Kali Ini Tentang Arung

DIA menjadi putus asa. Ketakutan yang teramat sangat mendera hari-harinya. Di lubuk hati, ia sangat rindu ibu bapaknya. Ingin sekali segera pulang dan bersimpuh di lutut ibunya untuk sekadar minta maaf telah merisaukannya. Ibunya telah banyak menangis. Tak terhitung lagi sejak ia harus meninggalkan
rumah sebagai status buron. Sebenarnya ia tak merasa bersalah. Tapi pembenaran diri tak ada lagi berguna. Ia sudah dicap biang.

Namanya, Arung. Umurnya 18 tahun ketika itu. Baru beberapa pekan setelah penentuan lulus SMA. Arung mengumpulkan beberapa temannya menuju ke pasar Sentral Beru. Pagi itu, Jumat, di Juni 2007, teman-temannya mengeroyok pria berseragam cokelat. Arung sendiri tak tahu, siapa pria yang menjadi
korban. Dan Arung pun dituduh sebagai otak pengeroyokan.


SUATU malam di penghujung tahun 2007, Arung duduk menatap langit di Pantai Losari, Makassar. Hantaman ombak di tembok penahan abrasi pantai tak pernah mengusiknya. Ia larut dalam buaian suara dan dentingan gitar seorang pengamen yang terkadang memaksa untuk diberi selembar uang seribuan.

Di Kafe milik Adi, pria kurus yang baru dikenalnya. Dalam dekapan angin malam Losari, pesta itu dimulai. Arung bersama empat temannya mulai menikmati satu benda menyerupai rokok berbentuk lintingan kertas. Di ujung lintingan digulung mengecil agar menahan isi tidak tumpah. Sekilas tampak seperti
pocong.

"Isap dalam-dalam lalu telan asapnya," Kalimat pertama yang ia dengan dan terasa aneh saat menghisap lintingannya. Ia seperti tersedak.

Malam itu, kali pertama Arung mengenal marijuana, budha stick, tampee, pot, weed, dope atau green stuff, ganja, hingga cimenk. Mengenal mereka satu per satu dari banyak nama tersebut yang kemudian banyak menjadi simbol usai dilinting. Mulai dari pocong, topsi, cimenk, gele, getop, bakx, rasta, atau nama lainnya yang dijadikan bahasa sandi.

Empat gelas teh menemani Arung dan kawannya malam itu. Sama sekali tak terlihat wajah risau meski ia tahu bahwa ganja adalah barang yang dilarang dan termasuk kategori narkoba. Ia sadar, penjara sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika mengancamnya jika ketahuan.

Wajar. Sebab ketika itu, polisi memang belum terlalu mengenal barang-barang tersebut. Apalagi aroma khas asapnya saat api menyentuh ganja masih asing di hidung aparat. Hingga untuk menikmatinya di tempat terbuka bukanlah hal menakutkan. Bahkan, Arung sempat berpesta ganja di salah satu rumah
rekannya yang hanya berjarak kurang dari 40 meter dari kantor polisi. Menikmati ganja sambil duduk di jendela dan menatap jejeran bangunan polsek. Tentu saja, sel tak membuatnya risau.

Tak sulit membuatnya nikmat. Setelah dikeringkan, dipotong kecil-kecil, lalu digulung menjadi rokok dengan kertas khusus yakni papir atau paspor. Papir bisa dibeli di beberapa toko yang menjual berbagai barang campuran. Mayoritas penikmat ganja tak pernah kehilangan papir di dompetnya.

Mendapatkan ganja saat itu juga sangat mudah. Hampir di setiap lorong di kota Daeng ini ada saja bandarnya (BD). Para jokul atau penjual biasanya menawarkan dalam bentuk paket. Pasien atau pemakai bisa membeli (bokul )dengan harga yang bervariasi, mulai 20 ribu untuk PA-HE (paket hemat) hingga ratusan ribu. Untuk paket 20 ribu, dikemas dalam bungkusan obat yang sering ditemui di apotek. Satu paket ada tiga atau empat linting. Menikmati paket ini dengan empat orang sudah sangat menyenangkan. Apalagi kalau bandarnya adalah teman sendiri. Mereka tidak akan memotong isinya atau malah memberi tester atau barang contoh dengan gratis. Hasilnya bisa empat lintingan jumbo. Paket jumbo biasanya dilinting dengan memberi tambahan camp’s atau campuran tembakau.

Ganja merupakan tumbuhan penghasil serat. Akan tetapi, tumbuhan ini lebih dikenal karena kandungan narkotikanya, yaitu tetrahidrokanabinol (THC). Semua bagian tanaman ganja mengandung kanaboid psikoaktif. Asap ganja sendiri mengandung tiga kali lebih banyak karbonmonoksida daripada rokok
biasa.

Sejak di pantai Losari malam itu, Arung tak jarang melewatkan pekan begitu saja tanpa ditemani asap ganja. Tak hanya menghisap. Ia juga sangat suka disuntik. Istilah suntik digunakan saat penikmat mengisap ganja melalui hidung dengan bantuan teman yang meniup lintingan secara terbalik. Ini menjadi
kesukaannya. Ia akan mengisap dalam-dalam seluruh asap ganja tersebut hingga terasa hingga ke otak. Perasaan melayang ketika itu akan muncul saat asap ganja mulai menelusuri lorong-lorong otaknya.

Arung sangat senang ganja. Ia merasa sangat cantik (mabok menyenangkan) setelah menikmatinya. Bahkan suatu malam di salah satu jalan di bagian timur Makassar, saat temannya juga menyelingi pesta ganja dengan shabushabu, ia sama sekali tak bergeming. Arung hanya menghisap dua kali dan sama sekali tak merasakan apapun.

"Ayo makan bakso?" ajak teman Arung usai menyantap shabushabu.

"Ayo," jawab Arung.

"Hahahaha, dasar penikmat ganja. Biasanya kita kalau habis nyabu tidak akan makan-makan, eh dia malah lapar," kata teman-temannya.

Suatu hari, saat berkumpul bersama temannya berpesta narkotika, Arung menghisap ganja sendirian dan teman-temannya menikmati putaw. Ganja memang menjadi kesukaan Arung. Membuat pikirannya akan melayang jauh. Mengingat sesuatu yang menyenangkan, menyedihkan, silih berganti dalam benaknya.

Pikirannya terbuai dalam indah romantika hidup. Namun, di saat lain ia bersedih mengingat kejadian yang menimpanya. Mengingat ibu bapaknya yang harus ia tinggalkan secara terpaksa. Terkadang menangis dan tertawa seperti dua saudara yang tak bisa dipisahkan.

Tante Arung, pemilik rumah yang ia huni kadang menegur ketika mendengar tawanya pecah.
"Gila ko Arung. Kenapa ketawa sendiri?" kata tante Arung saat melihat Arung tertawa dengan mata memerah.

Tak jarang, Arung dan pamannya mendapat amarah dari tantenya karena nasi satu panci habis mereka makan.

"Memang kalau lagi on kamu akan lapar. Selera makan meningkat, juga akan haus karena tenggorokan kering. Makanya menikmati ganja enaknya dengan teh. Begitulah bawaan ganja," kata om Arung suatu saat.

Yang paling membuat Arung jengkel, jika pada saat mabok, ia harus menggendong anak tantenya. “Capek dan malasnya minta ampun," kata Arung.
Perasaan malas, lamban dan cepat lelah adalah salah satu bawaan ganja. Merasakan kenikmatan ganja bisa menjadikan kita sosok yang bodoh dan membosankan.

Pada tahun 2008, Arung mulai membawa “barang haram” itu pulang ke kampungnya. Salah satu kabupaten di wilayah utara Sulawesi Selatan. Arung memperkenalkannya ke teman-teman kecilnya hingga ia bahkan pernah dianggap gila.

"Dulu kami kira kau sudah gila. Jalan sendiri seperti gerak jalan sambil senyum-senyum. Ternyata itu pengaruh ganja," kata seorang teman Arung.

Ganja dapat mempengruhi konsentrasi dan ingatan. Hal itu dialami Arung hingga kerap merasa aneh sendiri. Di suatu malam, saat akan pulang ke kampung membawa ganja usai berpesta gele, ia lupa letak terminal Panaikang. Awalnya, ia malah salah memilih mobil angkutan. Bermaksud ke arah Panaikang, ia
malah naik angkot perumnas Toddopuli yang berlawanan arah. Ia terpaksa turun di tengah jalan dan berusaha menemukan mobil yang tepat. Lagi-lagi ia masih bingung letak terminal. Pikirannya kacau memikirkan apakah letak terminal sebelum kantor gubernur atau setelah kantor gubernur yang sebenarnya berdampingan. Ia baru sadar ketika angkot yang ditumpanginya melewati terminal.

Malam itu adalah hari yang aneh baginya. Ia menyadari dirinya kebingungan. Ia juga mengalami perubahan perasaan waktu, lama seperti sebentar. Dan ruang, jauh seperti dekat. Belum lagi saat seorang polisi mendekatinya di depan pos jaga terminal. Ia hampir saja lari. Beruntung ia mampu menguasai diri meski ia mulai tampak ketakutan dan panik. Denyut jantungnya menjadi cepat sebagai efek rasta.

"Minta apinya dek," kata polisi yang menghampirinya malam itu.

"Selamat-selamat, ternyata hanya mau minta api," kata Arung sambil memasukkan bungkusan rokok yang isinya sebagian besar lintingan ganja siap pakai.

Di lain waktu, Arung hampir saja mendapat masalah. Saat itu, Tono, teman sekampungnya ia ajak mencicipi ganja. Tono bersedia hingga ia merasa aneh, ketawa sendiri, berhalusinasi dan meminta memeriksakan diri ke puskesmas. Tono khawatir. Ia depresi dan cemas semalaman.

Pengalaman lain datang dari teman sekampungnya yang lain. Namanya Muhlis. Awalnya, Arung dan Muhlis sama-sama menghisap ganja. Merasa tersinggung karena ia tertawa cekikikan dan banyak bicara, Muhlis akhirnya menantang Arung berkelahi.


AGUSTUS 2008. Arung melihat pengumuman hasil Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ia dinyatakan lulus. Setelah mengurus semua kelengkapan pendaftaran ulang, beberapa pekan kemudian ia menyandang status mahasiswa Universitas Hasanuddin.

Sebagai mahasiswa baru, kebiasaan mengisap ganja ketika itu berkurang. Kesibukan di kampus, termasuk menyiapkan inaugurasi membuatnya jarang ke rumah pamannya untuk sekadar menikmati selinting ganja.

Tapi itu tak berlangsung lama. Bergaul beberapa pekan saja, ia akhirnya bertemu kawan-kawan barunya. Sesama penikmat pocong. Tapi saat itu, polisi mulai mengenal ganja. Satu persatu BD di Makassar digulung dan dijebloskan ke penjara. Hanya saja, kampus memang tempat yang sangat menyenangkan. Dengan otonomi khusus yang dimilikinya, menikmati ganja di kantin atau di tempat terbuka lainnya, menjadi sangat aman. Polisi tak berani masuk kampus meski tahu bahwa di dalam sana aksi kriminal banyak terjadi.

Arung pun tahu bahwa kampus ternyata surga bagi penikmat barang haram ini. BD dengan mudah ditemukan. Menikmati ganja juga sangat leluasa. Belum lagi ketika itu harganya semakin murah. Cukup saweran dengan uang seribu rupiah, sudah bisa merasakan mabok ria. Bahkan tak jarang, di sela-sela
mengikuti kuliah, ia menyempatkan diri ke toilet untuk menghisap sekali atau dua kali.
Arung mabok. Bersyukur, meski hampir setiap saat ia menikmati ganja yang terkadang ditemani minuman keras berbagai merek, ia tetap aktif kuliah.

Ketika kuliah, dengan begitu gampangnya mendapatkan ganja dan menikmatinya bisa di mana saja, ia sempat menjadi seperti orang gila. Pernah di suatu sore, ia mabok berat. Berjalan dari kampus ke pondokannya yang berjarak 500 meter dari fakultasnya, ia sama sekali tak merasakan apapun. Saking
maboknya, ia seperti tak mengenal siapa pun. Bahkan untuk naik tangga rasanya sulit.

Di dalam kamarnya yang berukuran 2,5 meter x 3 meter dengan coretan yang menyelimuti hampir seluruh dinding, Arung merasa akan dicabut nyawanya.
Maboknya sudah melewati ambang batas. Dunia berputar kencang. Berdiri pun tak bisa. Duduk tak mampu. Tidur tak enak. Dunia betul-betul berputar dan membawanya dalam ketakutan yang teramat sangat. Ini terjadi di tahun 2000.

"Saya merasa, ajal itu sudah sangat dekat sebelum akhirnya saya tak ingat apa-apa dan tidur. Beruntung malamnya masih bangun. Saya telah lolos dari maut," kata Arung.

Tapi kondisi itu tak membuatnya jera. Pergaulan membawanya ke arah kehancuran karena gele. Lantai tiga kampusnya menjadi sarangnya mengisap ganja.
Saat mabok di kampus, banyak hal yang ia rasakan. Bangga. Merasa sombong sebagai anak kota. Pikirnya. Ia juga semakin senang dengan lagu-lagu Slank yang menurutnya akan membawa dia menjadi orang yang sangat bebas ketika telinganya menangkap suara Kaka saat dibuai ganja. Belum
lagi beberapa teman bergaulnya di kampus memang BD. Jadi, tanpa uang sepeser pun menikmati ganja tetap berjalan.

"Mari berpesta!" kalimat itu menjadi sangat akrab di telinganya.

Tak cuma juga sempat merasa akan meregang nyawa dalam buaian rasta. Ia juga menjadi pelupa. Seorang wanita yang tak lain juniornya di pramuka sempat menegurnya saat menghadiri sebuah acara Fakultas Kedokteran Unhas. Dan anehnya, sama sekali ia tak mengingat siapa gadis itu.

"Masak kau lupa. Katanya kau pernah suka sama dia waktu pramuka di SMA. Namanya Zaenab," kata adik sepupu Arung beberapa hari kemudian. Tapi tetap saja Arung lupa. Ingatannya seperti hilang sebagian karena ganja.

Beruntung ia terselamatkan aturan akademik yang mengharuskannya hanya bisa bertahan sebagai mahasiswa selama tujuh tahun. Pada tahun 2004, termasuk karena rongrongan orangtuanya, ia akhirnya meninggalkan kampus dengan gelar sarjana. Tapi pocong itu telah membuatnya rusak. IPK 3,37 tak berarti apa-apa. Ia meninggalkan kampus dalam keadaan nol besar. Beruntung ia bisa bekerja hingga saat ini di sebuah perusahaan swasta.

Kini, saat pekerjaannya menuntutnya untuk banyak memiliki pengetahuan, Arung butuh belajar kembali. Ia berjuang keras untuk mengingat atau menghafal sesuatu. Ia bahkan butuh waktu panjang melakukannya. Otaknya menjadi sangat lamban bekerja. Berbeda saat sebelum dia berkenalan dengan ganja. Hanya satu yang bisa bertahan. Ia terus meyakini bahwa ia tetap kreatif. Bisa jadi ia masuk kelompok yang menjadi aktif, terutama dalam berfikir kreatif (bukan aktif secara fisik seperti efek yang dihasilkan Methamphetamin) karena ganja. Tapi itu tentu itu masih akan dipertentangkan banyak orang.

Berdasarkan penelitian, lonjakan kreatifitas juga dipengaruhi jenis ganja yang digunakan. Salah satu jenis ganja yang dianggap membantu kreatifitas adalah hasil silangan modern "Cannabis indica" yang berasal dari India dengan "Cannabis sativa" dari Barat. Jenis Marijuana silangan inilah yang merupakan tipe yang tumbuh di Indonesia, khususnya di Aceh. Jenis-jenis itulah yang selalu menemani hari-hari Arung.

Kini, ia sudah 31 tahun. Tapi pengaruh ganja itu masih membekas. Lebih dari tujuh tahun hari-harinya ditemani ganja dan menjadikannya "bodoh". Beruntung, dia tak seperti para pengguna ganja lain yang akan mencari obat-obatan yang lebih keras dan lebih mematikan. Tapi menjadi bodoh, pelupa,
kerap kehilangan konsentrasi, gampang stres, daya pikir berkurang, motivasi belajar hilang dan kehilangan beberapa memori adalah kerugian besar.

Termasuk kehilangan memori tentang Zaenab, gadis pujaannya waktu masih SMA yang tak sempat menjadi kekasihnya.

SAYA mengenal Arung. Begitu pula seluruh kisahnya bersama barang haram bernama ganja yang kini telah ia tinggalkan. Kisah soal pocong ini ia bagi ke saya untuk menjadi bahan perenungan kepada siapapun yang membacanya. Sejarah Arung sebagai penikmat pocong bukan sesuatu yang bagus. Melainkan setan perusak. Kreatifitas dan imajinasi tinggi yang kadang dibanggakan dan jadi pembenaran mengkonsumsi ganja, tak sepadan dengan efeknya. Yakinlah kawan. Nikmat itu hanya sesaat. (amiruddinaliah@yahoo.co.i
d)