Jumat, 17 Desember 2010

Arung dan Kisah Mawar

SAYA tak pernah tenang di atas mobil APV itu. Perasaan gelisah. Bahkan amat gelisah Sabtu, 18 September itu.
Bukan lantaran ingin muntah. Ataukah karena mobil berpenumpang sembilan orang itu sesak. Karena kami hanya berempat. Satu penumpang di samping sopir, sedang saya hanya berdua di kursi tengah.Yang membuat saya amat gelisah adalah telepon dan SMS istri tercinta, Eka, dari sore hingga malam. Hanya sekira sejam setengah setelah ia mengabarkan akan memeriksakan kehamilannya di dokter kandungan di Parepare-sebuah kota sedang berjarak 150 km ke arah utara Makassar-, Eka kembali menelepon. Katanya ia diminta dokter segera ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih serius. Berselang sejam kemudian, lagi-lagi Eka menelepon. Suaranya sudah amat berubah. Amat pelan. Sepertinya ia sedang menahan sakit luar biasa.
"Ayah, saya mungkin harus dicesar," kata Eka dari balik telepon, sekira pukul 22.00 wita. Ia menyampaikan juga alasan ia mesti dicesar. Antara lain karena tekanan darahnya yang turun naik. Tidak stabil. Saya tersentak. Kaget dan sempat kebingungan. "Bagaimana mungkin, istri saya yang datang ke dokter kandungan untuk mememeriksakan ulang kehamilannya tiba-tiba harus dibawa ke RS dan malah sudah dianjurkan operasi." Begitu yang terbesit di pikiran saya di rumah kami di kompleks Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Makassar.
Antara percaya dan tidak, tiba-tiba hape saya berdering. Tapi bukan lagi nada telepon masuk melainkan hanya isyarat SMS. "Ayah, saya harus dioperasi sekarang. Cepat maki (maki dalam bahasa Bugis berarti kau yang maknanya halus) turun." Begitu bunyi pesan singkat Eka.
Semua masih seperti mimpi saat itu. Pikiran saya masih dihinggapi tanya, bagaimana mungkin harus dicesar sementara dua anak terdahulu kami lahir normal di rumah. Di dalam kamar, saya sempat kebingungan sebelum akhirnya memasukkan dua lembar pakaian ke tas. Di antar adik ipar, saya langsung ke terminal dan berangkat ke Barru.
Rentetan kejadian itu yang membuat saya tidak pernah tenang selama perjalanan. Belum lagi saat ke luar rumah, mesin motor yang saya akan titip, tiba-tiba mati. "Apakah ini pertanda buruk."
Di mobil, saya betul-betul gelisah. Apalagi dalam perjalanan sekira tiga jam, mertua saya terus menerus mengabari proses perzalinan Eka. Mulai dari kamar perzalinan, hingga didorong masuk ke ruang operasi. Pikiran buruk silih berganti muncul. Termasuk tentang kematian. Doa tak pernah terhenti saya lafalkan. Saya berharap anak dan istri saya selamat. Karena kekalutan yang luar biasa, saya bahkan sempat menawar ke Allah SWT, jika memang harus ada orang tercinta saya yang harus pergi selamanya malam itu, agar jangan kedua-duanya. Perasaan dan rasa gelisah baru mulai hilang saat mertua mengabarkan jika operasi sudah selesai sekira pukul 01.30 dini hari dan anak istri saya selamat. Ketika itu, resmilah saya sebagai bapak tiga anak yang lahir tanpa kehadiran saya di sisi ibunya.
Setengah jam setelah kabar kelahiran anak saya disampaikan bapak, saya tiba di RSU Andi Makassau. Di depan ruang perzalinan sudah menunggu bapak, anak kedua saya, Syifa, 4 dan beberapa keluarga yang lain. Rara,7, si sulung katanya tinggal di rumah sebab harus ke sekolah besok paginya. Ia sebenarnya sempat ikut ke Parepare namun pulang lebih awal diantar tetangga yang kebetulan juga datang ke dokter.
"Laki-laki. Beratnya hanya 2,4 kg. Sekarang lagi dincubator. Kalau ibunya belum sadar. Sekarang di ruang pemulihan gedung Mawar," kata bapak seraya menyuruh saya ke gedung Melati  untuk mengazani Arung Mario, nama anakku yang sudah kusiapkan jauh hari sebelum ia lahir. Sayangnya, perawat sudah tak mengizinkan saya masuk. Gedoran saya di pintu sama sekali tak berpengaruh.
Dari gedung Melati, saya langsung ke gedung Mawar yang jaraknya tak lebih dari 20 meter. Di ruang pemulihan, saya mendapati Eka yang baru saya tinggalkan sepekan, masih tertidur. Wajahnya pucat putih. Setelah duduk di samping tempat tidur sekira setengah jam, ia akhirnya terbangun. Kondisinya sangat lemah. Dua jarum selang infus tertancap di lengan kirinya. Sisa darah terlihat bercampur di antara cairan infus. Perawat-perawat pun masih mengelilinginya. Eka hanya melirik saya dengan ujung matanya. Tak ada satu pun kata yang keluar lalu tertidur lagi.
Saya masih duduk di sisi ranjang sekira pukul 04.00 saat Eka dengan kalimat yang pelan dan sesekali merintih sakit, meminta ditambah selimutnya. Katanya, ia kedinginan. Ia minta kakinya yang membengkak seperti terserang kaki gajah, badan serta lehernya ditutupi seluruhnya. Setelah itu, ia kembali memejamkan mata di antara rintihan kesakitannya.
Setengah jam kemudian, saat kantuk mulai tak tertahankan dan mata baru saja terpejam, antara sadar dan tidak, saya mendengar suara Eka memanggil. Saat membuka mata, Eka terlihat menggigil. Saya langsung berdiri di sampingnya. Eka mengucapkan satu kalimat namun tak lagi terdengar jelas maksudnya. Dan perasaan kaget bercampur ketakutan muncul saat tubuh Eka tiba-tiba seperti terangkat ke atas. Seluruh badannya bergetar. Eka kejang-kejang. Mulutnya komat kamit dan matanya membelalak. Kakinya yang tadinya lurus tiba-tiba terangkat dan posisinya seperti orang yang akan melahirkan. Saya berusaha mengguncang badannya sambil membangunkan mertua perempuan saya yang tertidur di sisi kanan ranjang bersama saudaranya.
Ibu mertua saya yang kaget langsung berdiri dan berlari memanggil perawat. Sedangkan tante istri saya langsung memeluk kepala Eka, mencium keningnya dan menuntunnya untuk bersahadat. Seketika itu, saya berpikir sudah akan kehilangan istri. Apalagi setelah kejang-kejang, ia langsung tak bergerak lagi. Karena perawat yang juga kaget sudah mengerumuninya, saya hanya bisa terduduk di ranjang sebelahnya bersama pikiran buruk dan bayangan kematian.
Tapi memang tak ada yang bisa menebak rahasia Allah SWT. Termasuk ajal manusia. Sekira semenit berselang, Eka tersadar. Ia menggerakkan tangannya dan mulai membuka mata. "Saya pikir tadi sudah akan meninggal ayah," kata Eka saat perawat kembali ke ruangannya. Air bening mengalir di ujung matanya.
Setelah kejadian kedua yang mendebarkan ini, saya tak pernah lagi  tertidur hingga pagi. Bahkan hingga Nur, ibu muda yang baru melahirkan anak pertamanya masuk bergabung di kamar pemulihan bersama istri saya dan dua pasien lainnya yang juga melahirkan cezar. Saya hanya mondar mandir di ruangan. Sesekali melirik kantong infus dan data pasien yang ditempel di ranjang. Saat itu saya baru tahu juga jika ternyata leher Arung terlilit tali pusar dan tidak mungkin dipaksakan lahir normal.
Hari itu, saya melalui hari pertama di RS mendampingi Eka dengan perasaan was-was. Eka sepanjang hari mengeluh sakit di bagian perut yang dioperasi. Ia juga mengaku sangat haus dan ingin minum. Tapi saya tak berani mengabulkan permintaannya. Kata dokter tidak boleh karena baru operasi. Sebagai pengganti makan dan minum, hari itu entah berapa kantong cairan infus yang masuk ke tubuhnya yang masih lemah. Beberapa kali saya harus ke apotek, termasuk membeli obat.
Saya membayangkan hari kedua di RS akan lebih baik. Tapi nyatanya tidak. Tekanan darahnya turun naik. Kadang hanya 90 lalu tiba-tiba naik menjadi 140. Apalagi setelah ia memakan biskuit cokelat yang saya beli. Hari-hari di RS terasa amat panjang. Tidur tak pernah tenang. Banyak nyamuk dan harus tidur di luar ruang pemulihan, bersama keluarga pasien lainnya. Belum lagi harus begadang menjaga Eka hingga menjelang dini hari. Yang paling melelahkan juga saat Eka kepanasan dan minta dikipas. Untungnya teman kantor, Mahatir merelakan satu kipas anginnya. Jadi saat siang, kipas tak perlu diayun.
Hari keempat, hasil diagnosa dokter, HB Eka rendah dan harus transfusi darah. “Apalagi ini?” Begitu di pikiran saya ketika ibu mertua meminta saya mencari teman yang mau mendonorkan darahnya.
Tanpa mandi, saya meninggalkan RS. Menuju kantor biro Harian Fajar dan Parepos. Tapi ternyata tidak satupun teman-teman lama saya bergolongan darah sama seperti golongan darah Eka, A. Untungnya Pempre Parepos Kak Faisal Palapa kenal dekat dengan Ketua PMI Parepare dan coba difasilitasi. Dan syukur hari itu ada satu pendonor dari Sidrap bernama Arivai yang kebetulan bergolongan darah A.
Guru di salah satu sekolah di Sidrap itu kebetulan singgah di PMI sebelum masuk kantor. Karena butuh dua kantong, ibu mertua saya terpaksa membatalkan puasanya dan berdonor juga. Namun persoalan belum selesai. Saat transfusi darah, ternyata badan Eka gatal-gatal. Tugas pun bertambah. Selain membeli obat, mengangkat air, menenangkan Syifa yang selalu menangis karena harus tidur terpisah ibunya dan membeli keperluan lainnya di rumah sakit, juga kebagian tugas menggaruk. Kantong darah yang tersisa di satu pun dikembalikan ke PMI untuk diperiksa. Setelah itu diambil lagi dan dilakukan transfusi lanjutan dan tidak ada masalah lagi.
Dua kantong ternyata belum cukup. Kondisi Eka masih sangat lemah. Keesokan harinya, dia kembali mendapat transfusi darah satu kantong. Seorang perawat yang bersimpati mendonor untuk Eka. “Saya menyerah melahirkan kalau begini,” kata Eka. Aneh juga, sebab tiga pasien lainnya di ruang pemulihan itu seluruhnya juga dicesar. Namun hanya istri saya yang transfusi darah. Setelah tiga kantong darah masuk, kondisi Eka akhirnya membaik. Ia sudah bisa ke toilet sendiri dan menyusui anak kami di ruang Melati.    
Banyak kisah kami di ruang pemulihan gedung Mawar. Kami juga mendengar banyak kisah dari keluarga pasien lainnya. Ada satu keluarga dari Belawa Kabupaten Wajo yang harus terkaget-kaget dengan informasi perawat bahwa ongkos rumah sakitnya plus biaya operasi sampai Rp 8 juta. Ada juga kisah ibu Nur di hari kelima kami di rumah sakit. Ibu Nur yang keluar RS bersama kami sempat menangis saat perawat menyebut jumlah yang harus dia bayar. “Anaku tidak punya uang dan saya harus membayarkan biaya perzalinannya Rp 350 ribu padahal saya sudah tidak punya uang lagi,” kata Ibu Nur sambil menangis di samping ranjang istri saya sambil mengemas barang-barangnya.
Saat itu, saya seperti akan menangis mendengar keluh kesahnya. Begitu berat dan sulitnya ke RS sakit dengan status miskin. Jamkesda pun tak cukup bagi keluarga Ibu Nur. Meski juga kekurangan uang saya beri Ibu Nur Rp 100 ribu. Dia sempat menolak. Namun karena ia memang sangat butuh, ia ambil juga sambil menangis. Sampai di situ kisah di Mawar. Dan Kamis 23 September, kami kembali ke rumah bersama Arung Mario, anggota keluarga baru kami.
Makassar, 27-29 September (saat harus berjuang lagi di metropolitan)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya