Jumat, 17 Desember 2010

Di Suatu Petang

Tiga belas tahun silam saya mendengarnya dalam suasana hati seperti Senin petang, 12 September lalu.
Lantunan salawat yang berkumandang lewat pengeras suara di masjid yang hanya sepelemparan batu itu membuatku ingin menangis. Itu ketika pertama kali saya harus jauh dari ibu. Saya larut dalam ingatan ke ibu yang jauh di desa seiring mulai memerahnya langit menyambut malam.
Sudah lama sekali memang. Bahkan untuk mengutuhkan semua kenangan petang 13 tahun lalu sepertinya sudah tak mungkin lagi. Tapi paling tidak, Senin petang itu, kepingannya masih tersisa. Sebuah sedih yang menyongsong menjelang azan magrib berkumandang di Kota Daeng, Makassar.
Saya masih ingin menikmati angin petang yang mulai mendingin. Namun air mata sudah mendesak untuk menyusuri sisi mata yang sudah berkaca-kaca. Ibu, saya sangat yakin, seperti petang kala itu, saya merindukanmu. Salawat itu mengingatkanku bahwa engkau ibu yang telah menempatkan satu kakimu di liang kubur hanya sekadar untuk mendengar tangisku. Tangis janji pada yang kita yakini esa dan paling berhak kita sembah.
Aneh juga rasanya. Usia 32 harusnya bisa membuat saya lebih dewasa. Tak lagi kanak-kanak. Tidak lagi harus mengucurkan air mata untuk mempertegas suasana hati. Apalagi, usia pertemuan terakhir kita baru dua hari lalu. Ya, lebaran tahun 2010 yang telah berlalu ini membuat kita kembali harus terpisah.
Saya ingat pertemuan terakhir kita dua hari lalu. Saya sangat sedih melihatmu. Kau memang tak pernah gemuk. Tapi kau tak pernah sekurus sekarang. Bola matamu melotot, dan semakin tampak melotot dengan pipimu yang kian menipis.
Aku juga melihat kau kini sudah sangat tua. Bahkan jauh lebih tua dari usiamu yang baru 56 tahun. Berbagai jenis obat yang kau telan belasan tahun terakhir juga sudah merusak isi telingamu. Hingga bapak dan kami anak-anakmu harus setengah berteriak untuk berbincang denganmu. Begitu pedih rasanya melihatmu hanya tersenyum merespons pembicaraan yang hanya kau dengar samar.
Ibu, Senin petang itu saya betul-betul mengenangmu. Merindukanmu. Merindukan suasana ketika saya kecil dan kau tak pernah lelah memanjaku. Begitu nyaman berada di sisimu. Merasakan belaianmu di kepalaku. Ingin rasanya mengulang kembali semua memori indah kanak-kanak itu. Kembali memegang ujung bajumu sambil kita berkeliling pasar di seberang jalan di depan rumah kita. Atau bermain air dan memercikkannya ke wajahmu saat kau memandikan saya di sumur samping rumah kita. Ataukah menunggumu meletakkan irisan-irisan mangga yang manis ke piring nasi sebagai teman sarapan sebelum saya ke sekolah. Di lain waktu kau menyuapiku sambil menasihatiku dan mengungkapkan harapanmu akan masa depanku. Kau ingin sekali aku menjadi seorang dokter.
"Jadilah dokter seperti sepupu-sepupumu supaya kelak kalau ibu sakit kau yang merawatku." Kalimat itu sering kau ucapkan. Sayang jalur harapanmu hanya bisa kulewati setengah jalan. Sebab setelah tamat sma, semua telah berubah. Saya bukan lagi anakmu yang manja dan penurut. Saya telah memupus impianmu memiliki seorang dokter yang kau lahirkan dengan erang kesakitan di suatu malam, pada Rabu 15 Agustus tahun 1978 silam.
Graha Pena yang menjulang dengan 19 lantainya yang kini menjadi asa bagi saya untuk bertahan hidup, seperti sangat mengerdilkanku petang itu. Saya begitu lemah. Itu karena saya merindukanmu ibu. Dan salawat itu semakin memojokkanku ke sudut rindu yang sangat dalam. Bahkan tidak membiarkanku untuk berlama-lama duduk dengan sebatang rokok di halaman parkir Graha Pena.
"Saya akan menangis kalau tetap di sini." Begitu gumamku ketika itu ibu.
Petang itu saya takluk oleh rasa rindu ke ibu. Sama seperti takluknya saya saat mengenangmu 13 tahun lalu. Saat itu saya bahkan harus menangis karena rindu padamu lewat mimpi tentangmu. Ibu semoga kau bisa bertahan dalam dera sakitmu yang membuat tubuhmu telah amat kurus. Saya masih ingin mengenangmu, masih ingin merindukanmu bersama nafas kehidupanmu tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya. Saya masih ingin menjabat  tanganmu seraya menghatur maaf di penghujung Ramadan dan memeluk tubuhmu yang ringkih. Saya masih berharap di hari kemenangan tahun berikutnya masih bisa mendoakanmu untuk panjang umur hingga Allah SWT benar-benar sudah yakin bisa memisahkan kita.
Rabu, 15 September 2010, pukul 24.55


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya