Rabu, 23 November 2011

Ini Kisah KKN-ku

(KKN Gelombang 62 Unhas Kabupaten Bone ketika dua mahasiswa meninggal dunia di sungai uloe diterkam buaya)


INI kisah tentang Megawati yang tewas diterjang buaya. Tapi bukan mantan presiden kita,
Megawati Soekarno Putri. Megawati ini teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) saya sebelum
menyelesaikan studi di Unhas.
Saya dan Megawati tergabung dalam mahasiswa KKN Unhas Gelombang 62 yang
ditempatkan di Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone. Saya sudah lupa tanggal dan
bulannya. Yang pasti, hari itu, Minggu di 2003.

Masih sangat pagi ketika informasi tentang dua mahasiswa KKN Unhas yang diterkam buaya
dan menghilang di Sungai Uloe, Bone, Sulsel, sampai ke telinga kami di Desa Matajang,
desa lainnya di kecamatan Dua Boccoe. Kabar duka ini dibawa sopir angkot. Megawati
bersama satu rekan KKN kami lainnya ditarik seekor buaya saat sedang mencuci di pinggir
sungai.

Sebagai bentuk solidaritas, saya yang waktu itu menjadi koordinator desa mengajak
teman-teman se posko untuk datang ke lokasi kejadian di Sungai Uloe.
Kami termasuk rombongan yang telat datang. Maklum, meski jarak desa kami ke TKP hanya
sekira lima km, kondisi jalanan buruk dan arus kendaraan tidak lancar. Kami butuh
berjam-jam sebelum bisa mendapatkan angkot. Setiba di pinggiran sungai, hampir seluruh
mahasiswa KKN se kecamatan Dua Boccoe sudah berkumpul. Isak tangis masih berlanjut.

Hingga pukul 16.00 wita, mayat Megawati dan satu rekan kami lainnya (saya benar-benar
sudah lupa namanya) belum juga ditemukan. Saat itu, pencarian juga sudah dihentikan.
Sambil duduk di pinggiran sungai, kami tidak lagi berharap mayat dua rekan kami
ditemukan hari itu. Wajah-wajah putus asa diperlihatkan teman-teman KKN.

Saya lupa siapa yang awalnya melontarkan ide nekat. Yang pasti, saat semua putus asa,
saya dan satu teman dari Fakultas Perikanan langsung berdiri. Kami langsung menceburkan
diri ke sungai berair keruh yang mengalir pelan. Saya ingat sebelum menceburkan diri,
beberapa petugas brimob tampak mengecek kondisi sungai dengan bambu. Mereka bilang,
berisiko untuk turun menyelam sebab di pinggir sungai air yang mengalir deras bisa
mengisap dan menenggelamkan kita di bawah tanah yang tertahan akar pohon.

"Hitung-hitung uji nyali atau memancing orang untuk turun kembali melakukan pencarian."
Kalimat itu muncul di pikiran saya.

Saya sebenarnya sangat takut ketika itu. Saya memang terbiasa dengan sungai, tapi itu di
kampung saya. Bukan di Bone yang sama sekali tidak saya ketahui seperti apa medannya.
Sungai tersebut juga cukup dalam. Sebatang bambu yang diturunkan hanya menyisakan
sedikit ujungnya. Saya perkirakan kedalamannya antara 7-10 meter.

Makanya, setiap menyelam telinga sangat sakit dan gendang telinga seperti akan pecah.
Tanpa peralatan menyelam, kami hanya bertahan beberapa detik saja sebelum muncul
kembali ke permukaan. Agar tak malu, setiap kali menyelam, saya selalu membawa lumpur
ke atas. Setidaknya membuktikan jika saya benar-benar sampai ke bawah.

Saat itu itu sebenarnya, saya antara percaya dengan tidak tentang cerita buaya yang
menarik teman KKN kami. Meski demikian, setiap menyelam ke bawah, saya selalu berdoa
mudah-mudahan saja saya tidak menemukan jenasah teman saya apalagi buayanya.

Syukur, aksi nekat kami ternyata direspons warga. Melihat kami turun ke sungai, mereka
pun ikut membantu. Katanya malu anak-anak mahasiswa dari kota turun menyelam
sementara mereka hanya menonton di pinggir sungai. Tak lama sungai pun menjadi ramai.
Anggota brimob juga turun bergabung.
Dan Tuhan ternyata memberi jalan berkat kerja keras kami. Salah seorang warga akhirnya
mampu menemukan posisi kedua jenasah teman kami. Dipanggillah seorang penyelam
pasir untuk membantu mengangkat kedua jenasah. Alasannya, posisi mayat jauh di dasar
sungai.

Tak sampai sejam, penyelam pasir muncul dengan celana pendek dan langsung
menceburkan diri. Dia menyelam mengikuti bambu yang kami tancapkan sebagai penanda
keberadaan jenasah. Tak sampai semenit, penyelam pasir itu muncul bersama jenasah satu
jenasah (saya lupa jenasah siapa yang pertama diketemukan). Saya langsung
menyambutnya. Tubuh kaku tersebut sudah licin seperti belut. Kemungkinan karena terlalu
lama terendam di dasar sungai.

Setelah membawanya ke pinggir sungai dan menyerahkan ke teman-teman KKN yang
menunggu di pinggir sungai, kami pun berencana untuk terjun ke sungai lagi menunggu
penyelam pasir. Tapi ternyata penyelam pasir tersebut hanya duduk di pinggir sungai.
Teman-teman lain terus menyemangati kami agar segera turun lagi.
"Satu mayat juga ada di bawah. Tapi dia tidak mau melepaskannya," kata penyelam pasir
itu setengah berbisik ke kami yang ikut menyelam dan mengajaknya kembali turun.

"Dia siapa pak?" tanya kami hampir serempak.
Belum ada jawaban, kami langsung berlomba naik ke pinggir sungai. Kami seolah satu
pemikiran bahwa yang dimaksud dengan "dia" oleh penyelam tersebut adalah buaya.
"Dia ditindis di bawah dan tidak mau dilepaskan," kata penyelam pasir itu setelah kami di
pinggir sungai.

Tak ada lagi yang bisa kami lakukan saat itu. Untuk turun kembali kami juga sudah takut.
Apalagi kami akhirnya yakin bahwa di bawah sana, buaya itu betul-betul ada. Esok hari,
saat pencarian sudah akan dimulai lagi, seorang dukun datang ke pinggir sungai dan
membuang telur seraya melontarkan kalimat seperti berdialog dengan sesuatu. "Lepaskan
lah dia. Kasihan sudah satu malam orang tuanya menunggu." Begitu yang disampaikan
sang dukun dalam bahasa Bugis sambil menyentuh air dengan tangannya. Tak berselang
lam, satu tubuh muncul ke permukaan dengan posisi badan tertelungkup. Saat dibalik,
wajah teman kami itu sudah tak terbentuk. Mungkin akibat dimakan ikan dan kepiting.

Pengalaman menyelam mencari teman KKN kami ini sangat berkesan. Bahkan malam
setelah kejadian tersebut, kepala desa, istri kepala desa, mertua kepala desa, ipar kepala
desa, serta beberapa warga menyidangkan saya.
"Bagaimana kalau kau juga ditarik buaya?" Begitu kata mereka. (Sudah tengah malam di
Makassar, Kamis, 9 Juni)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya