Rabu, 23 November 2011

Melepas "Perawan" di The Lost Bladesman

FILM Titanic yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet hingga tahun ini masih merajai Film Romantis Valentine. Wajar. Film ini memang sangat kuat nuansa romantismenya sehingga penonton di belahan manapun di bumi ini tak pernah bosan menontonnya.


Tahun 1997, pertama kali saya tahu tentang film yang memenangkan 11 Academy Awards pada 1998. Saat itu, film dengan kata mutiara terkenal "nothing on earth could come between them" (tiada sesuatu pun di bumi yang sanggup memisahkan mereka) ini sangat digandrungi. Orang rela antre. Yang sudah antre dan bisa menontonnya bahkan beberapa di antaranya antre lagi keesokan harinya. Sungguh James Cameron, Sutradara Titanic, sudah berhasil membuat film yang fantastis.

Saya salah satu di antara berjuta manusia yang di tahun 1997 itu sangat berharap bisa menyaksikan Film Titanic di bioskop di Makassar. Momennya bagi saya memang sangat tepat. Lari dari rumah, saya harus meninggalkan wanita pujaan hati ketika itu.
Selain itu, saya juga memang belum pernah menonton di bioskop (harap dimaklumi, soalnya dari kampung).

Namun, hanya keinginan yang kuat. Tidak ada upaya merealisasikannya. Berpekan-pekan Titanic di putar di bioskop Studio 21, Jl Ratulangi, tapi tak sekalipun saya hadir sebagai salah satu penonton. Bahkan untuk sekadar melintas di depan bioskop sekalipun. Titanic gagal memecahkan perawan menonton bioskop saya.

Kenapa juga saya pakai kata perawan?????
Telanjur. Tak masalah. Bagi saya perawan identik dengan yang pertama. Dan faktanya, Titanic bukan film yang pertama saya tonton di bioskop. Itu juga yang kemungkinan membuat saya sial hingga berselang 14 tahun kemudian, saya belum sekalipun pernah menuntaskan film Titanic. Kadang saya hanya menonton awalnya lalu tertidur. Atau bagian tengahnya saja hingga akhir. Lain waktu hanya bagian akhirnya saja ketika Rose menutup kisah penyelamatan penumpang kapal Titanic.

Meski Film Titanic kemudian menjadi salah satu film favoritku, saya tak pernah ingin untuk datang ke bioskop sekadar menyempurnakan alur kisahnya di benak saya.
Sejak kegagalan menonton Titanic itu pula, keinginan menonton di bioskop sepertinya hilang.

Bahkan ketika saya sudah menjadi seorang ayah bagi dua anak, keinginan itu tak juga muncul. Akhirnya, anak-anak saya yang lahir belakangan lebih dulu mengenal yang namanya bioskop ketimbang saya ayahnya.

Pernah, setahun lalu, saya sudah sampai di depan loket penjualan tiket. Biasa, ayah yang patuh pada keinginan anaknya yang lalu bersedia menemani, Rara dan Syifa, dua putri saya yang merengek. Katanya ada film yang mereka mau tonton dan jauh-jauh datang dari kampung untuk itu. Tapi takdir untuk menonton bioskop ternyata belum ada.
Sempat dag dig dug memikirkan bagaimana menonton bioskop dan seperti apa di dalam studio, filmnya ternyata sudah tidak diputar. Sehari sebelumnya adalah pemutaran terakhir.

"Filmnya sudah tidak ada ayah. Kita pulang saja." Saya ingat, kalimat itu yang diucapkan si sulung Rara sebelum kami meninggalkan studio 21 di Mal Panakkukang, Makassar.
Lega rasanya bisa mempertahankan rekor tidak pernah menonton bioskop hingga usia 31 tahun.

Namun saya memang sepertinya ditakdirkan bisa menonton bioskop sebelum kiamat 2012 (versi suku maya). Suatu sore, saya bertemu adik ketemu gede (saya pilih gede karena sepertinya tidak ada kata yang pas) saya, Tika. Dia ingin ditraktir nonton film Batas. Film karya, Rudi Soedjarwo yang dibintangi Marcella Zalianty. Kata Tika, film yang mengambil latar geografis dusun-dusun di Provinsi Kalimatan Barat itu menarik.

Film ini secara garis besar bercerita tentang ketegangan-ketegangan yang dialami oleh masyarakat setempat di wilayah Entikong, Kalimantan, yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia.

Demi Tika, saya pikir tidak ada salahnya. Apalagi dia begitu membanggakan film Batas, jadi saya kira akan menarik. Janji pun terucap.

Hari itu ternyata batal. Esoknya tak dijadwalkan lagi. Saya mengira janji nonton bioskop sudah tinggal janji saja. Artinya, saya tetap tak bisa menonton di bioskop. Rekor pun bisa makin panjang. Hingga sepekan kemudian, tepatnya, Jumat, 3 Juni 2011, Tika menagih janji.

Awalnya rencana kami menonton pukul 17.00. Namun batal lantaran kesibukan masing-masing. Acara nonton pun dipindahkan ke pukul 20.00.
Tiba di mal, saya pikir Tika hanya iseng dan tidak serius ingin menonton. Saya mesti menunggu lama dan mengirim beberapa kali sms sebelum dia benar-benar datang.
Kami bertemu di depan loket penjualan tiket.

Tapi nyaris saja acara nonton itu batal. Film Batas ternyata tidak tayang pukul 20.00.
"Film the lost bladesman saja kak," kata Tika memilih dari empat film yang sedang siap ditayangkan.

"Saya mengikut saja," sambung Eko, teman kuliah Tika di Stikom FAJAR.

Setelah tiket ada, sebelum kami melangkah ke pintu masuk studio, saya menawarkan ke Tika untuk membeli makanan ringan. Saya ingat film-film dulu, setiap adegan nonton bioskop, mereka membeli popcorn. "Tidak usah kak," kata Tika sambil melangkah.

Saat mulai masuk ke lorong yang gelap, saya bertanya-tanya dalam hati. Mencoba membayangkan, seperti apa, suasana di dalam. Yang saya ketahui pasti, suasana di dalam gelap. Sambil menerawang, kami sudah masuk ke studio. Benar saja, ruangannya memang sangat gelap. Ternyata film yang dibintangi aktor Donnie Yen (Guan Yu), Andy On (Kong Xiu) dan Wen Jiang (Cao Cao) sudah mulai.

Agak gugup juga rasanya melangkah mengikuti karyawan studio 21 yang mengantar kami ke kursi sesuai nomor yang tertera di tiket. "Saya akan sangat malu kalau harus jatuh di sini," kata saya dalam hati ketika sudah melintasi deretan kursi yang sebagian sudah terisi.

Ternyata menonton bioskop itu menyenangkan. Dengan layar besar di depan kita, dan dukungan pengeras suara, rasanya menonton menjadi mengasyikkan. Kadang serasa anak-anak yang berlari sambil berteriak ke Jenderal Guan Yu, melintas di samping kami. Penonton lain pun memberikan respons sama seperti saya. Kaget. Itu saya dengar dari tawa mereka.

Terkadang juga, terkagum-kagum melihat bagaimana lakon-lakon terasa begitu nyata. Anak panah dan pedang seolah begitu dekat di wajah kami hingga membuat jantung ikut dag dig dug. Sejam setengah, terasa begitu cepat. Jenderal Guan Yu telah tewas, dan cita-cita Cao Cao agar terjadi peperangan berkepanjangan pun tercapai. Sungguh pengalaman pertama yang menyenangkan. Sayangnya, baru bisa saya rasakan Jumat malam itu. Hingga momen romantis menonton bersama pacar, yang katanya lebih sangat-sangat menyenangkan lagi sudah tidak ada..........kasihan (Makassar, dua hari setelah nonton)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya