Jumat, 17 Desember 2010

Kecupan Terakhir

"Saya pernah menangis kehilanganmu. Tapi malam ini, saya harus meninggalkanmu."


SAYA mengenalmu suatu malam di sebuah pesta perkawinan. Kau manis, dan saya suka. Malam itu,  kau membuatku mabuk. Dunia seolah berputar saat saya menikmati tubuhmu.
Mungkin sebelum malam itu saya pernah mengenalmu. Tapi bayangan kenangannya  sepertinya sudah tak terbentuk. Jadi kumulai saja kisah perkenalan kita dari malam itu. Namamu Surya dan kisah itu 15 tahun silam.
Usai perkenalan malam itu, hari-hari berikutnya kita mulai akrab. Hingga suatu siang, sepulang  sekolah bapak menemukanmu di kamar. Bapak ketika itu ingin memisahkan kita, dan saya melawan. Bahkan setengah mengancam bapak. "Kalau bapak larang,  berarti saya berhenti sekolah."
"Tapi kau masih sangat muda, Nak. Baru 16 tahun," tegas bapak.
Lantaran telanjur jatuh hati padamu, saya tetap melawan.
"Pokoknya saya akan berhenti sekolah," kataku masih dengan nada keras.
Bapak mungkin terlalu sayang anak bungsunya dan dia memilih mengalah. Dia hanya menitip pesan, "Jangan banyak, ingat kau masih muda dan belum bekerja."
Ujung perdebatan itu sekaligus menjadi SK (surat keterangan) saya resmi bisa merokok.
--------------------------
PANJANG kisah saya bersama rokok. Malah, kalau mau dirunut kisah setiap batangnya, mungkin baru akan tuntas di kehidupan kedua saya. Sejak usia 16 tahun entah berapa jenis rokok telah  menyumbangkan asap beracunnya di tubuh ini. Dari Surya 16 produksi Gudang Garam (Surya yang  saya sebut di atas), White Horses, Marlboro, Sampoerna Mild, Gudang Garam Mini alias Filter, Dji  Samsoe kretek maupun filter, Sampoerna Hijau, LA Lights, hingga tembakau. Bahkan saya juga sempat dibuat terbatuk-batuk sabuk kelapa yang  dilenting sendiri.
Awalnya, seperti permintaan bapak, saya hanya merokok sebatang dua batang per hari. Tapi kesepakatan tak tertulis itu tidak lama. Sebaliknya, pasca memegang SK merokok, saya menjadi perokok berat. Jatah uang jajan sewaktu  SMA pun nyaris sepenuhnya ke rokok. Apalagi ketika itu rokok terbilang sangat murah. Cukup Rp1.000, sebungkus sudah di tangan. Asap pun bisa dikepulkan dengan bebas di kantin sekolah, di jalan saat  pulang, hingga di rumah, usai makan. Saat itu, untuk mendapatkan rokok, saya bahkan beberapa kali nekat merogoh kantong celana bapak yang digantung di balik pintu kamarnya saat ia pulang dari kantornya.
Nikmat rasanya mengepulkan asap dan menjilat filter rokok.  Apalagi sehabis makan yang pedas. Rasanya juga begitu bangga saat memainkan rokok di jari-jari atau  membulatkan asapnya dengan bibir sambil duduk atau berjalan.
------------------------------
Tahun 1997, menjelang tamat SMA, saya mulai mengenal rokok Star Mild. Kakak saya Adil yang  kuliah di IKIP Ujungpandang, suatu hari pulang dengan sebungkus Star Mild. Harganya  Rp700 per bungkus. Jauh di bawah Surya atau Sampoerna Mild dan Gudang Garam Mini yang sudah di atas seribuan.  Perkenalan saya dengan Star Mild berlanjut hingga kuliah di Makassar.
Kuliah di Makassar dan secara otomatis jauh dari orang tua membuat semua serba sangat bebas.  Termasuk bebas merokok. Rokok bagi saya saat itu memang sangat menyenangkan. Bisa jadi malah  lebih dari segalanya. Saya bahkan harus mengorbankan keperluan lain, termasuk keperluan makan  hanya demi rokok. Rokok sudah menjadi candu.
Demi merokok, cukup lama saya menjadi  penggemar berat tahu tumis dan mi instan. Tapi ini sebenarnya "hobi" yang dipaksakan. Ya, dipaksakan agar bisa irit dan ada sisa untuk membeli rokok. Maklum, saat itu, cukup dengan Rp500, lima potong tahu tumis plus airnya sudah  bisa mengenyangkan. Bahkan untuk dua kali makan. Biasanya, dua potong menjadi teman santap  siang dan selebihnya buat malam. Mi juga demikian. Sekali siram untuk dua kali makan. Karena terendam lama, mi sisa siang yang dimakan malam kadang tak ubahnya cacing-cacing yang sudah membengkak. Tapi tetap saja, nikmat setelah asap rokok mengaburkan rasanya. Tapi yang pasti, dengan paket "murah" tahu dan mi ini, saya bisa mengirit uang makan untuk membeli rokok.
Ini adalah kebodohan yang harus saya akui sekarang. Demi rokok, saya merampas hak lambung saya untuk mendapatkan gizi yang baik. Saya memang paling tidak bisa tidak merokok usai makan. Rasanya aneh. Bahkan rasanya sedih dan ingin menangis jika tak punya uang untuk membeli rokok. Status  sebagai anak kuliahan dari keluarga yang tak mapan pun sering jadi korban cacian. Kadang muncul rasa  menyesal lahir dari rahim yang tak kaya.
Apalagi ketika krisis moneter di tahun 1998 menghantam. Pengaturan uang rokok dan makan harus ekstra ketat. Harga-harga melambung. Ini berlanjut hingga beberapa tahun selanjutnya. Harga rokok bergerak tak terkendali. Star mild melaju kencang dari Rp700 per bungkus menjadi Rp800, Rp900,  Rp1.100, Rp 1.200, Rp1.450, hingga Rp1.500 dalam hitungan bulan. Dan pada 2002 harganya tembus Rp2.500. Seolah frustasi dengan pergerakan harga rokok yang terus naik sementara kiriman bergerak lambat, saya pun berujar dalam hati akan  berhenti merokok jika Star Mild sudah Rp10.000 per bungkus. Saat itu, saya tak yakin jika harga rokok bisa tembus Rp10.000  dalam beberapa tahun setelahnya.
-----------------------------------------
LEPAS kuliah dan bekerja, saya makin menjadi-jadi. Mungkin kalau diklasterkan, saya sudah masuk kategori perokok sangat berat. Jika saat kuliah rokok sebungkus cukup untuk sehari atau malah dua hari, saat sudah bekerja, standar naik. Menjadi dua hingga tiga bungkus per hari.
Bahkan saat itu, ketergantungan pada rokok sepertinya sangat tinggi. Saat bekerja, saya merasa rokok menjadi salah satu alat bantu saya. Termasuk untuk mengencerkan otak. Saya bisa bekerja lebih cepat, merampungkan berita demi berita sebagai seorang wartawan, dengan rokok terselip di bibir.
"Rokok membantu saya untuk berpikir." Itu kalimat pembenaran sebagai seorang perokok berat.
Bahkan pada beberapa kesempatan, saat otak panas dan kebingungan mau memulai tulisan dari mana atau mau melanjutkannya kemana, pelarian pasti rokok. Dan satu batang dua batang seperti selalu melahirkan solusi. Itu yang membuat saya menjadi sangat yakin dengan pernyataan salah seorang doktor dari Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) UNM bahwa dengan merokok, kinerja otak akan lebih cepat. Kalimat ini saya dengar langsung dari sang doktor yang setahu saya sangat paham hal ini dan dia juga perokok berat.
----------------------------------
MINGGU, 31 Oktober 2010,  saat dalam perjalanan menuju kantor, tiba-tiba muncul keinginan yang begitu  kuat untuk berhenti merokok. Tidak ada alasan khusus. Hanya memang, dalam beberapa hari  sebelumnya, terasa ada kelainan di dada. Tak jelas itu isyarat apa. Di saat bersamaan dengan itu, Kabag Umum Pemkot Makassar, Kasim Wahab juga sudah dua kali  mendoakan saya dalam perjalanan hajinya. Pertama saat masih di Medinah dan yang kedua ketika  sudah di Mekah. Tapi bukan didoakan berhenti merokok. Saya minta didoakan panjang umur.
Entah doa itu didengar Allah SWT dan rokok bisa mempercepat kematian saya, tiba-tiba saja tekad begitu bulat untuk segera berhenti  merokok. Juga mulai muncul pikiran bahwa kelainan di dada ini sebagai isyarat Allah SWT. Isyarat akan  janji saya untuk berhenti merokok saat Star Mild sudah Rp10.000. Sebab Star Mild saat ini memang sudah Rp10.000.
"Mungkin sudah saatnya saya berhenti merokok," kata saya dalam perjalanan dengan motor ke  kantor. Saat itu, di saku celana saya masih tersisa sebatang rokok.
Pukul 19.15, niat berhenti merokok betul-betul sudah sangat kuat. Tapi saya tak ingin mengakhirinya dengan begitu saja. Saya ingin ada perjalanan sejarahnya. Saya pun langsung menuju ke  halaman Graha Pena. Mengeluarkan sebatang rokok yang masih tersisa, merogoh korek gas. Setelah mengabadikan gambar rokok terakhir, korek menyala. Ujung rokok  terbakar, saya mengisapnya, dan asap mengepul. Seperti rasa yang saya dapatkan selama bertahun-tahun, nikmat sekali.
Asap terus mengepul.  Saya begitu menikmati setiap isapan rokok ini. Bahkan tak terusik dering HP. Saya tak ingin diganggu untuk  kebersamaan terakhir dengan Star Mild. Rokok yang selama 13 tahun menemani hari-hari saya. Membantu saya untuk berpikir sambil juga merusak saya.
14 menit berlalu, dan rokok itu makin pendek. Tepat pukul 19.29 wita, saya  mengecupnya sangat dalam. Sebab itu kecupan terakhir. Abu terakhir telat jatuh ke lantai. Tak ada lagi asap yang keluar. Seluruh  tembakau telah habis terbang bersama asap yang menerobos langit malam dan  paruparu saya  untuk yang terakhir kalinya. Malam itu, untuk Star Mild yang telah 13 tahun menemaniku, saya  mengucapkan salam perpisahan. (Selamat tinggal Star Mild)
---------------------------------------
JUMAT, 17 Desember 2010. Pagi hari ini, tepat 58 hari saya tak lagi merokok. Ternyata sangat berat meninggalkan  kesenangan dan kenikmatan bernama rokok. Saya bahkan berpikir seperti orang yang akan gila.  Berjuang melawan keinginan dan hasrat mendapat kenikmatan dari yang namanya rokok. Apalagi usai makan, air liur seperti ingin mengalir keluar. Betul-betul ini perjuangan yang sangat-sangat berat. Tapi saya selalu yakin bisa melaluinya.
Banyak yang kaget dengan keputusan tiba-tiba ini. Ada juga yang mengolok-olok. Tapi yang pasti,  saya meyakininya sebagai keputusan yang tepat. Bukan hanya lantaran saya bisa mengirit hingga  Rp25.000 per hari, karena setiap hari saya mengisap dua setengah bungkus rokok. Sejak berhenti merokok, saya juga bisa bangun subuh atau paling telat pukul 06.30 wita. Tak seperti sebelumnya, saya selalu hanya berjumpa siang. Terpenting juga, saya tak perlu lagi "mengusir" bocah kecil saya, Rara dan Syifa atau meminta mereka menjauh saat saya mulai mengepulkan asap. (Makassar,  Jumat, 17 Desember 2010 saat menikmati hujan pagi: Tulisan ini untuk KALIAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya