Rabu, 23 November 2011

Hari Sumpahi Pemuda

Sumpah Pemuda menjadi bukti otentik bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas di bawah kekuasaan kaum kolonial.
Ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli. Tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu yakni pada 17 Agustus 1945.

Hari ini, Jumat, 28 Oktober 2011, momen penting bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia itu kembali diperingati. Sumpah setia hasil rumusan Kerapat-an Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau dikenal dengan Kongres Pemuda II yang dibacakan pada 28 Oktober 1928 itu diperingati di seluruh belahan nusantara.

Di Sulsel, Sumpah Pemuda yang telah memberikan semangat dan motivasi baru untuk kita memperjuangkan nasib sebagai bangsa berdaulat juga diperingati. Sayangnya, terlalu besar noda untuk sebuah momen sakral yang harusnya dihargai. Sumpah Pemuda yang harusnya memberikan inspirasi ke anak negeri untuk tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah ternoda.

Yang  muncul kemudian adalah sumpah serapah. Hari dimana tepat 83 tahun lalu ada peristiwa yang begitu bersejarah terjadi, telah dirusak. Tak tampak dengan jelas bahwa hari ini adalah peringatan Hari Sumpah Pemuda. Yang lebih dominan malah Hari Sumpahi Pemuda.

"Mereka kurang ajar. Mereka merampok hak kita sebagai masyarakat. Berapa banyak kerugian yang diderita masyarakat pengguna jalan. Kita seperti diinjak-injak. Dipaksa berhenti, tersandera, dan kami tak bisa mengajar," kata Hasrullah kepada saya. Dia dosen salah satu universitas di Makassar. Teleponnya mengusik siang saya. Saat itu, pukul 11.35, ia mengaku sangat jengkel.

"Saya selalu mendukung aksi mahasiswa, tapi kalau modelnya seperti ini, jelas ini perampasan hak. Saya betul-betul marah. Mana panas lagi dan mau salat Jumat," katanya marah dari balik telepon. Ia menelepon saya sekadar ingin menyampaikan keluh kesahnya, meski dengan nada tinggi.

Sore, sekira pukul 15.30 wita, saat hujan telah berlalu setelah menyiram dengan ganas Kota Makassar, saya melintas di tempat dimana Hasrullah terjebak dan merasa telah disandera pemuda yang tengah memperingati Hari Sumpah Pemuda. Ternyata, yang menimpa Hasrullah masih berlanjut. Kendaraan dipaksa berbelok keluar dari jalur dan masuk ke salah satu kampus. Jalanan yang masih basah dipaksa kering dengan ban-ban yang terbakar dan mengepulkan asap hitam. Begitu senang para pemuda itu di antara wajah-wajah pengendara yang nyaris tanpa senyuman.

Dari arah utara Kota Makassar, melintasi flyover, juga sama tak mengenakkannya. Perampasan hak pengguna jalan juga terjadi di bawah fly over. Motor diparkir "menumpuk" dan menutup hampir seluruh jalan hingga hanya menyisakan ruang sempit yang hanya bisa dilalui satu kendaraan roda dua. Para pengguna jalan yang berpapasan dengan saya, terlihat berusaha menyembunyikan kemarahannya. Senyum mereka kecut.

Malam ini, beberapa jam sudah aksi memperingati Hari Sumpah Pemuda berlalu. Tapi pembahasan soal itu masih berlanjut. Mereka yang menyumpahi pemuda belum juga bisa tenang. Kemarahan mereka masih berlanjut. Saya melihat itu di facebook salah seorang teman perempuan. Isinya saya coba kutipkan beberapa;

"emang ada keahlian lainkah dari mahasiswa di daerah ini selain bakar2 bakar, bikin macet, dan tawuran".

"Bikin kesal sj para pengguna jalan, tdk bisa menyelesaikan masalah malah menambah masalah".

"Kalo hati dan jiwa sudah menyatu dgn aspal, maka itulah hasilnya... Pemuda yg aneh...".

"perlu dibedakan, yang mana semangat ? dan yang mana tale2kan ?"

"Tdk usah heran ....".

"Bawa2 nama agama lagi. Emang agama mengajarkan seperti itu? Merusak fasilitas umum (aspal) mengganggu masyarakat yg ingin beraktifitas... Benar2 pemuda yg aneh".

"tanda tak bisa berdiplomasi dan menyuarakan aspirasi... yaaa.. bakar ban saja.... kalau tawuran pake batu senjata yang sama sekali tanpa sentuhan teknologi".

"tapi jangan salahkan mereka....... karena negeri ini pemimpinnya sdh harus dipotong, bukan sekedar menggertak dengan bakar ban dan macetkan jalan".

"Biar jadi bahan tertawaan bagi Dg. Becak".

"Setiap Pemerintah (rezim) memiliki kelebihan & kekurangan... Membangun imej tidak merusak fasilitas umum, mengaktualisasikan diri bukan mesti merusak eksistensi org lain".

"jangmako bicara idealisme kalo belum bisa pako mandiri...".

"Tdk adami bs na bikin kodonk...".

28 Oktober hampir berlalu sekarang (kini pukul 23.00 wita). Saya ingin mengutip sedikit sejarah yang ada di Wikipedia. Tulisannya: Sebelum kongres ditutup 28 Oktober 1928 silam diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia".

Sungguh, apa yang terjadi 83 tahun silam itu membuat kita seharusnya merayakannya dengan Sumpah Setia sebagai pemuda penikmat kemerdekaan. Bukan malah disumpahi. Saya khawatir, tahun mendatang bukan lagi Hari Sumpah Pemuda yang kita peringati tapi Hari Sumpahi Pemuda.....Atau bisa jadi bangsa kita memang sedang sakit ya??????? (Makassar, 28 Oktober 2011: Dalam gundah di negeri elok nan kaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya