Minggu
yang aneh. Tiba-tiba saja saya tersenyum-senyum sendiri di depan pintu
kamar.
Sore yang mendung membuat pikiran saya seenaknya berselancar.
Pikiran yang melayang ke sana ke mari itu membuat saya harus tersenyum.
Pasnya, senyum sendiri.
Sore itu memang aneh. Tiba-tiba saja saya berpikir tentang banyak
hal. Dari sakit yang membuatku hanya punya sedikit kesempatan menatap
langit, kawan-kawan, masa kecil, hingga masa depan saya dan keluarga
kelak. Mereka bergantian mengisi otakku. Saling berlomba untuk dominan.
Namun pada akhirnya, masa depanlah yang perkasa.
Dan pikiran soal masa depan itulah yang terasa aneh. Dari kursi roda
yang menegaskan statusku sebagai orang sakit, saya mencoba membangun
mimpi. Mungkin bahasa halusnya; menghayalkan masa depan.
Saya akan jadi pengusaha sukses. Pikiran pertama soal menjadi
pengusaha sukses ini sepertinya dipengaruhi iklan buku Chaerul Tanjung,
bos Trans. Dia awalnya juga miskin lalu pada akhirnya menjadi kaya raya
seperti sekarang.
"Kalau nanti kaya, saya akan membantu banyak orang. Mulai keluarga,
para tetangga hingga..........." Saya menutup impian ini cepat-cepat.
Sepertinya mustahil. "Tapi bagaimana kalau saya benar-benar beruntung.
Hehehehe?" Saya tertawa. Bisa jadi itu menertawai diri sendiri.
Insya Allah kalau sembuh, saya akan jadi seorang wartawan hebat.
Menulis dengan baik dan hasilnya mengagumkan. Akan saya lakukan banyak
liputan investigasi. Pikiran ini menggeser impian soal menjadi pengusaha
sukses. Jelas ini pengaruh Andreas Harsono, Agus Sopian dan Goenawan
Moehammad. Beberapa pekan belakangan saya memang rajin membaca
tulisan-tulisan mereka. Sangat membanggakan bisa menjadi wartawan
seperti mereka. Akan sangat menyenangkan jika punya kemampuan menulis
mendekati mereka. Saya tak berani bermimpi bakal punya kemampuan menulis
seperti ketiga orang ini. Karena mereka sangat amat hebat. Wajar mereka
hebat. Andreas misalnya, jurnalisme memang sudah menjadi agamanya.
Saat sedang asyik membangun mimpi tentang masa depan di dunia
jurnalistik, tiba-tiba impian lain datang. Pikiran saya melayang ke
sebuah gedung wakil rakyat. Ya, bagaimana kalau saya menjadi anggota
DPRD? Saya kepikiran ini setelah bertemu seorang keluarga dan kami
berbincang soal rencana seorang kerabat jadi caleg.
"Kayaknya mudah menjadi legislator. Saya punya keluarga besar di
Barru. Menggarap satu desa saja kalau bisa maksimal pasti lolos." Saya
tersenyum.
"Sepertinya menjadi anggota DPRD Sulsel lebih berkelas. Dan kayaknya
peluangnya juga ada. Apalagi seingat saya selama ini tidak ada anggota
DPRD Sulsel yang lahir besar di Barru. Artinya, kalau saya mencalonkan
diri, itu bisa jadi jualan untuk mensolidkan suara Barru. Saya juga
punya banyak teman di Barru yang tentunya bisa membantu jaringan
keluarga bekerja." Saya lagi-lagi tersenyum. Saya sukses menggampangkan
sesuatu.
Saya benar-benar memanfaatkan Minggu sore itu untuk membangun mimpi
atau mengkhayal. Mumpung terasa gampang merealisasikannya, sekalian saja
saya membangun impian yang lembih besar. Saya akan menjadikan istri
saya sebagai ibu bupati. Itu bahasa halusnya. Yang kasarnya tentu saja
saya ingin menjadi bupati. Hehehehe.
Lalu saya rancanglah tim sukses saya. Mencoba mengingat satu persatu
teman. Dari teman sekolah, teman kuliah, hingga teman main bola.
Strategi pendekatan pun teramu. Kalkulasi suara juga jalan. "Dengan
jumlah wajib pilih 120-an ribu, saya pasti bisa menang." Saya pun
tersenyum lebar.
Malah saya sudah membayangkan diri benar-benar menjadi seorang
bupati. Sudah Berpikir akan salat duhur, azar hingga subuh dimana dalam
sepekan. Juga sudah mengatur jadwal kunjungan ke desa-desa hingga main
domino di waktu-waktu tertentu di rumah tim sukses sambil berbincang
santai soal kebutuhan desa masing-masing.
"Saya ingin dicintai rakyat. Saya ingin dicintai pegawai. Kalau
perlu saya rutin main domino dengan satpol PP di pos rujab. Saya tidak
mau bersikap seperti kebanyakan pemimpin. Saya mesti rendah hati." Kali
ini senyum saya lebih lebar membayangkan bisa duduk dua periode.
Bagaimana kalau sekalian saja saya mencalonkan diri menjadi
gubernur? Baru saja saya mulai memikirkan ini, hujan turun. Semakin lama
semakin deras. Pintu kamar yang menghadap ke jalan pun ditutup.
Membangun mimpi menjadi gubernur pun sirna. Saya harus kembali ke
ranjang. Tidur sambil menunggu makan malam.
Tapi ternyata "membangun impian" tak sampai di situ saja. Malamnya,
saya susah tidur. Bayangan dan angan-angan soal jabatan bupati
mengganggu. Malah sangat menganggu. "Ini mustahil." Saya bergumam. "Ah,
tidak ada yang mustahil." Pikiran lain menghasut. Saya jadi gelisah.
Tidak bisa tidur.
Selasa siang, 25 Desember 2012 (saat melihat Jokowi di tv)
Selasa, 16 Juli 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya