Kusiapkan Arung Mario Untuknya

DIA tidak pernah tertarik dengan gelar sarjana sastra. Dia tak peduli jika duit yang dihabiskan orangtuanya untuk tetek benget ia mendaftar di universitas atau saat kuliah setelah dinyatakan lulus, terbuang percuma. Wanita berusia 18 tahun itu hanya ingin menikah. Punya suami dan melahirkan anak-anak dari rahimnya.
Namanya, Eka. Lengkapnya Andi Eka Vuspasari. Sabtu, 10 Juli 2010, pukul 23.29, saat deru kuda besi di depan kampus Unhas terdengar dan jadi penanda balapan liar dimulai, saya mengenangnya.
Senin, 27 Juni 2010 lalu saya mengirim sebuah pesan singkat kepadanya. Hingga malam ini ia belum menjawab. Memberi respons atau apapun reaksi lainnya. Yang saya tahu, itupun saat membuka henpon-nya suatu subuh setelah kemenangan Belanda (tim favorit saya) atas Uruguay di laga semifinal Piala Dunia Afrika Selatan 2010, sms saya itu ia simpan di kotak pesan. Jadi dia tidak marah sehingga tak membalas sms tersebut..
Eka untuk kali ketiga sukses membuahi ovum yang saya kirim. Tidak ada yang protes. Bahkan orangtuanya sekalipun. Toh kami memang di suatu siang di awal Oktober 2001 telah mengucap ikrar untuk saling bersama, dalam suka maupun duka disaksikan Sang Khalik yang tak nampak namun saya yakini ada.
Kini, hasil senggama kami telah merubah tubuhnya. Jika sebelumnya, saat aku bonceng dengan motor butut kami, laju motor masih terasa bagus, kini semuanya telah berubah. Kadang terasa ban belakang sempoyongan bergerak dan sobreker minta ampun. "Sudah 54 kg ayah." Begitu katanya setiap dia duduk di belakang dan saya berbalik mengintip ban belakang motor yang saya beli 2005 silam.
Ia kini seperti badut. Perutnya membuncit. Buncit itu yang membuat berat badannya naik. Katanya 8 kg. Sebelum mengutak-atik henpon-nya di malam kemenangan Belanda (sekali lagi itu tim favorit saya), saya sempat memegangi perut yang telah membuncit itu. Ada gerakan-gerakan ringan di dalamnya.
"Posisinya bagus. Anunya (apanya ya?) sudah kentara. Tadi di-USG. Kata dokter sudah tujuh bulan," ujar Eka ke saya.
Saya tak bisa menggambarkan kebahagian saya mendengar kalimat tersebut. Setahun, dua tahun, atau bahkan tiga tahun lalu, saya sudah pernah sampai pada kesimpulan dan nyaris taat pada program Keluarga Berencana (KB) yang digaungkan pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, lantaran khawatir akan bertambah bocah perempuan yang memanggil saya, ayah.
"Cukup Rara dan Syifa saja. Tidak apa-apa perempuan dua-dua dari pada bikin lagi dan ternyata perempuan lagi." Begitu kata saya sebelum akhirnya luluh lagi oleh keinginan menggendong seorang anak laki-laki. Saya selalu bermimpi bakal punya seorang anak laki-laki. Harapan saya, dia kelak akan menjadi pemain bola sukses atau apalah yang penting ada embel-embel sukses di belakangnya, yang membanggakan kami. Saya juga selalu merasa iri dengan ayah lain. Datang ke stadion Andi Mattalatta menyaksikan laga PSM ditemani anak laki-lakinya yang mengenakan kostum Syamsul Chaeruddin. Betapa menyenangkannya menonton bola di lapangan dalam suasana riuh, di tengah nyanyian suporter The Maczman yang kreatif. Saya memimpikan saat-saat bersama anak bertaruh baju baru, tas baru, sepeda baru dan yang pasti bukan ibu baru, untuk sebuah pertandingan bola dan kami punya jagoan masing-masing. Saya berharap kelak bisa membangunkan anak laki-laki, pada suatu subuh untuk menyaksikan pertandingan Chelsea, Inter Milan, dan Real Madrid yang akan sama-sama kami idolakan. Atau bahkan suatu saat mengajak dia ke stadion berpapasan suporter Argentina, Spanyol, Belanda, serta Holigannya Inggris, berbaur bersama suporter Indonesia yang menyanyikan lagu “Garuda di Dadaku” ketika FIFA tiba-tiba menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022, 2026, 2030, atau 2034.

"Terima kasih Tuhan. Tolong jagakan dia agar kelak lahir sempurna, taat padamu dan istriku tak mengalami kesusahan melahirkannya ke bumi," kataku di setiap doa.
Eka kini di kampung. Sejak awal kehamilannya, ia memang lebih banyak di kampungnya. Ia memilih pulang kampung karena saya "tak mampu" mengurusnya dengan baik. Tak bisa memanjanya sebagaimana suami lain memanjakan istrinya yang sedang mengandung. Kesibukan saya sepanjang hari ternyata mengalahkan keinginan untuk setiap malam mengelus jabang bayi itu, meski sekadar lewat kulit perut ibunya.
Tapi saya tak sedetik pun pernah melupakannya, bersama kakak dan ibunya. Saya menantikan kehadirannya menatap dunia meski saya sendiri telah berjanji untuk tidak melihatnya keluar mencumbu semesta dari rahim istriku.
"Ayah harus temani saya nanti kalau melahirkan karena ini mungkin anak terakhir kita. Saya tidak mau lagi merasakan sakit yang begitu sangat sakit saat melahirkan. Ini yang terakhir. Jadi Ayah harus di samping saya," kata istriku.
"Tidak ibu. Saya ingin berlaku adil ke anak-anakku. Rara dan Syifa lahir tanpa saya, dan anak ketiga kita juga tidak akan saya lihat proses kelahirannya (baca: Harusnya Dia Annie Speed. Disearching saja ya, saya lupa pastinya nama blogku)." Saya pertegas hal itu pada beberapa kesempatan ketika kami membahas soal kelahiran anak kami.
Dua bulan lagi, insya Allah, anak ketiga akan melengkapi kebahagian kami. Pesan singkat yang kini disimpan istri saya berisi nama janin itu. "Saya sudah menyiapkan nama buat anak kita. ARUNG MARIO. Dua anak kita sebelumnya namanya diberikan tante (tante istri saya, pen), sekarang saya sendiri yang harus memberinya nama," kata saya. Tak ada protes dari Eka. Saya yakin dia setuju saja.
Arung Mario. Saya sengaja memilih nama ini karena banyak alasan. Salah satunya nama itu mengandung doa dan pengharapan saya kelak ke Arung Mario. Pasti terdengar aneh kita saya menjadikan doa sebagai alasan. Bisa jadi ada yang akan mempertanyakannya dan berujar, "Kok bukan dari bahasa Arab atau asmaul husna saja sekalian." Saya mahfum jika pertanyaan tersebut muncul. Tapi itulah keyakinan saya. Arung sepahaman saya sebagai seorang Bugis adalah pemimpin, raja atau tauladan. Kelak, saya ingin anak ketiga saya ini punya jiwa kepemimpinan dan menjadi tauladan. Itu doa saya. Siapa tahu saja ia kelak menjadi pemimpin atau kapten Timnas Indonesia di Piala Dunia. (Saya selalu menyinggung Piala Dunia, maaf bukan narsis hanya momennya saja lagi Piala Dunia)
Mario. Ada dua alasan saya memilih nama ini. Pertama Mario dalam pikiran saya sebagai seorang Bugis berarti gembira, senang atau apalah yang serumpun dengan itu (bisa diprotes karena saya memang tidak pernah melihat kamus bahasa Bugis, tapi yakin itu tidak akan memengaruhi saya). Saya berharap anak saya kelak sosok yang selalu merasa gembira dan menyenangkan semua orang di sekitarnya. Ia akan menjadi sosok yang selalu memberi kedamaian ke seluruh mahluk di jagad ini. Apakah itu manusia, binatang, ternak, serta lingkungan dan alam semesta seluruhnya.
Alasan kedua dan menjadi paling utama yang mengilhami saya yakni seorang tokoh yang saya jadikan idola pertama selama hidup saya yang kini sudah 31 tahun. Dia Sosok yang dua kali dinobatkan sebagai pelatih sepak bola terbaik dunia oleh International Federation of Football History & Statistics (2004 dan 2005), Jose Mourinho. Mario bagi saya kependekan atau plesetan (atau apakah namanya) dari Mourinho. Memang terdengar tak nyambung. Tapi apa boleh buat. Sebagai seorang Bugis dan Islam, tidak mungkin saya memilih Jose, atau Mouri. Khawatir kalau kelak ia dikeluarkan dari daftar keluarga leluhur saya atau daftar keturunan bugis hanya karena dianggap namanya aneh atau british-british kata kata grup band Djamrud. Dan itu keputusan dan kesimpulan saya. Mourinho=Mario.
Saya memilih Mourinho=Mario menjadi bagian dari nama anak ketiga kami, sebagai bentuk kekaguman saya ke pria asal Portugal itu. Saya senang gayanya melatih. Ekspresinya di pinggir lapangan, intelejensinya sebagai seorang pelatih dan pribadinya yang teguh dan selalu punya impian yang besar. Ia punya karakter dan saya yakin tak salah mengidolakannya.
"Saya ingin menjadi satu-satunya pelatih yang memenangkan gelar Liga Champions bersama tiga klub berbeda. Ketika saya menang, saya tidak ingin berhenti dan di Italia saya sudah memenangi segalanya. Saya sudah memenangi Liga Champions dengan dua klub (FC Porto Portugal dan Inter Milan Italia) dan saya yakin bisa melakukannya bersama tiga klub," ujar Mourinho seperti dikutip dari Times Online usai mengantar Inter Milan memenangi Liga Champions 2009/2010 setelah menaklukkan Bayern Munchen 2-0 di Santiago Bernebau Mei 2010 lalu.
Mourinho=Mario adalah sosok pelatih terbaik menurut saya. Mantan asisten pelatih Bobby Robson dan Louis van Gaal di FC Barcelona itu terbaik sejagad kalau saya ditanya kapasitas dia. Setidaknya saya punya penilaian sama dengan Wesley Sbeijder, pemain Inter Milan dan Timnas Belanda (jangan lupa Belanda Favorit saya) di Piala Dunia 2010.
"Kami mengalahkan mereka semua dengan taktiknya dan aku ingin mengatakan kepadanya bahwa dia adalah pelatih terbaik di dunia." Begitu kata Sneijder.
Mourinho=Mario sosok yang selalu dicintai fans tim yang diarsitekinya. Di FC Porto ia dianggap sebagai manusia setengah dewa oleh suporter seiring kesuksesannya mengantar Porto panen gelar dengan meraih juara Superliga Portugal (2003 & 2004), Piala UEFA 2003, plus Liga Champions 2004.
Ia juga pelatih tersukses sepanjang sejarah Chelsea. Dielukan-elukan fans The Blues seiring torehan gelar terbanyak (enam gelar) dibandingkan pelatih sebelumnya dan mendapat predikat The Special One dari fans Chelsea. Bayangkan, The Special One. Itu predikat yang tak sembarang orang bisa menyandangnya.
Di Internazionale, Mourinho=Mario yang kelahiran Setubal, Portugal, 26 Januari 1963 tak kalah dielukan karena prestasinya membawa Inter Milan meraih gelar Champions yang telah dinantikan puluhan tahun. Bahkan di tahun yang sama, dua gelar juara lainnya ia persembahkan untuk publik Inter Milan.
"Forza Inter, Forza Mourinho. Jangan pergi. Kamu yang nomor satu," fans meneriakkan itu terus sebagai permohonan supaya Jose Mourinho sang pelatih bertahan, dan tidak meneruskan keinginannya pindah ke Real Madrid usai meraih gelar keduanya sebagai pelatih. Itu tanda cinta mereka tentunya ke pelatih yang punya komitmen tinggi dan sikap tegas meski Mourinho tetap pergi juga.
Dan semua itu pantas didapatkan Mourinho karena ia memang seorang peracik strategi tim yang dasyat. Dasyat karena mampu meredam FC Barcelona yang siapapun mengakuinya sebagai klub dengan gaya bermain paling menarik sejagad. Apalagi ketika menyingkirkan FC Barcelona di semifinal Champions, ada sosok dewa bola bernama Lionel Messi (fans Barca maaf ya saya menyinggung masa lalu).
Kelak, Arung Mario saya harapkan bisa mengikuti sukses dan pribadi Mourinho meski hanya secuil karena saya juga harus tahu diri. Saya berharap Arung Mario kelak menjadi seorang sosok pemimpin yang disayangi orang di sekelilingnya karena ia punya karakter dan prestasi yang memang layak untuk dibanggakan (siapa tahu bisa masuk timnas Indonesia dan mengantarkan negeri penggila bola yang dikuasai “mafia bola” ini ke Piala Dunia). Itu doa dan harapan saya memilihkan Arung Mario untuknya. Saya ingin dia kelak adalah sosok The Special One. Didoakan ya agar istri saya sehat, tidak sia-sia meninggalkan kuliahnya dan Arung Mario lahir selamat dan panjang umur. Amien. (Sabtu, 10 Juli 2010 pukul 23.29-Minggu, 11 Juli, pukul 01.28 saat saya sedang meliput balapan liar di depan kampus Unhas Tamalanrea Makassar).