Jumat, 17 Desember 2010

Ini Tentang Kilometer 9

KULIRIK jam di henponku. Pukul 23.30 wita. Belum ada kantuk sedikitpun. Padahal sebentar lagi, hari baru. Pergantian waktu dari Sabtu ke Minggu sudah akan dimulai. Tanggalan romawi pun juga segera akan bergeser. Setengah jam lagi, tanggal 12 Juli 2010.

Gelas teh susu di hadapan saya hanya menyisakan seperempat isi. Sudah sejam lebih saya duduk di bangku kayu warkop visioner (maaf kalau salah). Selain nyamuk yang lebih ganas dari yang sering saya temui di warkop lain, tak ada yang mengusikku. Bahkan mahasiswi-mahasiswi cantik sekalipun yang melintas sambil menenteng kertas yang baru diprint dan meninggalkan baris-baris tulisan.

Malam yang indah. Meski tak menghitung dan memang saya yakin takkan bisa menghitungnya, malam itu ada beribu bintang di angkasa. Langit menjadi cerah disinarinya. Dingin perlahan menusuk, meski tak sampai membuat deret gigiku beradu. Sangat ironi dengan suasana siang yang panasnya kerap membuat saya mengumpat.

Setahu saya, malam itu saya di kilometer 9 Makassar. Itu jika Lapangan Karebosi yang selama ini menjadi titik nol belum bergeser. Menjauh atau makin mendekat. Saya tahu itu kilometer 9 saat masih mahasiswa dulu. Setiap kali melihat kertas kop di kampusku yang konon universitas terbesar di Indonesia Timur, selalu ada tulisan alamat di bagian bawahnya.

Dari posisi saya duduk, saya coba memutar memori ke tahun 1999. Ketika itu, tepat setahun saya menyandang status mahasiswa. Bangga juga rasanya. Bisa mengenakan jas merah dengan lambang ayam jantan di dadanya. Saya juga ingat ketika suatu sore, hanya beberapa hari setelah penerimaan mahasiswa baru, saya di depan pintu I itu. Ikut berteriak. Terkadang ikut pula mengacungkan tangan yang terkepal dan menghantam wajah-wajah tak berdosa yang sudah memelas. Celana yang bagian lutut dan pahanya robek terayung juga. Kadang mendarat di perut. Sesekali di kepala.

Memalukan. Saya seperti bukan manusia. Pasnya mungkin binatang. Tak berprasaan. Tak punya hati untuk sekadar iba pada yang mengiba lantaran kesakitan dan berdarah. Entah kenapa dan sifat siapa yang menjalari darahku ketika itu. Kegembiraan dan kepongahan yang tak bermakna mendorong sorakan tatkala terdengar suara "Bummmmmmmm" dan motor meledak setelah tersulut api. Hingga akhirnya dentuman senjata, suara besi beradu tiang listrik, menyeret saya untuk segera angkat kaki. Mengambil langkah seribu. Hilang keperkasaan saya bersama ratusan mahasiswa lain. Nyali menjadi ciut melihat pasukan antihuru hara turun dari truk dengan laras dan tamengnya.

Ah...kilometer 9. Saya dulu sering merasa hebat di atas tubuhmu. Saya tersenyum sendiri mengingat memori kelam itu. Termasuk ketika di dalam kebun ubi, yang kini sudah berubah wajah menjadi bangunan berjejer (termasuk warkop, tempat saya malam itu) saya bersembunyi dari kejaran pak polisi, merapatkan wajah ke tanah kilometer sembilan seraya berdoa bisa selamat.

Sudah banyak yang berubah di kilometer 9. Jalanan yang dulunya sempit kini sudah lebar. Tapi sepengamatan saya, masih belum cukup lebar untuk menampung berjubelnya kendaraan. Saya dan warga lain yang rutin melintas masih kerap mengeluh saat harus mengantre dalam kepungan polusi udara dari knalpot motor dan mobil. Kini juga sudah ada taman-taman jalan. Juga telah ada lampu traffic light yang kadang membuat saya jengkel saat lagi buru-buru mengejar liputan.

Lama saya terbawa kenangan sebelum dibuyarkan suara knalpot dua motor yang memekakkan telinga. Dua kuda besi itu hanya terlihat sejenak sebelum melesat kencang. Saling berlomba di antara mobil-mobil. Tak lama setelah dua motor itu lenyap dari pandangan saya dan hanya menyisakan suara, kuda besi lainnya bermunculan. Entah dari mana asalnya. Yang pasti seketika kilometer 9 menjadi sangat ramai. Awalnya empat. Kemudian menyusul yang lainnya. Lalu tak terhitung lagi. Balapan liar pun dimulai.

Tak ada aturan. Lawan juga tak jelas. Motor yang meraung disusul motor lainnya. Garis star pun tak jelas, jadi tak perlu mencari di mana finisnya. Yang saya tahu, berbelok di jalan depan pintu I Unhas, gas terputar full hingga di depan kompleks perumahan Hartaco yang jaraknya tak lebih dari 500 meter.
Tapi itu bukan garis finisnya. Sebab dari sana, motor digeber lagi. Kecepatan tak berkurang. Tetap berkejaran di antara mobil-mobil yang supirnya saya sangat yakin akan dikepung perasaan was-was.
Saya merinding sendiri melihatnya. Kilometer 9 telah berubah menjadi jalan tol menuju kematian. Di antara ramai kendaraan yang melintas, kuda-kuda besi berbagai merek itu meliuk-liuk dalam kecepatan yang tak terkira. Tanpa merasa khawatir, apalagi takut, terjatuh, menyenggol mobil, atau saling menabrak. Mereka seolah ingin memperlihatkan diri sebagai yang terbaik meski tanpa piala perlambang juara.

Semakin tak kalah dari sirkuit resmi, semisal roadrace, sebab ratusan penonton berjejer di kiri kanan jalan menyaksikan para pria nekat dengan helm yang terkadang hanya jadi pajangan di lengan kiri. Menggantung di bahu. Sudah tak terhitung berapa kepala yang menghantam aspal dan mengeluarkan darah, atau kaki serta tangan yang terpaksa dibalut perban.

Para pria nekat itu tak ada yang jera. Walau terkadang puluhan motor juga harus berurusan dengan polisi. Malam Minggu berikutnya, pasti akan ramai lagi. Sebab balapan liar di kilometer 9 itu memang sudah menjadi rutinitas. Pukul 24.00 wita, jalan itu pasti berubah jadi arena adu nyali. SPBU di depan pintu I menjadi salah satu saksi bisu.

Tak ada yang bisa menghentikan gejolak muda itu selain kematian. Bahkan polisi sekalipun. Malam itu misalnya, serombongan polisi dengan mobil patroli hanya mampu membubarkan para pembalap liar itu sejenak. Setelah berhamburan sejenak bersama para penontonnya yang berjejer memarkir motor dan mobilnya di pinggir jalan, mereka kembali lagi setelah polisi pergi. Balapan liar sesi dua pun dimulai lagi hingga dini hari. Bahkan lebih ramai lagi. Sebab warga yang baru pulang dari Pantai Losari satu persatu akan singgah. Selain menonton, ada juga yang ikut menguji nyalinya. Tak jarang, balapan ditutup dengan balapan mobil juga.

"Yang dikejar di Jl veteran atau Hertasning, mereka bergabung di sini, jadi makin larut semakin ramai," kata Awi, warga Tamalanrea yang sempat menemai saya duduk di warkop.

"Yang pasti polisi juga sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya main kucing-kucingan dengan para pembalap liar," kata Udin, warga lainnya ke saya.

Seperti halnya polisi, warga sekitar arena balapan juga tak mampu berbuat apa-apa. Meski khawatir terjadi kecelakaan, atau tidur mereka terganggu dengan raungan motor berknalpot racing, tak ada yang bisa mereka perbuat. Siapa yang harus mereka tegur sementara pembalap liar tersebut sebagian besar bukan warga Perintis Kemerdekaan atau lebih dikenal dengan Tamalanrea. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru kota.

Dini hari saat suara-suara motor itu perlahan menjauh, saya juga beranjak pulang. Kilometer 9 menjelang pagi itu kembali sunyi. Tenang rasanya menyusuri jalan tanpa harus khawatir lagi para pembalap liar itu muncul di kiri atau kanan saya. Tapi kilometer sembilan belum akan mengakhiri kisahnya. Beberapa jam ke depan, bisa jadi ia akan menjadi saksi kemacetan kota ini. Begitu seterusnya, hingga malam Minggu tiba kembali, balapan liar lagi dan saya mungkin jadi saksi lagi ditemani segelas teh susu dan berbatang-batang rokok starmild. (Minggu, 18 Juli 2010, ketika dini hari dan lagu kenangan tak mempan lagi menidurkanku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya