Pesona Malang

USIA pria itu 60 tahun lebih. Saya memandanginya, Kamis, 8 April sedang duduk di kursi tamu Graha Pena, gedung tempatku bekerja tiga tahun terakhir ini. Ia telah menunggu saya sekira 15 menit. Pakaiannya sederhana. Baju kaos berkerah warna biru tua dengan celana kain warna yang sama. Kerut di wajahnya meng...gambarkan usianya yang sudah tua. Belum lagi rambutnya yang sebagian besar sudah memutih.

Awalnya saya menolak untuk menemuinya. Apalagi setelah mendengar bahwa ia datang ke Graha Pena untuk urusan sengketa tanah.

"Kalau urusan sengketa tanah antarwarga, sebaiknya minta saja mereka selesaikan di polisi atau pengadilan. Itu rawan dan kita juga tak bisa memberi solusi. Kecuali kalau tanahnya terkait pemerintah atau tokoh dan pengusaha besar." Kalimat yang dilontarkan senior-senior saya di perusahaan tempatku bekerja selalu teringat. Itu pula yang membuat saya enggan untuk keluar dari ruang redaksi menemui si pria tadi.

Tapi perasaan manusiawi, tak ingin mengecewakan dan sekadar ingin menghargai kedatangan pria tadi membuat saya tetap melangkah keluar mencari sosoknya.

"Kita yang punya kasus tanah, Pak?" Saya bertanya padanya sebelum duduk di hadapannya. Dia hanya melongok memandangi wajah saya. Tampak ekspresi penuh selidik dari raut wajah itu.
Dia tak bereaksi. Hanya melotot ke saya saja.

"Bagaimana kasusnya, Pak?" Saya kembali bertanya setelah duduk. Lagi-lagi ia terdiam.

Saya pun ragu dan melirik ke security yang tadinya menyampaikan ke saya soal warga yang datang dengan kasus tanahnya. Secutiry kantor dari balik pintu kaca hanya memberi tanda jika yang saya hadapi sore itu sudah betul orang yang mencari wartawan untuk kasus tanahnya.

Saya pun bertanya ulang soal kasusnya lagi. Tapi bukannya menjawab, ia malah mendekatkan telinganya ke wajah saya. Saya berpikir, mungkin lelaki tua ini sudah tuli. Makanya saya mengeraskan suara bertanya ulang lagi.

"Taisseng mua mabbicara ogi kapang (Mungkin kita bisa bahasa Bugis=salah satu bahasa suku di Sulsel)," katanya pelan. Bahkan lebih pas disebut berbisik. Ia melirik kiri kanan usai berkata demikian. Entah apa maksudnya.

Melihatnya kebingungan, saya langsung menyambung kalimatnya,"Iye, iya Ogi muto (Iya, saya juga orang Bugis)," saya menjawab pertanyaannya dengan Bahasa Bugis.

Wajahnya terlihat senang. Ia lalu memperkenalkan diri. Katanya ia bernama Andi Pesona. Setelah itu ia langsung berserita soal kasusnya.

Ia mengaku punya kasus tanah di Soppeng, satu kabupaten di Sulsel yang berjarak kurang lebih 150 km dari Makassar. Menurutnya, ia telah membeli sawah seharga Rp 1 juta di Kecamatan Ganra. Belakangan sawah yang ia beli disaksikan beberapa saksi dan perjanjian jual belinya ditandatangani kepala desa diambil alih orang lain. Ia sudah memprotesnya. Tapi bukannya sawah kembali padanya, malah ia diperlakukan kasar. Ia mengaku telah dipukul. Dipaksa bertanda tangan di secarik kertas berisi perjanjian bahwa tanah sawah yang ia miliki hanya digadai pemiliknya. Karena diancam surat perjanjian jual belinya dirobek dan dipukul, ia pun pasrah. Tanda tangan pun ia bubuhkan 2007 silam.

Tapi bukan berarti ia mengalah setelah menandatangani surat pengakuan itu. Ia memutar otak mencari orang yang kemungkinan bisa membantunya setelah sebelumnya ia melapor ke polisi dan kasusnya bergulir di pengadilan. Bertemulah dia dengan orang yang mengaku wartawan yang mengaku siap membantu. Ia juga bertemu dengan anggota dewan yang mengaku bisa mencarikannya pengacara. Uang pun mulai ia keluarkan untuk urusan tanahnya. Malah saat mendapat informasi bahwa ia
pasti menang di pengadilan negeri Soppeng, uang yang ia keluarkan pun semakin banyak. Jauh lebih besar dari harga tanah yang ia sengketakan. Meski akhirnya ia kalah di pengadilan.

Ia mengaku tak habis pikir bisa kalah di PN Soppeng. Alasannya, ia punya bukti surat perjanjian jual beli. Benar ia sudah menandatangani surat pengakuan gadai karena diancam, tapi surat itu tidak ditandatangani saksi. Hanya tanda tangannya yang tertera di kertas. Semua itu ia sampaikan di pengadilan namun hakim memutuskan lain.

Tak puas dengan keputusan PN Soppeng. Ia melanjutkan kasus ini ke Pengadilan Tinggi Makassar. Tapi tak ada yang berubah. Keadilan yang ia harapkan tak kunjung mendekat. Vonis sama pun muncul. Ia dinyatakan kalah.

Di tengah kekecewaannya yang membuncah akan proses peradilan yang mulia, Kamis hari itu pun ia berangkat ke Makassar. Tujuannya satu. Ia ingin melakukan perlawanan lewat media. Ia di Makassar menumpang di rumah salah seorang kemenakannya di Jl Rappokalling. Pesona mengaku datang ke Graha Pena sejak pagi dengan berjalan kaki dari Rappokalling. Karena belum ada wartawan saat ia datang, ia pun balik lagi untuk makan siang. Sore itu ia datang kembali. Kembali dengan berjalan kaki lagi.

Seluruh bukti-bukti kepemilikan pun ia keluarkan ke hadapan saya.

"Iga missengngi akko menreni ku sure kabarae, weddingngi lisu tanaku kasi (Siapa tahu kalau muncul di surat kabar tanah saya bisa kembali)," katanya memelas.

Saya jelaskan panjang lebar soal mekanisme pemberitaan dan syarat berita yang bisa dimunculkan di koran sebelum akhirnya ia menyimpulkan sendiri bahwa kasusnya sebenarnya tidak layak untuk jadi bahan berita.

"Akko makkuitupale, de'natugaga kasi ulle upogau (Kalau begitu, sudah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan)," ujarnya pasrah.

Saya sangat kasihan mendengar keluh kesahnya. Cara dia mengucapkan setiap kalimat yang penuh keputusasaan. Saya bahkan terkaget-kaget ketika ia tiba-tiba berujar,"Makkuni kapang nasibta idi tau beccue (Mungkin memang begini nasib kami orang kecil)," keluhnya.

Saya pun langsung menyarankan untuk membuat surat pembaca saja. Mendengar itu, ia bertanya seperti apa itu dan berapa bayarannya. Saya katakan tidak ada yang dibayar. Saya sudah mengeluarkan buku notes untuk mengkonsepkan surat pembacanya dan meminta KTP-nya sebelum ia menyela. Ia bertanya bagaimana efek yang akan muncul jika surat pembacanya sudah muncul di koran.

Saya pun menjawab bahwa sebenarnya berharap surat pembaca bisa mengembalikan tanahnya itu mungkin sesuatu yang mustahil. Paling tidak hanya sanksi moral ke lawan sengketa atau orang-orang yang ikut andil mempermainkannya. Wajahnya terlihat langsung lesuh.

Ia mengatakan yang ia butuhkan tanahnya. Menurutnya, ia mau berjuang demi tanahnya. Ia tak butuh hanya sekadar sanksi moral. Pesona lantas membeberkan bahwa ia juga sudah ketemu Ketua DPRD Soppeng, Andi Kaswadi Razak dan mantan Bupati Soppeng, Andi Harta Sanjaya, yang meminta terus berjuang untuk bisa mendapatkan kembali tanahnya.

Mendengar itu saya langsung menyarankan untuk banding ke tingkat pusat. Hanya saya juga menjelaskan jika harus berproses hingga ke pusat, biaya yang harus ia keluarkan akan semakin banyak.

"Akko makkotu pale nak, essanni puangnge mani mpalei (Kalau begitu Nak, biar Tuhan saja yang balas)," katanya putus asa. Ia terdengar pasrah akan ketidakberdayaannya sebagai orang kecil. Nasibnya yang tertindas di negeri yang katanya menjunjung tinggi azas keadilan tanpa mengenal status sosial.

Saya pikir saat itu dia sudah akan pulang. Apalagi saat kertas-kertas satu persatu sudah ia masukkan ke map. Ternyata belum. Ia malah mengeuarkan kertas lain. Lagi-lagi surat perjanjian jual beli tanah. Kali ini lokasinya di Kabupaten Wajo. Tepatnya di Siwa, daerah perbatasan Wajo dengan Kabupaten Luwu.

Ia mengaku juga dikerjai di sana. Tahun 2005, ia menjual kebun cokelat ke seorang warga. Kesepakatannya, harganya Rp 31 juta. Sesuai kesepakatan bersama harga yang tertera di surat jual beli yang dilengkapi stempel desa hanya Rp 10 juta. Alasan dia saat saya mengejarnya dengan pertanyaan kenapa hanya sejumlah itu, katanya untuk menghindari pajak.

"Makkumemeng idi kukampongnge (Seperti itulah kebiasaan di kampung)," katanya.

Hanya saja, sampai saat ini, tak sepeser pun uang yang telah ia terima. Beberapa waktu lalu, ia pun memutuskannya melaporkannya ke Polres Wajo. Lagi-lagi uangnya pun mengalir untuk melicinkan jalannya mendapat kembali tanah yang surat resmi kepemilikannya masih ia pegang. Tapi tak ada hasil. Kebun dan uangnya melayang, lawan sengketanya menghilang.

Untuk kasusnya yang kedua ini, ia juga mengaku pasrah saja akan nasibnya. Nasibnya sebagai orang kecil, minim pengetahuan sehingga gampang dibodohi dengan alasan kebiasaan di kampung. Termasuk harus menulis angka penjualan jauh lebih rendah hanya sekadar untuk menghindari pajak.

Saya pikir ia sudah akan pulang ketika ia sudah memasukkan kembali surat perjanjian jual beli, bukti kepemilikan dan juga laporan polisinya. Tapi ternyata tidak. Kali ini ia mengeluarkan BPKB motor dan STNK-nya. Ia mengatakan, ia sisa memegang surat-surat kendaraannya sebab motornya sudah diambil orang. Menurutnya, ia saat pengurusan kasus tanahnya harus berutang Rp 5 juta. Makanya saat kesulitan melunasinya, motornya langsung diambil.

"Makkonie tototta idi to beccue (Beginilah nasib kita orang kecil)," ujarnya lirih. Setelah berbincang dengan saya kurang lebih satu jam dan beberapa kali meminta maaf karena katanya telah menyita banyak waktu saya hanya untuk mendengar keluhannya, ia pun pamit. Bersama saya ia masuk ke lift dengan tampang gugup.

Hari itu, Andi Pesona kembali menambah deretan warga yang kecewa akan negeri yang carut marut ini. Negeri yang tak bisa memberikan keadilan bagi mayoritas warganya yang miskin. Negeri yang begitu memanjakan para pelaku kejahatan. Kasihan. (?)