Kuliah di Medan Perang

SIANG menyengat, Selasa, 25 Mei 2010. Matahari serasa hanya sepelemparan batu. Ia terus mengikuti saya. Sejak meninggalkan rumah di kompleks Bumi Tamalanrea Permai (BTP), hingga saat mengantre di belakang mobil yang berjejer di Jl Perintis Kemerdekaan. Ia baru berhenti membakar kulit saya yang dibalut jaket saat motor mulai berteduh di antara pepohonan kampus merah Universitas Hasanuddin.

Sungguh elok kampus ini. Ia bisa memberi saya keteduhan. Melindungi saya dari terik mentari yang tak pernah ingin bersahabat kala siang. Melintasi jalanan di sisi rumah sakit Dr Wahidin Sudirohusodo di sisi kiri jalan dari pintu II kampus, di kejauhan gedung rektorat Unhas mulai tampak.

Sekali menambah gas, saya langsung sampai di parkiran, di antara rektorat dan gedung Fakultas Ilmu Budaya. Di fakultas itu, saya menghabiskan waktu lima tahun sekian bulan. Termasuk juga untuk tawuran dan berbagai kisah yang kadang membuat saya begitu pongah menceritakannya di kampung kelahiran saya di Barru (100 km arah utara Makassar).

Seperti kebiasaan waktu masih berstatus mahasiswa, saya langsung memilih jalan pintas ke rektorat. Tak lewat jalan berpavin blok. Melainkan melompati dinding tembok di sisi kiri parkiran. Terus menyusuri tanah tak berumput sebelum mencapai jalan di sela-sela taman rektorat.
Saya sempat berhenti sejenak di samping gedung rektorat yang menjulang. Sekadar untuk mengamati tiga mahasiswa yang sedang asyik mengutak-atik laptopnya dengan fasilitasi layanan internet gratis berupa hotspot. Mereka tak terusik. Tetap duduk acuh di lantai. "Sungguh enak mahasiswa sekarang. Bisa internetan gratis." Begitu gumang saya sebelum mengayun kembali langkah ke pintu masuk rektorat.

Lantai I terlewati. Menyusul lantai II, lantai III, hingga akhirnya saya mendapati lantai IV.

"Baru selesai wawancara. Ada tim dari Universitas Indonesia," sapa Ir Abdul Rasyid MSi atau yang akrab disapa Cido' usai saya menjabat tangannya. Setelah ia melangkah ke salah satu ruangan, muncul DR Hasrullah. Keduanya calon pembantu rektor III bidang kemahasiswaan Unhas. Tak berselang lama, Prof Nasrudin Salam, PR III Unhas juga keluar ruangan. Kepada salah satu staf yang menegurnya, ia mengaku ingin ke ruangannya, salat duhur.

Siang itu, mereka sangat sibuk. Maklum ketiganya sedang bersaing menempati posisi PR III. Hari itu mereka mengikuti sesi wawancara yang melibatkan tim dari UI. Sebagai wartawan, saya ingin meliputnya. Maklum berita soal Unhas selalu menarik. Belum lagi alumni banyak. Sebagian di antaranya sudah bergelar sukses.
Setelah sampai pada satu kesimpulan, tidak ada perkembangan menarik pemilihan calon PR untuk diberitakan, saya pun melangkah menuruni anak tangga. Tak sampai satu menit, saya tiba kembali di lantai I.

Saya sebenarnya bermaksud untuk ke balaikota Makassar, namun urung. Sebab di lantai I saya bertemu tiga teman saat kuliah dulu. Satu senior saya. Dua lainnya junior saya di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya). Saya tidak jadi pulang bukan lantaran pertemuan itu.
"Jam 13.30 sebentar Teknik-Fisip tawuran. Ini 102 persen infonya." Kalimat itu yang menahan kaki saya melangkah.
"Ah...betulkah?" Saya mencoba meyakinkan diri dengan bertanya ulang.
"Wah, pasti kau masuk kampus juga untuk meliput tawuran itu. Jujur saja," kata senior saya tersebut.
Belum sempat saya bertanya kembali, hape mahasiswa junior saya berdering.
"Oke. Mulaimi? Di mana? Baruga." Bojes, salah satu junior saya menerima telepon dari temannya.
 Saya mengerti apa maksudnya. Tapi ia tetap menyampaikan isi pembicaraan lewat hape-nya ke kami.
"Kak Teknik sudah menyerang." kata Bojes.
"Ternyata lebih cepat setengah jam. Bagaimana, betulkan?" sambung senior saya yang tak penting untuk saya sebut namanya.

Dari kejauhan, mahasiswa teknik yang memang terlihat dari depan rektorat sudah berhamburan. Tiang listrik dan tiang telepon ditabuh. Satu, lima, sepuluh, seratus, dua ratus pasang telinga yang mendegar suara batu beradu tiang dari besi itu, melompat. Berlari. Sejenak berhenti. Memungut batu. Lalu berlari lagi. Mereka satu arah. Ke Baruga AP Pettarani. Suara gaduh. Bunyi batu beradu besi bersahutan. Kadang diselingi suara kaca beradu dengan lantai. Braakkkk. Kaca-kaca pecah. Tak sampai lima menit, lapangan terbuka di depan gedung akademik Unhas sudah menjadi lautan manusia. Saat itu pukul 13.00 wita.

"Satu....dua....tigaaaaaaaaaaa." Suara itu silih berganti arah datangnya. Saat hitungan ketiga, puluhan atau bahkan ratusan anak muda bernama mahasiswa di jejeran terdepan serentak maju.  Mengayunkan tangan ke belakang. Berputar kembali ke depan, melewati atas kepala mereka dan batu, batu bata, pecahan batako, dan pavin blok meluncur. Jarak kedua kubu  hanya beberapa langkah saja. Yang merasa jagoan selalu di deretan terdepan. Yang gondrong rambutnya sudah tak beraturan. Seandainya tidak ada tas yang masih bergayut di punggungnya, saya mungkin akan menyimpulkan mereka tukang batu atau tukang becak (Saya ingat waktu mahasiswa juga gondrong dan ibu sering meledek dan menganggap saya tukang batu atau tukang becak). Tapi karena masih ada tas, entah isinya busur atau badik, bukan diktat, saya masih meyakini mereka mahasiswa. 

Beberapa menit berlalu. Satu persatu korban berjatuhan. Digotong dengan kepala berlumuran darah. Ada juga yang dipapah, wajahnya meringis. Tapi yang lain masih sangat bersemangat. Dos-dos air mineral yang berganti isi menjadi batu didrop dari arah belakang. Tawuran dengan perang batu masih berlanjut. Pihak pengamanan kampus hanya menatap para mahasiswa yang begitu bersemangat mengayun tangan. Melempar batu. Hanya sesekali mereka meminta mahasiswa Teknik tak masuk ke area gedung akademik. Takutnya lemparan dari kubu Fisip yang dibantu rekan-rekannya dari Fakultas Ilmu Sosial (Sastra, Ekonomi, dan Hukum) mengarah ke gedung tak berdosa itu. Gedung yang dibangung dari SPP mahasiswa. Bukan sekadar mahasiswa Teknik atau FIS saja.

Tak jauh dari arena tawuran, tepatnya di depan Bank Mandiri, puluhan pendaftar Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) tampak terbengong. Kalau saya salah satu di antara mereka mungkin saya akan berpikir begini, "Kenapa juga Bapakku menyuruh saya kuliah di medan perang."

Di bagian lain, pegawai, dan mahasiswa yang tak terlibat tawuran asyik menonton. Ada yang memilih lantai I gedung akademik. Lantai II, hingga lantai III. Sesekali lari berhamburan saat batu mengarah ke mereka. Saya sendiri memilih lantai II. Tepatnya di depan perpustakaan Unhas. Satu pecahan batu bata juga sempat menghantam pelipis saya. Batu bata itu pecah di kepala mahasiswa di depan saya. Beruntung. Itu kalimat dari bibir saya sambil memeriksa kening dan pelipis.

Merasa  tak aman, saya memilih turun. Apalagi mahasiswa Teknik juga mulai mengarahkan lemparan ke arah kami. "We...mahasiswa Teknik! Turun sini. Jangan menonton!." Teriak salah seorang mahasiswa meminta bantuan rekannya yang hanya menonton. Tak berniat ikut tawuran. Bisa jadi mereka ini mahasiswa baik-baik.
Saling lempar berlanjut. Jari tengah dicungkan silih berganti. Saya menghitung, sekira setengah jam menyaksikan perang batu, lima mahasiswa yang dipapah dan dibopong melintas di depan saya.

Di lantai I, saya kembali bertemu senior saya yang tadinya menghilang entah kemana saat tawuran mulai. Juga bertemu beberapa teman kuliah lainnya yang dulunya nakal-nakal dan kerap terlibat tawuran. Saat itu juga ada beberapa alumni Teknik.

Perbincangan kami pun menerawang ke masa lalu saat kami juga bagian dari tawuran seperti ini. "Anak-anak FIS tidak mungkin kalah. Memang Teknik lebih banyak, tapi anak FIS tidak akan mundur. Lihat saja, mereka hanya beberapa orang bertahan di depan dan tidak lari saat diserang ratusan mahasiswa Teknik. Tapi hati-hati, kalau kau mendekat, mereka pasti bawa badik." Begitu kata senior saya itu.
Pembicaraan kami bahkan sampai ke kasus mengerikan saat tawuran yang melibatkan FIS dengan Teknik tahun 90-an dan awal 2000-an silam. Termasuk peristiwa pemarangan mahasiswa Teknik oleh mahasiswa sastra yang berujung drop out (DO) pelaku.

"Kalau dulu di jaman kita, kalau sudah begini, kita akan naik di lantai II atau menyelinap di lorong ruangan. Saat ada mahasiswa Teknik lengah, pasti langsung diambil (ditikam atau dibusur, pen)," lanjutnya.
Puas menyaksikan perang batu dari arah Teknik, kami pun berputar ke posisi anak-anak FIS. Situasinya sama. Yang lain sibuk saling lempar dan berpeluh keringat. Yang lain sibuk mengumpulkan batu. Yang membedakan hanya kaum mahasiswi di kubu FIS juga ikut aktif menyemangati dan mengumpulkan batu. Ada juga yang bertugas membeli air mineral. Sekadar pelepas dahaga meski satu gelas diminum hingga lima orang. Malah tak sekadar menjadi penyuplai batu dan air mineral, ada juga di antaranya yang ikut melempar. Teriakan mereka pun tak mau kalah. Bercampur teriakan mahasiswa. Gerakan pantat diikuti acungan jari tengah juga mengikuti meluncurnya batu dari genggaman mereka. Saya tertawa melihatnya.

Hampir dua jam berlalu. Tak satupun polisi berpakaian dinas di penglihatan saya. Padahal saat itu, korban sudah berjatuhan. Termasuk puluhan mahasiswa FIS. Fasilitas kampus juga sudah rusak.
Saya lalu berputar ke arah fakultas MIPA untuk mencari suasana lain. Mencoba mencari tempat menonton tawuran sekaligus meliput, yang lebih terbuka. Saat itu, bukan hanya mahasiswa, salah seorang sopir kepala biro di Unhas juga sudah terluka.

Di MIPA, saya mendapati PR III, Prof Nasrudin Salam. Ia bersama Cido'. Keduanya menatap batu beterbangan di angkasa. "Kami sudah panggil polisi, tapi belum juga datang," kata Cido' ke saya. Tak ada yang bisa diperbuat Nasrudin atau pun Cido'. Kecuali menyaksikan anak-anak mahasiswa mereka saling lempar dengan wajah marah. Wajah beringas. Tampak ingin saling bunuh di balik baju penuh peluh dan rambut gondrong yang tak berbentuk.

Kami memilih meninggalkan posisi di sisi kiri mahasiswa teknik saat batu-batu mulai beterbangan mencari kepala kami. Kami bergeser ke arah depan Baruga AP Pettarani. Beberapa menit kemudian, beberapa polisi Perintis tiba dan langsung masuk ke tengah-tengah arena tawuran. Tapi tak lama. Mereka memilih mundur lantaran mahasiswa tak juga berhenti saling lempar meski senjata sudah teracung ke atas. Sama sekali tak terlihat wajah takut mahasiswa. Naluri saling bunuh dan saling ingin melukai lawan masing-masing mengalahkan ketakutan mereka pada moncong senjata. Jumlah polisi juga sangat tak seimbang dengan mahasiswa.

"Satu.....dua.....tigaaaaa.....serangggggggggg." Teriakan sebagai simbol menyerang masih terdengar.
"Satpam kena. Cepat bawa ke rumah sakit." Saenal, satpam kampus terlihat tergeletak di tengah arena tawuran. Kepalanya berlumuran darah. Sontak wajahnya memucat. Ia tak bergerak. Entah pingsan.
"Adik saya Pak," kata kakak Saenal ke Cido'.

Melihat tidak ada tanda-tanda tawuran bakal usai, polisi pun kembali ke mobil truknya dan mengambil perlengkapan anti huru hara. Jumlah mereka kini lebih banyak. Sebelum masuk area perang, komandannya memberi aba-aba agar kelompok polisi dibagi dua. Satu ke arah Teknik. Sebagian ke FIS.
Perlahan mahasiswa kedua kubu pun sedikit mundur. Tapi perang batu tetap berlanjut. Perwira polisi dibantu beberapa dosen dan PR III terlihat sibuk menenangkan mahasiswa. Saya sampai khawatir melihat Prof Nasrudin di tengah-tengah mahasiswa.
"Mungkin Pak Nas punya ilmu tidak bisa kena batu," canda seorang staf kampus menanggapi saya yang meminta beberapa dosen memanggil Nasrudin untuk keluar dari arena tawuran.

Pukul 15.10 ketika itu. Dan perang batu masih berlanjut. Bahkan sama seperti sejak awal, beberapa mahasiswa yang nekat tampak maju, saling lempar dari jarak hanya beberapa langkah saja. Teriakan "Uh....." pun bergema saat salah satu di antara mahasiswa di kedua belah pihak tersungkur.

"Teknik anjing..teknik anjing..teknik anjing...teknik anjing.." Teriak mahasiswa FIS di belakang polisi yang melindungi diri dengan tameng.

"Sospol babi...sospol babi...sospol babi.." Teriakan dengan bahasa tak layak pun dilontarkan mahasiswa teknik yang sempat menyanyikan lagu kebesaran mereka saat sempat merasa di atas angin karena mampu memukul mundur anak FIS hingga ke Baruga.

Mengiringi saling ejek itu, batu terus beterbangan. Beberapa tangan terlihat mengayun lemah. Lemparannya tak lagi keras dan jauh. Saya berpikir mereka sudah sangat kecapekan. Apalagi saat itu sudah pukul 15.30 atau sudah tiga setengah jam mereka beradu otot tangan mengayun batu. Tak lama kemudian, tawuran pun berhenti. Puluhan mahasiswa jadi korban.

"Saya siap fasilitasi komunikasi antar-BEM tapi di tengah, bukan di area FIS. Saya tidak bisa menjamin keselamatan kalian," kata Nas ke pengurus BEM Teknik. Negosiasi pun dilakukan dan tawuran berakhir hari itu. "Yang saya dengar infonya ini dipicu pemukulan mahasiswa Sospol saat inaugurasi MIPA sehari sebelumnya. Tapi itu belum pasti benar," ujar Nas menanggapi pertanyaan saya soal pemicu tawuran.

"Tawuran nanti berhenti pukul 15.30. Itu sudah rutin." Saya tersenyum mengingat kalimat senior saya sebelum berpisah saat saling lempar masih terjadi. Ternyata prediksinya benar. Persis sama ketika ia mengatakan bahwa 102 persen hari itu bentrok akan terjadi. Saya jadi berpikir, "Beginilah kalau di Unhas selalu tawuran, jadwalnya dihafal."

Tawuran yang terjadi Selasa, 25 Mei itu hanya satu dari sekian kali tawuran-kalau saya tak mau menyebut angka seratusan-di kampus merah Unhas. Setiap tahun, seingat saya, minimal terjadi tawuran lima kali. 2010 ini saja sudah tiga kali terjadi tawuran. 18 Februari 2010 tawuran melibatkan Teknik dengan Perikanan dan Kelautan. Disusul pada April tawuran antara Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya, Selasa, 25 Mei, FIS versus Teknik. Belum lagi bentrok mahasiswa melawan satpam kampus awal Mei lalu saat demo skorsing mahasiswa Teknik Geologi di rektorat yang berbuntut pengrusakan.

Tawuran juga tak lagi mengenal bulan. Maklum di Unhas sebelumnya ada istilah Black September dimana tawuran pasti terjadi pada bulan tersebut. Itu setiap kali usai penerimaan dan penyambutan mahasiswa baru. Istilah Black September ini muncul menyusul peristiwa pembakaran gedung Teknik 1992 silam. Kala itu, Teknik "dikeroyok" seluruh fakultas. Saat masuk bulan September, tawuran biasanya akan terjadi berhari-hari. Seolah menjadi bahan latihan dan pengenalan bagi mahasiswa yang masih gundul. Ini juga yang mendorong rektor sempat mengeluarkan keputusan menskorsing mahasiswa yang terlibat tawuran dan melarang Opspek dilaksanakan. Alasannya Opspek paling banyak memicu tawuran. Doktrin saat Opspek termasuk yang berkembang bahwa di Unhas hanya ada fakultas, Teknik dan fakultas lain-lain juga dianggap simbol arogansi dan pengkubu-kubuan yang sangat gampang meletup perkelahian. Sejak beberapa tahun terakhir tawuran terjadi di bulan apapun. Tak lagi sekadar September. Satu bulan dianggap tak cukup. Makanya mulau muncul istilah baru di Unhas seperti Universitas Hantam Sana Hantam Sini (Unhas)

Hobi tawuran di Unhas memang lucu. Agak aneh. Juga memusingkan. Pasalnya, pemicunya selalu hal sepele. Misalnya soal perempuan, malam inaugurasi, sepak bola hingga persoalan baliho. Tak ada yang jera. Meski sudah tak terhitung jumlah korban. Jahitan di kepala atau bagian wajah lainnya, hingga cacat permanen seperti kejadian pemarangan yang dilakukan mahasiswa fakultas sastra terhadap mahasiswa teknik. Belakangan muncul asumsi bahwa pemicu tawuran juga dari luar civitas akademika Unhas. Namun tak pernah ada yang bisa membuktikannya.

Tapi kalaupun betul ada campur tangan pihak luar, toh semua tergantung mahasiswa Unhas sendiri. Sebab mereka lah pelaku tawuran. Mereka mahasiswa terdidik di kampus dengan status ternama di Indonesia. Jadi harusnya bisa memilah dan berpikir. Bukan menggunakan otot. Berapa banyak kerugian akibat tawuran. Baik korban luka dan kerusakan. Belum lagi nama alumni yang kemudian rusak yang kadang sampai pada satu kesimpulan bahwa alumni sulit diterima bekerja karena mereka dari Unhas. Perusahaan takut menerima lulusan Unhas karena tabiat buruknya. Gemar berkelahi.

Seorang teman dari Jakarta yang saya temui di Yogyakarta akhir 2008 silam dalam suatu acara pelatihan jurnalistik, bertanya tentang mahasiswa yang katanya sedikit-sedikit bentrok.
"Kok mahasiswa bisa berantem pakai benda tajam, panah, parang, dan badik. Sedikit-sedikit juga bentrok?" Begitu pertanyaannya ke saya.

Pengalaman mendapat pertanyaan demikian tentu bukan saja saya yang alami. Saya yakin, beberapa orang yang mau jujur, juga tak luput dari pertanyaan ini ketika mereka beradaptasi dengan rekan kerja, keluarga, atau teman bicara dari daerah lain. Ya, tentu sangat beralasan ketika orang di luar sana memberikan penilaian negatif. Sebab TV dan koran yang memperlihatkan kekerasan di dalam kampus bukan hal asing.

Saya yakin dalam posisi mahasiswa seperti sekarang, perasaan malu itu bisa jadi tidak ada. Tapi kelak, ketika berada di luar kampus, apakah menganggur atau beruntung bisa bekerja, perasaan malu itu akan muncul.

Saya juga begitu bangga dengan status mahasiswa Universitas Hasanuddin. Jika bisa, saya malah ingin terus mengenakan jas almamater. Derajat saya serasa begitu tinggi selaku mahasiswa dengan jas berwarna merah dengan lambang ayam jantan di dadanya. Saya juga begitu bangga berada di antara mahasiswa lain, mengayungkan tangan dan melempar batu saat tawuran. Tapi itu perasaan saat masih mahasiswa. Saat ini, perilaku tawuran ini memalukan bagi saya. Dan saya yakin yakin seyakin yakinnya, kelak rasa itu, di hati mereka yang kini masih sering mengayun tangan, saling pukul, saling lempar dan saling ingin melukai di kampus yang tak ubahnya medan peperangan, akan seperti perasaan saya. Memalukan.

"Kalau Unhas begini terus, kelak anak-anak saya tidak akan saya kuliahkan di sana." Begitu kalimat dari teman yang saya temui usai saya menceritakan padanya kisah tawuran di Unhas. Mudah-mudahan hanya dia yang berpikir demikian. Atau mudah-mudahan ia kelak berubah pikiran agar Unhas tetap menjadi perguruan tinggi favorit. Bukan akan ditinggalkan dan diblacklist para orangtua hingga Unhas bisa jadi tinggal nama dan sejarah kelamnya.(amiruddinaliah@gmail.com)