Rabu, 23 November 2011

Negeri Irit Senyum

Salah satu perusahaan kereta api Keihin Electric Railways di Jepang mewajibkan para karyawannya untuk memeriksa senyumnya sebelum mulai bekerja, dengan menggunakan "grin-o-meter", atau pengetes senyum. Ini untuk memastikan apakah senyum mereka cukup baik untuk membuat pelanggan puas.


Scan senyum tersebut mengukur senyum, dan memberikan petunjuk ke pekerja, misalnya apakah senyum mereka semakin baik, atau mesti ada perubahan sedikit.
Saya memang belum pernah ke Jepang. Tapi saya bisa membayangkan bagaimana menyenangkannya jika berhadapan dengan pekerja yang saat kita mulai berinteraksi dengan mereka sudah langsung memberikan senyuman. Bisa jadi, kita sebagai pengguna jasa kereta api sedang tidak enak hati saat meninggalkan rumah, berubah senang saat mendapat penyambutan yang menyenangkan. Walau itu hanya sebatas senyum.
Namun tentu sangat wajar jika pekerja di Jepang secara umum selalu memberikan pelayanan dengan tersenyum. Sebab pendapatan mereka memang di atas rata-rata.
Saya selalu berharap pekerja-pekerja di Indonesia, dari yang ngurus wc di mal, satpam di toko, pelayan di supermarket, atau juga pegawai di rumah sakit bisa murah senyum juga seperti halnya di Jepang sana. Sebab murah senyum, sopan santun, serta ramah tamah memang budaya kita.
Tapi harapan itu sulit terwujud. Senyum dari pekerja di negeri ini teramat sulit ditemukan. Bukan salah pekerja atau pegawainya. Sebagai orang yang berbudaya timur, mereka juga punya sopan santun. Namun keadaan yang memaksa mereka untuk perlahan meninggalkan budaya sopan santunnya. Para pemilik modal yang mempekerjakan mereka telah merancang negeri kita menjadi negeri irit senyum lewat pemberian gaji yang jauh di bawah standar.

Jadi kita memang tidak harus berharap banyak bahwa pembersih toilet, pegawai RS, pelayan toko atau mal untuk  tersenyum. Senyum mereka mahal karena gajinya yang rendah.  Bagaimana mereka harus dipaksakan tersenyum saat bekerja, jika di saat bersamaan mereka juga harus memikirkan hidupnya. Ya, kontrakanlah, bagaimana uang makan untuk sebulan, atau biaya sekolah anak-anaknya. Mereka tak pernah fokus bekerja lantaran terbebani dengan pikiran-pikiran lain. Terbebani bagaimana mengatur keuangan dengan gaji Rp500 ribu per bulan, sewa kontrakan Rp200 ribu per bulan, dan harus makan tiga kali sehari atau gaji Rp500 ribu dan harus menghidupi istri  dan anak yang juga butuh pendidikan.
Jadi, kapan ya, negeri kita murah senyum lagi?????????
Sepertinya masih lama jika melihat kondisi pemimpin kita yang juga tak lagi murah senyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya