Selasa, 16 Juli 2013

Edisi Terbatas F811

F81198017 mudah-mudahan saya tidak salah soal nomor induk mahasiswa saya. Kalau salah, simpulkan saja saya bukan alumni yang baik.
Sebab sebagai alumni sejarah kita setidaknya harus tahu soal sejarah sendiri. Kalau sulit tahu sejarah dari saat kecil, cukuplah tentang sejarah saat kuliah. Dan jika tak mampu mengingat banyak sejarah bermahasiswa, cukuplah ingat yang paling sering kita tulis di absen, Nomor Induk Mahasiswa.

Kamis, 4 April pagi ini, saya bangun dengan keceriaan. Real Madrid, tim favorit saya bersama idola saya, Jose Mourinho berhasil mengatasi tamunya Galatasaray di leg pertama babak delapan besar Liga Champions. Skornya 3-0.

Tanpa cuci muka, langsung buka facebook. Di beranda FB, ada beberapa pemberitahuan. Tentang siapa teman yang ulang tahun lah. Tentang pemberitahuan komentar pada status seorang kawan. Hingga pemberitahuan kiriman ke grup FB.
Pemberitahuan soal kiriman ini salah satunya di grup IKATAN ALUMNI JURUSAN ILMU SEJARAH UNHAS.

Iseng, saya buka pemberitahuan tersebut. Isinya beragam. Ada soal lowongan pekerjaan. Mengenai program S2, hingga status kiriman dari beberapa alumni. Kalau membuka grup alumni pagi ini, kita akan sama-sama melihat bahwa kiriman dari Dedy Ahmad Hermansyah mendominasi beranda. Keprihatinan jadi salah satu topik Dedy. Misal tentang kurangnya minat menulis, kurangnya produktifitas lembaga dalam berkarya, kurangnya kultur intelektualisme­-keilmuan, dan sebagainya. Itu masalah akut himpunan sejarah, kata Dedy.

Tentu sangat beralasan yang dikatakan Dedy. Ia dengar langsung keluh kesah dari mahasiswa ilmu sejarah dan tentu saja ia juga pernah mengalami dinamikanya.

Saya sendiri sepaham dengan Dedy. Ada yang perlu diperbaiki di himpunan. Dan tentu saja jurusan juga mesti berbenah.

Sebagai mahasiswa angkatan 1998, saya bersyukur menjadi bagian dari Jurusan Ilmu Sejarah. Meskipun pada akhirnya harus jujur bahwa itu pilihan ketiga saya.
Ada banyak cerita menyenangkan yang saya dapatkan. Saya tertawa, menangis, berpacaran dll di sini.
Jurusan ini juga telah memberi saya hidup bersama keluarga kecil saya. Saya bekerja bermodal gelar sarjana jurusan ini. Meskipun ijazahnya belum sekalipun saya sentuh. Saya tidak tahu untuk apa lagi ijazah itu kalau harus mengambilnya. Kalau sekadar identitas diri bahwa saya sarjana S1, itu bukanlah hal yang sangat membanggakan kini. Orang kini sudah berlomba-lomba S2 dan S3.

Terlepas dari itu, saya memang kadang malu mengakui diri sebagai alumni sejarah. Pengetahuan sejarah saya sedikit. Kemampuan saya sebagai seorang alumni sejarah yang kuliah 5 tahun sekian bulan nyaris nol besar. Beruntung bahwa saya masih ingat pengertian sejarah itu sendiri.

Saya telah membuat banyak kesalahan di masa lalu. Saya jarang belajar sewaktu kuliah. Saya tak punya cukup diktat. Saya hanya beli satu kamus Bahasa Belanda dan selebihnya buku pinjaman. Ada juga beberapa fotocopy-an. Tak ada buku catatan yang tersisa. Lembaran-lembaran kertas catatan saat dosen mengajar juga tak pernah meninggalkan jejak. Ganti semester, ganti kertas. Catatan yang sebenarnya menjadi sejarah bermahasiswa pun hilang.

Saya rajin masuk kuliah. Tapi sepertinya itu hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai mahasiswa. Tak lebih. Di tahun kedua kuliah, saya mulai berpikir untuk berhenti. Saya merasa bingung, apa yang saya dapatkan di kampus. Saya takut, karena sepertinya saya tidak punya arah dan tujuan yang jelas. Akan jadi apa saya setelah sarjana? Haruskah saya pulang kampung bertani setelah titel SS telah saya sandang? Itu mematikan semangat.

Namun saya bertahan. Meski tambah kacau dengan berbagai tabiat buruk, saya toh pada akhirnya bisa sarjana. Luar biasa aneh, menurut saya.

Dua pekan setelah diwisuda, saya akhirnya bekerja bermodal surat keterangan lulus.

Masalah kemudian muncul. Sebagai seorang alumni sejarah saya harusnya bisa menulis. Harusnya bekerja di bidang jurnalistik tidak akan susah dengan modal "kebiasaan" menulis dari jurusan. Tapi tidak, saya tidak bisa menulis layaknya seorang alumni sejarah.

Dalam proses itu, saya memulai dari nol. Istilah halusnya, saya kuliah lagi. Dan itu menjadi kuliah sesungguhnya. Saya benar-benar belajar dan ada hasil berupa tulisan.

Apa yang saya alami tentu sama dengan "ketakutan" Dedy. Tapi saya tidak mau memakai istilah "kurangnya minat menulis". Sebab bagi saya, bukan kurang minat, tapi memang tidak tahu menulis.

Sewaktu kuliah dulu, seingat saya kita hanya belajar historiografi. Berapa semester? Saya lupa. Tapi sepertinya tidak pernah saya mendapat pelajaran khusus soal menulis. Itu terjadi
di ruang kuliah dan di himpunan.

Lalu bagaimana mau produktif berkaya di lembaga kalau menulis saja mata kuliahnya kurang?

Makanya pantas saja kalau lebih banyak penulis sejarah di luar kalangan kita. Itu bisa dibuktikan dalam penerbitan buku di kabupaten kota. Kalau pun ada buku yang lahir dari kalangan kita, itu hanya produk dosen. Mahasiswa sejarah lebih banyak berakhir nasib "menulisnya" di skripsi. Setelah merampungkan skripsi, menulis pun terhenti.
Ini fatal. Sebab masing-masing masa punya sejarahnya sendiri. Tapi kalau alumni sejarah sendiri tidak ada yang menulis karena alasan tidak tahu, bagaimana ke depan penulisan sejarah kita. Apakah kita cukup permissif memberikan kewajiban kita ke orang lain?

Saat kita terlena dengan suasana perkuliahan yang bisa jadi tak berubah semenjak era doeloe, himpunan juga mungkin belum berbuat apa-apa. Seperti kata Dedy, sebenarnya ada diklat jurnalistik tapi hanya sebatas menggugurkan program kerja yang sudah dibuat. Mendingan sekarang. Dulu perasaan tidak pernah ada diklat semacam ini di himpunan. Padahal diklat jurnalistik untuk mahasiswa sejarah menurut saya hukumnya wajib. Di situ banyak pelajaran tentang menulis. Yang menjadi masalah kalau diklat dimaknai sebagai pelatihan yang kelak "mewajibkan" kita menjadi jurnalis. Ini jelas salah. Lewat diklat, kita belajar menulis tentang apapun, termasuk soal sejarah yang tak wajib dimunculkan di media. Atau soal cerita rakyat di kampung kita.

Lalu kalau memang sudah ada diklat jurnalistik, bagaimana kelanjutannya? Pernah kah alumni diklat menulis, apapun itu? Atau adakah himpunan memang menyediakan wadah menulis misal lewat buletin? Kalau tidak, ini harusnya dievaluasi. Dulu di era saya, ini seperti tak disadari.
Dan itu jelas kesalahan kami.

Himpunan pada dasarnya harus secara tegas membantu dan mengarahkan warganya untuk menjadi mahasiswa sejarah yang sesungguhnya. Bukan hanya lewat diklat jurnalistik, tapi mesti ada program yang secara khusus menyentuh kita sebagai mahasiswa sejarah. Misalnya berinisiatif membuat program penulisan sejarah singkat segala sesuatu. Baik itu tempat, organisasi, tokoh atau apapun.

Kembali menjadi petani, menjadi anggota dewan, guru, atau pengangguran sekalipun setelah mendapat gelar sarjana harusnya tak lantas memaksa kita untuk melepas atribut kita sebagai alumni sejarah. Tapi semua memang tak mudah. Kita mesti belajar, berbenah, dan berubah.

Barru, 4 April 2013
(Pagi yang beda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya