Jumat, 17 Desember 2010

Kematian Yang Harusnya Saya Tunda

SAYA mengenalnya 6 Oktober 2001 silam. Itu sembilan tahun lalu, tepat beberapa jam usai saya mengucap ijab kabul di Takkalasi Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.
Sebuah kelurahan berjarak 110 km dari Kota Makassar, tempat saya kini bekerja dan menyambung hidup.
Namanya Edy Arsyad. Saya mengenalnya sebab dia mertua nenek saya. Saya tidak tahu pasti silsilah yang membuat kami punya hubungan. Yang pasti, istri saya, Eka, memanggilnya nenek dan saya mengikut saja tanpa harus bertanya panjang lebar garis darah mereka.
Tubuhnya gemuk. Mungkin kalau ditimbang, beratnya dua kali lipat lebih dari berat tubuh saya yang kurus. Kulitnya hitam dan kepalanya botak.
Hubungan sebagai satu keluarga semakin erat antara saya dan Nenek Edy-sapaan saya padanya-karena kesamaan kesenangan. Kami sama-sama suka sepak bola. Bedanya, saya senang bermain bola sementara dia senang mengurus pemain bola. Nenek Edy kebetulan manajer tim sepak bola di Takkalasi dan saya bergabung di timnya, PS Pelahi, hanya beberapa pekan setelah pernikahan saya.
Meski tak sebanyak kisah pemain-pemain bola yang memang lahir di Takkalasi, tapi saya yakin kisah kami berdua cukup banyak. Ya, sembilan tahun bukan waktu yang singkat untuk membuat guratan kisah yang panjang dan tidak cukup waktu semalam untuk menerjemahkannya dalam bentuk tulisan.
Umurnya saya tak tahu pasti. Namun saya yakin belum terlalu tua. Anak tertuanya, Fandi baru dua tahun lalu tamat SMA. Sementara anak keduanya, Tommy dan Ade terkaan saya masih 16 atau 15 tahun. Sementara si bungsu Agi mungkin baru empat tahun.
Tiap pulang ke kampung istri saya, sangat sering kami bertemu meski kadang hanya saling sapa lewat lambaian tangan. Maklum kesibukan di Makassar membuat saya tak boleh berbetah-betah di Takkalasi. Belum lagi saya juga harus menyisihkan sebagian waktu libur untuk ke rumah orangtua saya yang jaraknya 25 km dari Takkalasi.
1 Ramadan lalu, tepatnya Rabu, 11 Agustus 2010, saya bertemu dia saat pulang kampung menyambut Ramadan. Ini kebiasaan rutin. Tiap awal Ramadan, saya memilih pulang. Sejenak berkumpul bersama keluarga dan melewati 1 Ramadan bersama. Setelah itu kembali lagi ke Makassar melanjutkan perjuangan menyambung hidup. Bekerja.
Saya ingat betul, malam itu, beberapa menit setelah berbuka puasa, saya ke rumahnya. Waktu itu, penyakit Nenek Edy kambuh. Katanya penyakit jantung. Dia butuh dipijat. Saat sampai di rumah orangtuanya di depan rumah mertua saya, istrinya, Nenek Ecce dan anaknya, Fandi serta Ade lagi sibuk memijatnya. Nenek Ecce memijat tangan kanannya. Ade memijat punggungnya yang tak lagi dibungkus baju. Sedang Fandi memijat tangan kirinya. Saat masuk ke rumah, Fandi langsung bergeser, memberi saya tempat untuk duduk. Saya pun langsung melanjutkan tugas Fandi. Memijat tangan kirinya yang basah karena keringat.
"Beginilah nenekmu. Kalau penyakitnya kambuh, kita harus mengeroyoknya. Dia harus dipijat, dari kaki, tangan, punggung, hingga kepala," kata Nenek Ecce ke saya sambil melanjutkan pijatan.
Saya tahu tentang penyakit Nenek Edy sejak beberapa tahun sebelumnya. Ada banyak penyakit yang menggerogoti tubuhnya yang gemuk. Bukan jantung saja. Dia juga terserang penyakit ginjal. Bahkan menurut istri saya, dia beberapa waktu yang lalu sudah direkomendasikan dokter untuk cuci darah. Tapi apa mau dikata, ia tak punya cukup uang. Jangankan untuk cuci darah untuk biaya sekolah anak-anaknya saja, saya sering mendengar ia mengeluh.
"Saya harusnya sudah di rumah sakit Nak. Tapi apa boleh buat, tidak ada uang. Jangankan ke rumah sakit, membeli obat saja susah." Nenek Edy sambil saya pijat mengeluh soal kondisinya.
Ia mengaku sebenarnya harus rutin makan obat jantung. Tapi nyatanya tidak. Harga obat mahal. Akhinya dia harus pasrah saja. Ia harus melupakan keinginannya sembuh dengan obat yang direkomendasikan dokter lewat resepnya. Sebagai solusi agar ia bisa bertahan hidup dalam kesakitan yang amat sakit saat penyakitnya kambuh, ia ke dukun atau membeli obat jantung buatan China yang harganya Rp 300 ribu.
"Sekarang obatnya habis. Saya mau beli tapi tidak ada uang," keluhnya ke saya yang terus memijat tangannya. Anak istrinya juga belum berhenti memijat. Maklum jika berhenti ia yang sudah merasa mendingan bisa kembali sakit.
Hati saya seolah teriris mendengar keluh kesahnya. Saat itu, saya langsung berjanji akan membelikan obat. Katanya, setahu dia, hanya ada dua tempat yang menjual obat China tersebut. Satu di Parepare. Tempat lainnya di Makassar. Saya tidak tahu pasti alamatnya. Katanya di sekitar Pasar sentral. Nama obatnya juga tidak jelas ia sebutkan. Ia hanya bilang kalau ke toko-nya, cukup bilang cari obat jantung China.
Malam itu, setelah agak larut dan ia sudah betul-betul baikan, saya balik ke rumah isteri. Pulang dengan sebuah janji bahwa saya akan membelikan obat itu atau paling tidak memberinya uang untuk dia beli sendiri obatnya. Sebenarnya, malam itu saya sudah ingin memberinya uang Rp 300 ribu. Kebetulan di kantong masih ada uang satu juta lebih. Tapi saya hitung-hitung dalam hati, uang itu tak cukup disisihkan buat beli obat dan bekal melewati bulan Agustus di Makassar yang masih tersisa 20 hari lagi. Apalagi saya belum bayar cicilan rumah dan membeli buku pesanan bapak saya. Beberapa kali saya mencoba menghitung siapa tahu uang obat Rp 300 ribu buat Nenek Edy saya bisa berikan. Tapi memang tak memungkinkan. Saya pun harus pulang dan hanya memberi janji bahwa bulan Agustus ini Nenek Edy akan bisa mendapatkan obat. Nenek Edy masih sempat mengucapkan terima kasih sebelum kami berpisah malam itu.
Selasa, 24 Agustus atau dua pekan kemudian saya kembali pulang kampung. Kebetulan, waktu itu sudah dua pekan saya tak libur. Sekalian menjenguk ibu saya yang sedang sakit dan mengobati rasa rindu pada anak isteri. Kesibukan bekerja selama Ramadan  membuat saya lupa untuk sekadar menyisihkan waktu buat mencari obat yang saya janjikan ke Nenek Edy. Saya betul-betul lupa meski uang untuk membeli obat sudah ada. Kebetulan di kantor tempat saya bekerja baru saja ada rezeki nomplok. Sepekan sebelumnya ada pembagian deviden.
Dalam perjalanan pulang, di mobil saya berujar, "Tak apalah kalau obatnya tidak ada. Nanti Nenek Edy saya kasih uang saja. Toh obatnya bisa dia beli di Parepare."
Setelah bermalam semalam di rumah orangtua, keesokan harinya saya ke rumah isteri. Menjelang berbuka saya baru ketemu Nenek Edy. Kebetulan petang itu, bersama mertua saya, dia akan ke rumah wakil bupati Barru, Andi Anwar Aksa yang sedang membuat hajatan buka bersama dan mengundang seluruh pendukungnya. Termasuk Nenek Edy dan mertua saya.
Saya dan Nenek Edy baru bertemu sekira satu jam kemudian saat dia pulang dari rumah wakil bupati. "Mana gaji saya bakar ikan," kata Nenek Ecce melihat saya merogoh uang dari kantong celana. Nenek Ecce memang baru saja membakarkan ikan mujair kesenangan saya, yang saya pesan ke istri sebelum pulang. Saya hanya tersenyum mendengar candaannya lalu mengeluarkan uang Rp 300 ribu.
"Ini janji saya Nek. Saya lupa beli di Makassar. Nenek saja yang ke Parepare membeli obatnya. Lagian saya juga tidak tahu nama obatnya." Begitu kata saya sambil menyerahkan uang ke Nenek Ecce.
"Bapak saja yang pegang. Nanti uangnya habis. Bisa-bisa tidak jadi beli obat," kata Nenek Ecce seraya menyerahkan tiga lembar uang pecahan Rp 100 ribu tersebut ke Nenek Edy.
Nenek Edy langsung menerima uang itu dan menyelipkannya di bawah kasur. "Beliki obat Nek nah," kataku mengingatkan bahwa uang itu buat beli obat jantung China.
Nenek Edy dan Nenek Ecce masih sempat mencandai saya. "Mana uang lebarannya. Agi belum punya baju baru buat lebaran. Kalau Syifa adami toh baju barunya?" kata Nenek Ecce seraya melirik ke anak kedua saya, Syifa yang tadinya merengek mau ikut. Saya hanya tersenyum mendengarnya dan Syifa yang hampir seumuran Agi saya lihat mengangguk.
"Ma, bikinkan teh Ayahnya Rara (Rara anak sulung saya)," kata Nenek Edy ke istrinya sebelum saya menyela minta sirup dingin saja.
Setelah menghabiskan sirup, saya beranjak ke luar rumah dan duduk di teras rumah melihat anak-anak  main petasan. Termasuk Agi anak bungsu Nenek Edy. Nenek Edy juga ikut keluar dan duduk di samping saya. Kami masih sempat berbincang beberapa menit. Termasuk soal pemilihan gubernur Sulsel yang akan dihelat dua tahun ke depan.
"Kira-kira siapa yang menang nanti kalau Pak Syahrul bertarung sama Ilham Arief Sirajuddin," tanya Nenek Edy ke saya. Saya tak menjawab panjang lebar. Saya hanya bilang tergantung siapa pasangan mereka kelak.
Setelah agak larut, saya pamit pulang. Saya pulang cepat dari rumah nenek karena rencananya mau kembali ke Makassar esok paginya.
Pukul 03.00 wita, saya bangun untuk sahur lalu tidur kembali. Pukul lima lewat saya bangun mendengar ribut-ribut di rumah. Awalnya, adik ipar saya Evi dan Ome yang berteriak katanya Nenek Tia, ibu Nenek Edy sedang sekarat. Tidak jelas teriakan Evi dan Ome ditujukan ke siapa. Saat itu, yang saya ingat isteri saya langsung bangun dan ke rumah Nenek Edy bersama mertua perempuan saya. Setelah itu, saya tertidur lagi.
Hanya berselang beberapa menit, Evi kembali berteriak. "Pak, Nenek Edy yang kambuh sakitnya. Itu Nenek Ecce menangis terusmi." Saya hanya terjaga sejenak lalu tidur lagi. Tidak lama kemudian, Evi kembali berteriak dari toko obat di bagian depan rumah mertua saya.
"Nasalaini Nenek Edy (Nenek Edy sudah meninggal)," katanya. Antara sadar dengan tidak, saya mendengar teriakan Evi. Semua kejadian subuh itu seolah hanya mimpi dan saya sama sekali tidak beranjak dari ranjang sambil memeluk anak saya, Syifa.
"Ayah, meninggalki Nenek Edy." Si sulung Rara berteriak di dekat kepala saya dan membuat saya betul-betul terjaga. Melihat saya tak bereaksi dan masih tetap tidur di ranjang dengan mata terbuka Rara kembali berujar, "Jangan maki percaya." Rara lalu turun lagi ke toko obat.
Saya seperti kebingungan sendiri dan tak percaya apa yang saya dengar saat itu. "Yang meninggal ini siapa sebenarnya. Nenek Edy atau Nenek Tia," Saya bertanya dalam hati sebab setahu saya selama ini yang sakit parah dan tidak pernah lagi bangkit dari tempat tidur, Nenek Tia. Dia bahkan beberapa bulan sebelumnya sudah pernah dikabarkan meninggal. Sementara Nenek Edy, meski sakit, ia masih bisa jalan kemana-mana dan menghadiri beberapa acara. Malamnya, saat kami berpisah ia juga tak pernah mengeluh atau sakitnya kambuh. Juga tidak ada isyarat khusus lewat perilaku yang aneh.
Pukul 06.10 saya bangun dan salat subuh. Setelah itu keluar rumah. Di toko obat Rara langsung menyambut saya dengan menggerutu, "Bilang memang ka dari tadi Ayah kalau Nenek Edy yang meninggal."
Saat melangkah keluar rumah, saya baru yakin bahwa yang meninggal betul-betul Nenek Edy. Saat itu, bendera putih di depan rumahnya baru saja dipasang. "Sempa'mi kasi makkeda 'Zaena erengnga bantuan pernapasan. Mateka tu akko de'. Tapi de na yullei saba mabbusani timunna (Dia masih sempat bilang ke saya tolong beri saya bantuan pernapasan sebab kalau tidak saya akan meninggal. Tapi tidak bisa lagi sebab mulutnya sudah berbusa)," kata mertua perempuan saya, Hj Zaenab.
Di depan rumah duka, persendian saya seperti hilang semuanya. Saya menjadi lemas. Dua pikiran berkecamuk di benak saya. Satunya perasaan tidak percaya akan kematian Nenek Edy yang begitu tiba-tiba karena saya dengar beberapa menit sebelum ajal ia masih sempat membakar ikan di depan rumahnya. Pikiran lain, saya dikungkung sesal. Malam saat terakhir bertemu Nenek Edy, harusnya bukan uang yang saya berikan padanya, melainkan obat yang ia butuhkan. Itu penyesalan saya.
Saya berpikir, seandainya saya membawa pulang obat dan memberikannya ke Nenek Edy, dia belum tentu meninggal pagi itu. Bahkan bisa jadi dia tidak akan meninggal hingga saat ini. Saya betul-betul menyesal. Rasa sesal itu mengantar saya ke jasadnya yang sudah terbujur kaku di ranjang di mana ia menyelip uang Rp 300 ribu dari saya.
"Meninggalmi Nenek Edy-mu Miru (Miru sapaan saya di kampung)," kata Nenek Ecce sambil memeluk saya bersama Nenek Edy yang sudah terbungkus kain sarung.
Niat baik saya seolah tak ada artinya. Bahkan sebaliknya, rasa bersalah saat melihat Nenek Ecce menangis dan berteriak-teriak karena sedih membuat saya merasa sangat berdosa. Mata saya berkaca-kaca di depan jasad Nenek Edy. Kematiannya harusnya saya bisa tunda jika saya membelikan obat yang ia sangat butuhkan. Saya merasa sedih dengan niat baik saya yang setengah-setengah saja.
Tak ada sama sekali yang bisa saya lakukan untuk mengobati sesal dan perasaan bersalah saya. Bahkan ketika harus ke pemakaman dan menggalikan liang lahat untuk peristirahatan terakhir Nenek Edy, rasa bersalah itu tetap tak mau menjauh. Saya berpikir, ini keteledoran saya. Saya telah lalai dan akhirnya harus ditebus dengan sangat mahal. Nenek Edy harus pergi meninggalkan istri dan empat anaknya yang masih kanak-kanak.
Pikiran bersalah itu hingga malam ini masih ada. Sebuah rasa sesal luar biasa dimana saya berpikir telah menjadi bagian dari menjandanya Nenek Ecce dan yatimnya Fandi, Tommi, Ade dan Agi.
Warkop Al Harithiyah Jl Faisal, Senin, 30 Agustus, pukul 14.07 dini hari.
"Jangan pernah berpikir bahwa kematian akan memberi Anda isyarat. Sebab itu rahasia Allah SWT. Waspadalah"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya