Rabu, 23 November 2011

Surat buat Anak-anakku

Makassar, 5 November 2011
Saya punya tiga klub sepakbola favorit; Real Madrid, Chelsea, dan Inter Milan. Mereka tim besar dengan segudang prestasi. Saat mereka bertanding dan menang, perasaan saya sangat bahagia. Sebaliknya, ketika mereka kalah, yakin saja saya pasti bersedih.

Kalian juga; Rara, Syifa, dan Arung Mario, tiga anak kebanggaanku. Kelak saya berharap kalian punya prestasi besar seperti Madrid, Inter atau Chelsea. Saya ingin kalian membuat bangga, bukan hanya saya, ibu kalian atau nenek, tapi juga negeri dan bumi ini.
Mendung, pagi, dan esok lebaran haji, mengingatkanku pada kampung halaman dan masa kecilku. Pagi ini saya ingin bercerita ke kalian soal kampung ayah dan masa kecil yang menyenangkan itu.
Ayah lahir dan remaja di kampung Bungi, Desa Lalabata, Kecamatan Tanete Rilau, Barru, Sulsel. Rumah kita RT 1, RW 1 No. 12. Rumah kita sederhana. Sesederhana kehidupan ayah, nenek dan paman kalian.
Tapi, sampai saat ini, seperti terhadap kalian, rumah dan nenek serta paman kalian adalah kebahagian yang tak tergantikan.
Masa kecil ayah sungguh membahagiakan. Bangun pagi, dimandikan mama, sekolah, bermain layangan, main bola di sawah dan mandi di sungai adalah keseharian yang menyenangkan. Tak pernah lepas di ingatan saya jerami-jerami basah tempat berguling-guling kala berlari di tengah sawah saat main layangan. Juga air sungai yang bening dan dingin. Sungai itulah kini yang kadang jadi pembenaran ayah untuk kulit yang hitam ini.
Ayah kecil begitu akrab dengan alam. Sangat beda dengan kalian. Terik sedikit pun membuat kalian kepanasan. Tak ada layangan, sawah atau sungai dalam dunia kalian. Yang kalian kenal semua serba modern. Trans Studio, KidZone, berbagai jenis game dan alatnya yang kadang membingunkan saya kala berpikir bagaimana memainkannya. Tak ada sungai di kehidupan kalian. Yang ada kolam renang dengan pakaian minim pengunjungnya.

Saya selalu menangis kalau ingat kampung dan tentu saja nenek dan seluruh kehidupan masa lalu. Tapi bukan berarti ayah mengeluh, takut, atau menyerah dengan kehidupan ini. Ayah berani berkata, “saya mampu bekerja untuk kalian hingga tubuh dan nyawa ini kembali ke Yang Khalik”.
Yakin saja, kebahagian masa kecil ayah juga akan kalian rasakan, meski caranya akan pasti beda.
Pagi ini mata ayah juga berkaca-kaca (sayang ya bukan kaca-kaca emas). Keinginan menulis surat ini tiba-tiba saja muncul saat bau sedap ayam masakan tetangga dan aktivitas persiapan menyambut iduladha dimulai di sekitar rumah kita di BTP.
Dulu, kalau sudah menjelang lebaran iduladha begini, ayah pasti sudah bersiap-siap. Menyiapkan mainan untuk dipakai malamnya. Kadang mobil-mobilan dengan lampu-lampu dari kaleng yang ayah buat sendiri. Tentu saja, pakaian terbaik yang akan dikenakan esoknya. Tapi bukan baju baru. Dalam setahun, ayah dan paman kalian hanya dibelikan sekali baju baru yakni pada saat idulfitri. Baju itulah yang dicuci dan disiapkan saat iduladha. Mungkin itu yang juga membedakan masa kecil kita. Mal membuat kalian sangat sering berbaju baru.
Rara, Syifa dan Arung, kebahagian adalah sesuatu yang sulit diukur orang lain. Termasuk kebahagiaan masa kecil. Semua orang pun baru mampu menyimpulkan dia bahagia atau tidak ketika usia dewasa sudah dipijaknya. Sama seperti sekarang, ayah berani berkata kehidupan kanak-kanak saya adalah yang terindah. Dan surat ini khusus untuk kalian agar kelak kalian paham dan mengerti kenapa ayah begitu menyayangi dan mencintai kalian. Sudah dulu ya, Nak, mendung tadi sudah mengeluh dan tak mampu menahan gerimis. Selamat iduladha untuk kalian anak-anak nakalku.
(Pagi di Makassar, saat masih harus berburu rupiah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya