KAMPUNG DOLAR

“Satu kapal sudah berangkat. Tapi jangan khawatir, masih ada lima kapal yang siap-siap.” Begitu sms yang saya terima Senin, 15 Maret, pagi itu sekira pukul 10.00 wita.

Saya sebenarnya hendak buru-buru, tapi pemilik becak yang mengantar saya ke Pelabuhan Kayu Bangkoa dari Pasar Sentral, Makassar, terdengar s...udah terengah-engah. Dalam hati saya berpikir, telat sedikit tak masalah. Toh lima kapal masih menanti dan baru berangkat pukul 11.00.

Setelah belok kiri, belok kanan, keluar masuk “jalan tikus” pintu masuk pelabuhan pun terlihat dari jauh. Berseliwerang orang di bawahnya. Becak dengan bawaan melebihi kapasitas wajar saling beradu cepat dengan pria dan wanita yang tak kalah banyak bawaannya. Ada di pundak, ada ditenteng, malah ada juga di punggung.

Turun dan membayar ongkos becak, melintasi pintu masuk dan melangkah beberapa meter, saya pun menemukan sosok pengirim sms tadi lagi asyik merokok di jembatan pelabuhan.

Setelah tanya sini, tanya sana, saya bersama teman bernama Eko Rusdianto pun menjatuhkan pilihan ke Novita Sari. Itu nama kapal. Kami memilih Novita Sari, karena kapal penyeberangan ke Pulau Barrang Lompo (salah satu pulau Kota Makassar yang masuk wilayah kecamatan Ujung Tanah) itu yang paling besar. Meski naik kapal laut bukan hal baru, tapi bagi kami, memilih kapal yang lebih besar adalah mutlak dan yang paling bisa menjamin keselamatan bagi kami berdua.

Kami sengaja memilih tempat duduk paling belakang. Sebab dari situ, wajah-wajah warga pulau Barrang Lompo yang akan kami datangi bisa terlihat semuanya.

Satu per satu penumpang dengan bahasa Makassar yang kental naik ke kapal dan memilih tempat duduk. Banyak hal menjadi bahan perbincangan mereka saat sudah di atas kapal, termasuk soal laga PSM Makassar melawan Persebaya Surabaya sehari sebelumnya.

Tak berselang lama, setelah mesin berbunyi dan jangkar yang ditarik setengah mati tiga orang naik, kapal pun meluncur membelah ombak.

Kapal bergerak pelan. Meninggalkan dermaga. Jejeran bangunan, termasuk hotel pun kini hanya tampak punggungnya. “Suatu saat kalau kita punya duit banyak, kita nginap di situ Eko,” kataku membuka pembicaraan di kapal sambil menunjuk ke arah deretan kamar hotel yang pintunya mengarah ke laut. Kamar-kamar milik Hotel Pantai Gapura itu tampak sangat anggun di atas riak gelombang yang menghantam tiang-tiangnya. Kamar-kamar itu dari kayu. Kesan alami terlihat dari warnanya yang hanya dipoles sedikit dengan campuran pengkilap kayu.

“Boleh juga, kapan-kapan kita nginap di situ,” jawab Eko.

Kami masih membahas soal kamar-kamar hotel itu, termasuk tarifnya yang bisa jadi selangit ketika kapal terus bergerak menjauh.

Setelah sekira 200 meter meninggalkan dermaga, saya bergumang, “Begitu indahnya kota kita. Persis suasana kota di luar negeri. Sepanjang bibir pantai berjejer bangunan cantik”.

Eko hanya merespons kalimat saya dengan tersenyum dan berbalik sejenak ke arah kota. Setelah itu, ia membuka tas, menarik kacamata dan kupluk (sejenis pelindung kepala pendaki). Gagah sekali dia kelihatan. Seperti layaknya turis dengan celana pendeknya yang selutut. Berbeda dengan Eko, saya mengenakan celana jeans. Awalnya sih saya juga berencana hanya mengenakan celan puntung. Namun khawatir kalau si Eko mengenakan celana panjang, dan saya terlihat aneh, saya akhirnya memilih celana panjang. Ternyata pikiran saya salah.

Beberapa menit kapal bergerak memecah gelombang dan air laut yang jernih dan berwarna hijau, satu persatu pulau kami lewati. Termasuk Pulau Lae-lae yang jaraknya paling dekat dengan kota Makassar.

“Yang mana menurut kau Pulau Barrang Lompo,” saya bertanya ke Eko di samping saya. Ia hanya mengangkat kedua tangannya mengikuti gerakan bahunya. Rokok Marlboro kesukaannya menempel di bibirnya. “Yang Barrang Lompo itu, yang sebelah kanan. Kalau yang kiri, itu Barrang Caddi,” kata seorang ibu yang duduk di depan kami saat Eko mencoba mencari tahu pulau yang baru pertama kali akan kami datangi.

Setelah sejam dalam guncangan ombak yang cukup tenang seraya sesekali melirik penumpang remaja dengan sandal bermerek dan HP harga jutaan, Novita Sari pun merapat di dermaga Pulau Barrang Lompo. Pria-pria dengan tubuh cokelat turun satu persatu bersama kami.

Setelah membayar Rp 10.000, kami pun menjejakkan kaki di pasir putih Barrang Lompo.

Baru berjalan beberapa meter dari dermaga, saya dan Eko mulai senyum-senyum. Pikiran di kepala kami sama. Pulau seluas 49 hektare, yang awalnya kami pikir sama seperti kebanyakan pulau yang pernah kami datangi, rumah-rumah kayu sederhana berjejer dan diantaranya ada yang tiangnya sudah miring diempas ombak, ternyata wajahnya tak seperti yang tergambar di otak kami berdua. Kami terbengong. Rumah kayu dengan tiang miring, atau paling tidak jemuran ikan kering dengan bau menyengat, serta jalan dengan pasir putih , sama sekali tak kami temui di depan dermaga. Yang ada, perpustakaan, salon, penjual alat-alat komputer, serta rumah batu yang kokoh. Bahkan, puluhan rumah, berlantai dua dengan dibungkus marmer serta berarsitektur rumah mewah perkotaan yang terlihat. Jalanan juga, hingga ke lorong-lorong kecil, semuanya pavin blok.

Kami baru melihat rumah-rumah tua yang di antaranya sudah ada yang reot, setelah mengelilingi pulau itu dengan berjalan kaki yang jarak tempuhnya tak sampai sejam. Rumah khas nelayan itu berada di bibir pantai dan agak terlindung oleh rumah-rumah kayu yang bagus atau rumah mewah.

Kami juga sempat dibuat terkaget-kaget dengan motor-motor berseliwerang berbagai jenis. Dari matic hingga Honda Tiger keluaran terbaru yang harganya puluhan juta. Beberapa kali kami harus menepi, memberi jalan ke pemilik motor yang melaju di atas jalan yang lebarnya sekira dua meter. Belum lagi motor gandeng yang menjadi alat transportasi darat, juga cukup banyak.

“Dulu bahkan ada mikrolet,” kata Dg Sija, 27 tahun yang kami temui di pesisir pantai.

Apa yang membuat kelurahan kepulauan itu begitu maju dan warganya mampu memiliki rumah yang jika di kota Makassar harganya bisa miliaran?

Jawabannya kami temukan di salah satu warung makan khusus lalapan dengan lauk hanya ayam.

“Semua karena teripang,” kata Ibu Hasmi, si pemilik warung.

Sejak tahun 1970-an, warga Barrang Lompo sudah mulai mencari teripang.

Meski belum seramai sekarang. Dan setelah mengetahui cara mencari dan pasarnya bagus, warga di pulau ini pun beralih dari nelayan ikan ke nelayan teripang.

Ini sangat beralasan. Sebab harga jual teripang memang sangat mahal. Ada beberapa jenis teripang yang bisa didapatkan warga. “Ada teripang TKK ganat jenisnya termasuk TKK herder, TKK cengkeh, dan juga TKK duri. Termahal jenis ugai. Kalau basah Rp 350 ribu per kg, sedang yang kering bisa sampai Rp 1,5 juta. Dan ini banyak didapat,” kata salah seorang juragan teripang, H Mustari. Sore saat kami kunjungi, Mustari sedang memilah teripang yang baru dikeringkan.

Itu kalau dari juragan pengumpul ke pengusaha eksportir. Harga dari nelayan ke juragan sendiri berbeda lantaran juragan harus mengeringkan dan memilah ulang. “Ada juga yang kita beli basah Rp 45 ribu dan keringnya Rp 225 ribu lalu kami jual Rp 250 ribu per kg-nya di kota. Teripang ini diekspor ke Korea, Singapura, dan Filipina. Ada juga dari luar negeri yang langsung ke Barrang Lompo,” bebernya seraya melanjutkan bahwa teripang biasanya banyak saat Oktober hingga awal tahun.

“Yang kaya ya kaya, tapi yang miskin juga ada,” kata salah seorang perempuan di warung lalapan tempat kami makan saat saya bertanya soal banyaknya rumah mewah di pulau itu.

Barrang Lompo kini sudah berubah drastis. Kehidupan di wilayah yang dipersiapkan jadi ibukota kecamatan kepulauan Makassar itu kini sudah sudah serba kota.

Seharian kami mengelilingi Pulau Barrang Lompo yang kami lihat, kehidupan di sana serba modern. Untuk minum, meskipun air di pulau itu bersih dan bening, seperti halnya yang ada di masjid Nurul Yaqin-masjid pertama di pulau itu- namun warga sudah mengkonsumsi air gallon. Harganya Rp 5 ribu per gallon. Distribusi air gallon dari kota pun mengalir lancar.

Untuk memasak, warga juga sudah sangat akrab dengan kompor gas. Elpiji 12 kg pun setiap hari menjadi penumpang setia kapal penyeberangan yang jumlahnya enam unit.

“Kita semua punya kompor gas,” kata seorang wanita saat kami berbincang dengan suaminya, Baco Dg Marowa di rumahnya.

Di pulau ini sendiri ada beberapa warung yang menjual makanan. Hanya saja, beberapa yang kami dapatkan tak satupun menjual menu ikan.

“Sudah jarang sekali nelayan ikan. Jadi kalau mau ikan, kita beli di kota. Ada sih penjual ikan keliling tapi sedikit. Jadi di sini sekarang semua serba kota. Apa-apa beli di kota,” kata Hasmi, pemilik warung.

Saat siang hingga sore, daerah itu juga tak pernah “diam”. Jalan-jalan yang panjangnya tak lebih dari 2 km tak pernah sepi dari deru kendaraan. Bahkan, berkeliling pulau dengan motor gandeng sudah menjadi rutinitas dan sarana rekreasi warga. Cukup membayar Rp 1.000, warga sudah bisa mengeililingi pulau sekali, plus bisa mendengar berbagai macam lagu terbaru dari album grup band terkenal, seperti Ungu, ST 12, Wali dll. Penumpang motor gandeng yang sambung menyambung di jalan, delapan orang. Mereka duduk berhadap-hadapan di belakang pengemudi. Motor gandeng ini juga menjadi alat mengarak pengantin saat ada pesta kawinan. Keberadaannya pun menghilangkan satu kebiasaan warga setempat yakni mengarak dengan cara membopong penganti secara bergantian.

Untuk sarana pendidikan, dari SD hingga SMA sudah ada di sini. Hanya memang, untuk SMA yang juga menggunakan gedung SMP 28 Barrang Lompo, mereka masuk siang. Tapi sayangnya, baru segelintir warga yang berniat secara serius menuntut ilmu. Saat berjalan di sekitar sekolah, kami melihat siswa SMA sebagian besar perempuan.

“Apalagi kalau harus ke kota. Pikiran masyarakat, kalau sekolah di kota mesti sewa rumah, sewa mobil dan beli buku. Makanya mending ke laut saja. Bisa langsung dapat duit,” ujar Hasmi.

Penerangan di pulau ini juga cukup bagus dibandingkan pulau lainnya. PLN sudah ada. Hanya lampu dinyalakan pukul 18.00 hingga pukul 06.00 saja. “Pemilik rumah juga rata-rata punya kulkas,” kata staf kelurahan, M Hasbi yang kami temui di rumahnya.

Untuk sarana peribadatan, warga memiliki dua masjid. Selain masjid tua Nurul Yaqin, ada juga masjid Nurul Mustaqim. Yang unik karena jarak kedua masjid bermarmer itu tak sampai 100 meter.

Pulau Barrang Lompo sendiri terbagi atas beberapa kampung-kampung. Ada kampung China yang menjadi tempat komunitas China saat datang di pulau ini, ada juga kampung Mandar, kampung Paddede (pengrajin perak), kampung Pappekang (pemancing) serta kampung Pajjala (nelayan). Wilayah ini dulunya pernah duduki Jepang.

“Kalau kampung Pajjala kini sudah berubah nama jadi kampung dolar karena penduduknya kaya-kaya dan rumahnya bagus,” ujar Dg Sija.

Namun di balik sukses sebagian besar warga pulau ini mengeruk harta dari laut, ternyata mereka juga setiap saat diintai kematian. Teripang yang mengantar warga satu per satu ke tanah suci dan bisa memiliki rumah dan perhiasan mewah ternyata juga menjadi sumber malapetaka. Satu per satu mereka yang sudah menikmati jerih payahnya dan mencoba lepas dari belenggu kemiskinan yang sempat menjerat harus meregang nyawa. Ada yang meninggal di laut, rumah, hingga rumah sakit.

“Banyak warga yang terkena lumpuh dan meninggal dunia karena menyelam teripang. Jumlahnya sudah puluhan,” kata Hasmi. Hasmi ini warga Jl Bung Makassar yang ikut suaminya menetap di pulau berpenduduk 4.000 jiwa lebih itu.

Warga satu persatu meninggal dunia lantaran kenekatan mereka menyelam dengan peralatan seadanya di laut dalam. Risiko itu demi segepok uang untuk tetap mempertahankan predikat kampung mereka sebagai kampung dolar. Kampung bergelimang harta.

Sebagai penyelam tradisional dan berpendidikan rendah, warga tidak tahu apa-apa. Karena itu mereka nekat dan akhirnya harus menanggung risiko kematian.

Saat orang lain menyelam dengan tabung oksigen, para nelayan Barrang Lompo malah menggunakan kompresor. Ya, mereka menggunakan kompresor yang selama ini dipergunakan untuk pengisi angin pada ban kendaraan. Kompresor ini digunakan sebagai alat pensuplai oksigen untuk bernapas saat menyelam.

Kompresor tersebut disambungkan dengan selang sepanjang 150 meter dan digunakan tiga orang penyelam sekaligus dengan cara selang dipasang bercabang. Para penyelam menyelam sendiri-sendiri mencari teripang di pasir atau yang terapung sepanjang jangkauan selang mereka.

Masing-masing penyelam dilengkapi kacamata dan masker atau plastic pensuplai udara melalui mulut.

Pakaian yang digunakan seadanya. Sementara mereka menyelam hingga kedalaman 30 meter dengan menggunakan kompresor besar.

Padahal semakin dalam penyelaman, suhu air semakin dingin. Makanya para nelayan teripang pun kehilangan panas tubuh. Disusul gangguan lainnya termasuk tiba-tiba mengalami kesemutan atau kram.

“Saya dua kali kena (kram, red). Pertama tahun 1988 di dekat Sumbawa NTB. Setelah itu, tahun 1991 kena lagi di perairan Mamuju. Saat itu, sementara menyelam dan mengumpul teripang, tiba-tiba saya tidak bisa menggerakkan kaki hingga ke pinggul,” kata Dg Tika, 35, warga Barrang Lompo yang kelihatan sudah sangat tua dari usianya. Kulitnya hitam dan kurus.

Kakinya, mulai dari paha hingga telapak kaki terlihat mengecil dan jalannya tak seimbang. Ia pun mengangguk saat saya dan Eko menanyakan apakah kakinya seperti sekarang karena menyelam.

Menurut Dg Tika, ancaman kelumpuhan baru sangat terasa saat sudah ditarik naik ke kapal setelah memberi kode dengan menarik tali. “Kalau sudah kena panas di atas, akan semakin terasa, seperti lumpuh dan tidak sakit meski dibakar,” katanya.

Meski begitu, Dg Tika yang mengaku pernah menjadi juragan tak berhenti. Desakan ekonomi membuatnya melanjutkan kenekatannya meski diadang penyakit dekompresi. Gejala dekompresi biasanya muncul dalam bentuk kesemutan dan pegal-pegal seperti dialami sebagian nelayan Barrang Lompo.

“Untuk kedalaman 27 meter, terakhir saya menyelam 2001 silam. Saya istirahat dulu untuk pulihkan kondisi. Saya juga masih takut-takut,” katanya sambil duduk bersandar di perahunya.

Ia mengaku selama sakit tak pernah disuntik atau berobat serius meski di pulaunya itu sudah ada puskesmas.

Ditanya berapa banyak nelayan Barrang Lompo yang mengalami hal sama seperti dia, lumpuh, dan akhirnya meninggal, Tika tanpa berpikir langsung menyebut sudah puluhan. Saat saya menanyakan puluhan itu apakah berarti di atas 50 orang, ia dengan lugas mengiyakan.

Para penyelam kompresor memang banyak yang tak jera. Menurut Dg Sija, 27 tahun, banyaknya uang yang bisa didapatkan dari menyelam di kedalaman hingga 30 meter menjadi bius bagi nelayan. “Saya kebetulan hanya menyelam di kedalaman sampai 7 meter dan memang tidak berani ke yang dalam. Makanya pendapatan saya paling-paling hanya Rp 70 ribu per hari. Tapi kalau yang penyelam dalam, mereka paling kurang dapat Rp 2 juta dalam sepuluh atau paling lama 15 hari,” beber pria yang lahir di Takalar dan menyelam sejak usia 17 tahun itu. Sija sendiri hanya menggunakan kompresor kecil.

Sija mengakui banyaknya warga yang meninggal dan lumpuh karena menyelam. “Kalau melihat orang pakai tongkat siang-siang, mereka itu penyelam dalam. Di sini banyak. Banyak juga yang lumpuh dan sudah meninggal. Terakhir salah seorang haji di sana,” katanya seraya menunjuk salah satu rumah.

Sija juga membeberkan banyaknya warga luar Sulsel di Barrang Lompo yang menjadi korban.

“Ada juga warga asli tapi lebih banyak warga luar, termasuk Timor (flores NTT), Bajoe (Sulteng), Luwuk Banggai, serta NTB,” katanya.

Hasmi, warga lainnya menyatakan hal senada. Menurutnya, warga luar itu didatangi langsung di kampungnya oleh pemilik kapal. Seperti halnya praktik perbudakan, mereka dibeli oleh pemilik kapal lalu diboyong ke Barrang Lompo untuk dipekerjakan sebagai penyelam.

“Mereka dibeli. Misalnya Rp 7 juta untuk tiga orang. Mereka kemudian dipekerjakan,” beber Hasmi.

Warga pendatang ini pun satu persatu meninggal karena menyelam. “Ada yang meninggal di rumah sakit wahidin sudirohusodo, ada juga di sini. Yang tidak ada keluarganya, biasanya dihubungi. Apakah mau dikirimkan jenazahnya atau dikubur di sini saja. Ada juga yang datang bersama istrinya setelah suaminya meninggal si istri pulang sendiri,” kata Hasmi.

Juragan terbesar di Barrang Lompo, H Mustari juga membenarkannya. “Jadi pemilik kapal yang pergi mencari orang. Saat ada hasil, dilakukan pembagian hasil,” katanya di halaman rumahnya. “Kalau saya sendiri hanya pengumpul,” sambungnya.

M Hasbi staf kelurahan mengatakan memang banyak warga luar yang didatangkan untuk menyelam. Namun untuk yang meninggal Hasbi mengaku tidak tahu banyak.

Warga pendatang dari luar Sulsel itu memang tak beruntung di perantauannya di Barrang Lompo. Kebiasaan mereka berfoya-foya membuatnya tak bisa menyimpan cukup uang. Bahkan menurut Dg Sija, pendapatan mereka sebagian besar habis untuk membeli minuman keras.

“Mereka banyak minum. Akhirnya uang yang didapat habis. Kalau sudah habis, mereka meminjam uang lagi di bos-nya, akhirnya utangnya terus bertambah,” beber Dg Sija.

Hasil penelusuran kami sendiri, setelah bertanya ke sana ke mari, di Barrang Lompo yang juga sudah ada pos polisinya memang ada beberapa penjual minuman keras. Ini juga diakui Sija. Saat kami meminta ia menunjukkan tempat-tempat penjualan miras, ia hanya menjawab,”Banyak.”

Kami juga sempat mencoba mencari komunitas warga pendatang ini. Hanya menurut Dg Sija petang itu, mereka lagi melaut.

Dengan perangai yang kerap mabuk-mabukan, para penyelam pendatang ini sangatlah merugi. Pasalnya, untuk menyelam bersama pemilik perahu, mereka harus jauh meninggalkan Barrang Lompo.

“Kita sampai ke wilayah Kalimantan untuk mencari teripang. Bahkan beberapa kali juga kita sampai di perbatasan Australia. Saya juga pernah. Kalau sepupu saya malah pernah ada yang ditangkap di sana. Tapi kapalnya bisa ditebus,” beber Dg Tika. Namun ada juga yang kurang beruntung. Saat tertangkap aparat Australia, kapal mereka dibakar dan orangnya dipenjara.

“Tapi mereka pasti kembali lagi,” kata Hasmi.

Setelah seharian mengelilingi pulau, malam harinya, sekira pukul 19.00 wita kami memutuskan menyeberang ke Barrang Caddi.

Berbeda saat kami datang ke Barrang Lompo dengan kapal Novita Sari yang jalannya tenang, perjalanan kami ke Barrang Caddi malam itu menegangkan.

Pasalnya, kami mencarter lepa-lepa- perahu kecil bermesin yang panjangnya hanya sekira dua meter dengan lebar hanya dua jengkal lebih-. Kami memutuskan menyewa lepa-lepa lantaran memang tidak ada kapal penyeberangan antar pulau di sana.

Saat baru bergerak, lepa-lepa milik Tika yang kami bayar Rp 100 ribu ini sebenarnya sangat tenang di atas air. Baru setelah beberapa menit, kami harus mengurut dada. Beberapa kali, kapal seperti akan tenggelam di air dan kami mesti menggunakan jas hujan untuk melindungi pakaian dan barang bawaan dari air yang meluncur dari depan. Saya juga terpaksa mematikan ponsel dan menyimpannya di tas Eko yang sudah membungkus badannya dengan jas hujan.

Di atas lepa-lepa, saya duduk di samping mesin dan berpegangan di sisi kanannya dengan tangan di dalam air. Sementara Eko duduk di depan mesin. Suasana malam membuat kami takut dan sempat ingin meminta Dg Tika yang mengantar kami memutar kembali lepa-lepanya. Namun karena saat berbalik ke belakang dan ternyata kami sudah di tengah-tengah, kami pun hanya pasrah. Kapal berjalan pelan. Terkadang ketika dihantam ombak dari depan, mesin lepa-lepa ini meraung untuk bisa menembusnya. Kadang seolah terbang di atas air lalu terjatuh ke bawah disambut ombak lagi. Di lain waktu lepa-lepa itu seperti sudah akan digulung ombak dan air menghantam kami dari depan. Saya sempat berteriak ketika papan yang saya duduki terlepas dan pantat saya masuk ke air yang memasuki lepa-lepa tersebut. Saya juga sempat kaget saat Dg Tika meminta Eko yang duduk paling depan untuk bergeser agak ke kanan. Katanya kapal tak seimbang jalannya.

Berbagai pikiran buruk berkecamuk di kepala saya. Apalagi malam itu gelap gulita. Hanya lampu kapal yang terlihat berkedip-kedip dan berputar.

Saya berpikir jika sampai kapal masuk dalam gulungan ombak dan tenggelam, ponsel dan laptop saya pasti akan langsung rusak. Saya akan rugi besar.

Lama kelamaan pikiran saya menerawang ke istri dan dua buah hati saya di rumah. “Kalau kapal ini tenggelam, biar laptop dan ponsel saya rusak asal saya bisa selamat, ya Allah,” kata saya dalam hati. Tangan dan kaki saya gemetaran. Jantung juga mengeluarkan bunyi dagdigdug.

“Ya Allah selamatkan kami. Siapa yang akan menghidupi anak istri saya kalau malam ini saya harus meninggal. Siapa yang akan menolong kami kalau perahu ini tenggelam,” begitu yang berkecamuk di pikiran saya hingga lampu rumah di Pulau Barrang Caddi semakin jelas.

Setelah diombang ambing ombak, didera khayalan buruk, termasuk kemungkinan tenggelam, sekira 30 menit perjalan, kami pun tiba di Barrang Caddi. Lega rasanya.

Kami masih sempat berbincang sejenak dengan Dg Tika sebelum ia membalik perahunya, kembali ke Barrang Lompo. “Hati-hati, Pak,” saya masih sempat berteriak ke Dg Tika.

Ternyata ketakutan yang mendera saya juga dialami Eko. Meski saat di perahu dia terlihat rileks. “Saya juga sangat takut. Bahkan saya maunya kapal balik saja tadi dan kita berangkat besok. Tapi ternyata kita sudah di tengah. Jadi saya pasrah saja,” ujar Eko. Senyumnya mengembang menapaki jalan di dekat pantai.

Di Barrang Caddi, setelah melapor di Ketua RK, Rasul, kami langsung mencari tempat makan malam. Malam itu, kami menyantap nasi goreng seharga Rp 4 ribu lalu ke dermaga penyeberangan dan bermalam di sana dalam terpaan angin malam.

“Kalau di sini kami tidak berani menyelam dalam. Kami takut risikonya,” kata Naser, warga Barrang Caddi saat kami menceritakan pengalaman kami di Barrang Lompo.

Malam itu, saat lampu sudah dipadamkan-lampu menyala pukul 16.00 hingga pukul 24.00 dan berlanjut lagi pukul 04.00 sampai pukul 06.00 pagi- saya baru mulai tidur di atas kursi kayu panjang untuk penumpang. Beberapa orang sempat mendatangi kami yang tertidur dan menyenter wajah kami. Mungkin curiga dengan keberadaan kami di dermaga itu. Ada juga warga yang kemungkinan hendak buang hajat datang ke dermaga dan hanya menggaruk kepala sebelum putar badan. Keesokan harinya, setelah bangun, menikmati suasana pantai di pagi hari, termasuk melihat warga berjejer di bibir pantai membuang hajat, seraya menikmati minuman panas yang kami pesan di salah satu penjual, kami pun kembali ke Makassar. (amiruddin@fajar.co.id)