pun ia mulai kenal. Hingga akhirnya, ia sempat terlibat penganiayaan yang mengantarnya menjadi buron setahun pada tahun 1997.

Meski ia membela diri bahwa penganiayaan itu bukan atas perintahnya. “Saya bilang Tanya dulu dia dari SMA 1 Barru kelas II 8 atau bukan. Kalau dia bilang iya, pukul saja. Tapi belum dijawab, anak-anak sudah
mengeroyok,” kata Miru membela diri. Walau demikian, ia tetap disalahkan oleh teman-temannya yang harus mendekam di sel selama beberapa bulan. Apalagi setelah teman-temannya setiap malam mendapat penyiksaan aparat.

Penganiayaan yang mengantarnya menjadi buron setahun ini bermula dari pengeroyokan yang menimpanya di salah satu pesta kawinan di kampung tetangga, malam sebelumnya. Ia dikeroyok lantaran dianggap mau
mengacau. Meski belakangan pemilik hajatan tahu bahwa mereka salah orang. Malam itu, Miru yang mengenakan jaket merah disangka remaja yang baru saja didorong dari panggung karena berjoget. Ia yang
kebetulan melintas di depan panggung dalam kuasa alkohol langsung dipukul dari belakang seorang pria dan diikuti keluarga pengantin lainnya. Ia dikeroyok hingga benjol-benjol.

Belakangan si pria yang memukulnya pertama kali ia ketahui ternyata masih kerabatnya. Keluarga pengantin pria juga tidak tahu bahwa yang mereka keroyok adalah tetangga pengantin wanita.

Tapi, nasi sudah jadi bubur. Yang ada di pikiran Miru hanya balas dendam. Dan keesokan harinya langsung ke pasar Pekkae, yang selalu ramai dengan anak-anak muda. Pasar ini berada di ibu kota kecamatan. Bersama teman-temannya, Miru ke pasar mencari anak muda kampung tetangga tempat dia dikeroyok. Dari situlah awal dia harus buron setahun. Tidak menemukan anak muda kampung tempatnya dikeroyok, musuh lama pun jadi incaran dan ternyata salah orang. Yang dikeroyok teman-temannya ternyata belakangan diketahui adalah petugas.

Miru sendiri agak beruntung bisa lolos dari polisi. Di hari kejadian, tepatnya hari Jumat, ia memang sudah punya firasat buruk. Makanya siang itu, ia tidak langsung pulang ke rumahnya. Miru memilih ke rumah tetangganya yang kepala desa.
“Rumah kita sudah dikepung polisi. Yang dikeroyok temanmu tadi petugas.
Sembunyi saja dulu di rumah kepala desa sampai mereka pergi,” kata kakaknya, Dada dengan mimik gugup saat Miru akan pulang ke rumahnya lewat belakang. Saat itu, polisi yang berjaga di belakang rumah hanya berjarak beberapa meter saja namun terhalang tembok rumah.

Setelah salat jumat, Miru kembali ke rumahnya yang hanya berjarak dua rumah dari rumah kepala desa. Belum sempat masuk ke rumah, ia sudah diadang bapaknya.

“Pergilah Nak. Kemana saja, yang penting kamu tidak ditangkap. Polisi banyak di depan rumah,” kata bapaknya.

Tanpa meminta uang lagi, Miru langsung berlari ke belakang rumah. Sekira 100 meter dari rumahnya, ia ke jalan dan menyetop bus menuju Pangkep. Di Pangkep, setelah bermalam semalam, perasaan was-was
menghantuinya. Ia kemudian lari ke Makassar. Dan benar saja, baru beberapa menit meninggalkan rumah omnya polisi kembali datang.

Selama dalam pelarian, yang ada hanya penyesalan. Setahun tak pernah pulang kampung membuatnya hidup dalam kesepian. Belum lagi harus meninggalkan pacar yang akhirnya menikah tanpa ada kata putus. “Pernah
suatu malam saya menangis dalam tidur. Saya menangis tersedu. Untuk pertama kalinya saya berpisah dengan orangtua dan harus langsung setahun. Saya bahkan sudah sempat mau menyerahkan diri namun urung karena keluarga melarang. Takutnya saya disiksa di sel,” kata Miru.

Dalam pelarian itu, Miru hampir mendaftar jadi polisi. Mendaftar tentara juga sempat ada di benaknya. Meski akhirnya batal karena ia memilih untuk kuliah.
++++++++++++++++++++++++++
Entah karena alasan apa, mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah Unhas itu dipanggil teman-teman jurusannya Bucek. Bisa jadi nama Bucek ini muncul karena teman-temannya melihat rambutnya yang gondrong. Ia disamakan dengan salah seorang artis tenar dengan perawakan besar dan rambut gondrong juga, Bucek Dev.
Kemungkinan juga nama itu muncul begitu saja dan asal disebut teman-temannya. Maklum, bukan rahasia jika sejumlah mahasiswa punya nama panggilan tersendiri di dalam kampus. Alasannya sekadar ingin lebih terdengar keren.

Tapi tak banyak kisah soal si Bucek. Hanya temannya Chytos, rekan Bucek bernama Hasyim dan Nurul yang masih menggunakan nama itu untuk menyapa setiap kali mereka ketemu kini.
++++++++++++++++++++++
Tahun 2003 menjadi sedikit berkesan bagi mahasiswa kurus tersebut. Di tahun-tahun terakhir masa kuliahnya, ia didaulat sebagai koordinator lapangan (korlap) Ospek mahasiswa baru Fakultas Sastra Unhas. Jabatan
yang memosisikan dia sebagai penanggungjawab penuh “perpeloncoan” maba. Sebuah penghargaan tentunya. Sebab selama kuliah, ia sama sekali tidak pernah diamanahi jabatan dalam struktur kepengurusan himpunan
atau pun senat mahasiswa.

Nama mahasiswa tersebut Miro. 200-an maba Fakultas Sastra saat itu pun akrab dengan namanya. Bukan tanpa alasan. Sebab di tangan korlap opspek lah “keselamatan” maba dalam sehari tergenggam. Kalau di
lapangan Miro berteriak,”semua berguling.” Pasti seluruh maba akan berguling. Atau ketika Miro berteriak lewat microfon.”persempit volume.” Sudah pasti ada maba yang terjepit dan terjatuh bahkan
terinjak-injak. Tapi saat korlap menegaskan tidak ada aksi kekerasan, semua juga mengikut.

Tidak ada yang istimewa dalam keseharian Miro di kampus. Ia lebih banyak dikenal sebagai mahasiswa yang nakal. Celana robek-robek. Baju seluruhnya oblong. Semua karena pergaulan dan perasaan sebagai anak
kota karena ngekos di kota Makassar meski ia sebenarnya asli anak kampung.

Sabang hari mata merah karena begadang. Minuman keras pun bukan hal asing. Malah terkadang pocong pun disantap. Apalagi dengan modal Rp 1000 atau Rp 2000, pocong sudah bisa dinikmati di toilet atau lantai
III kampus. Kerap kali juga permainan kartu menyita waktu dan uang jajannya bahkan uang kuliah.

Kehidupan yang kelam di bangku kuliah ini juga lantaran kekecewaan Miro di kampusnya. Nama besar kampusnya ternyata hanya bisa memberinya sedikit ilmu. Asisten dosen yang sudah menjadi langganan pengisi ruang kuliah membuatnya kecewa. Ada juga sesal karena tak bisa memenuhi keinginan orangtua yang mengharapkannya jadi seorang dokter. Dalam konflik bathin yang luar biasa, ia malah sempat memutuskan berhenti kuliah karena merasa tak mendapatkan apapun di kampus.

Tapi perasaan berdosa dan cinta ke orangtua selalu ada di hati dan pikirannya. Meski agak bandel, ia tetap mampu menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana di awal 2004. Gelar SS (sarjana sastra) pun kini
mengikut di namanya.

“Saya merasa sama sekali tak mendapat apa-apa. Makanya sempat juga saya berpikir untuk berhenti kuliah saja. Syukur saya bisa sarjana. Tapi saat ini, ijazah saya masih di kampus,” kata Miro.

Nama Miro kini masih melekat. Teman sepergaulan di kampus dan mahasiswa masih akrab dengan nama ini.
+++++++++++++++++++
Saya lahir dan besar di sebuah kampung bernama Bungi, Desa Lalabata, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru. Kampung saya itu berjarak 85 km ke arah utara Makassar. Saya sebenarnya lahir Rabu, 15 Agustus 1979. Namun orangtua sepakat mendaftarkan tahun kelahiran saya tahun 1978.

Saya menghabiskan masa kecil dalam keluarga sederhana. Bapak seorang guru SD. Sementara ibu menghabiskan waktu di rumah sebagai ibu rumah tangga. Praktis, penghasilan keluarga pas-pasan untuk membiayai saya dan kedua kakak saya bersekolah dan juga tentu kebutuhan lainnya.

Saya masuk SD di usia tujuh tahun. Empat tahun di SD Lalabata, sebuah SD di Desa Lalabata, saya kemudian meminta pindah ke sekolah bapak di Coppeng-Coppeng, berjarak satu km dari rumah. Saya ingat, waktu itu saya minta pindah lantaran sering diejek teman sekolah pacaran dengan salah seorang murid perempuan bernama Hatijah.

Mungkin karena masih kanak-kanak, perasaan malu diejek sudah pacaran sangat besar dan akhirnya saya memutuskan pindah. Di sekolah pertama, saya tak pernah melepaskan rangking II. Mulai kelas I hingga kelas IV. Satu prestasi lainnya, saya pernah tampil live menyanyi di TVRI. Judul lagunya, Desaku Yang Kucinta.

Saya pindah sekolah, mungkin karena tidak ada saingan, rangking I menjadi langganan hingga menamatkan SD. Bakat seni saya berlanjut. Ini mungkin turunan dari bapak yang setahu saya lihai memainkan beberapa alat musik, membaca not dan menyanyi. Saat kelas V SD, saya sempat mengikuti lomba piano tingkat provinsi mewakili Barru. Meski tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan.

Lulus SD, saya lanjut ke SMP Padaelo. Di sini, meski masih sempat mengikuti porseni (nyanyi solo), tapi bakat bermain bola sudah dominan. Ini juga buah hubungan darah saya dengan bapak yang juga suka bola. Hingga lulus, rangking dua besar juga tak pernah saya lepaskan di kelas.

Tamat SMP, saya melanjutkan sekolah ke SMAN 1 Barru dan lulus tahun 1997. Setahun menganggur karena gagal UMPTN, saya akhirnya kuliah juga di Kampus Merah, Universitas Hasanuddin.

Lima tahun kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, saya akhirnya meraih gelar sarjana dengan IPK 3,34. Banyak teman yang curiga IPK tersebut didongkrak. Wajar sebab saat itu, saya memang dikenal agak bandel.

Hanya berselang sepekan setelah sarjana, dengan berbekal surat keterangan lulus, saya mendaftar di Harian Fajar dan lulus menjadi seorang wartawan. Meski mendaftar tanpa perencanaan matang lantaran niat awal hanya menemani sepupu yang juga mau mendaftar, saya ternyata bisa bertahan di Harian Fajar hingga saat ini. Berhitung dari proses pendidikan, malam ini, Senin, 12 April 2010, sudah berjalan tujuh tahun saya mengabdikan hidup ke masyarakat yang haus akan informasi.

Saya kenal Amirullah, Amiruddin, Miru, Bucek, serta Miro. Mereka menemani saya sejak bayi hingga sekarang. Karena saya memang adalah mereka. (amiruddin@fajar.co.id)