Jumat, 17 Desember 2010

Jangan Panggil Saya Ucam

TAWANYA lepas di depan layar komputer. Tampak jelas bahwa matanya berbinar. Dia punya mimpi. Kelak, ia ingin dipanggil Pak Dosen.
Kini, otaknya sedang dia peras untuk mengumpulkan rupiah. Katanya buat kuliahnya di S2.Namanya Muhammad Nursam. Pernah dia disapa Ucam. Hanya kurang sreg katanya dengan sapaan itu. Ia lebih senang dipanggil Nursam saja. "Jangan panggil saya Ucam," pintanya ke saya yang duduk di sampingnya.Senin, 25 Oktober, malam, saya mengamati sosoknya. Dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Malam itu, dia muncul dengan penampilan yang tak berbeda dari kemarin-kemarin. Sendal jepit. Celana kain dipadu kaos oblong. Tak ada bau parfum sedikit pun. Sungguh cowok dengan penampilan apa adanya. Tak terlihat upaya menjaga penampilan. Rambutnya yang keriting juga tak tersisir. Atau bisa jadi memang seperti itulah model terbaik rambut itu. Saya sempat bertanya soal kesannya ke perempuan setelah mengamati penampilannya, tapi sepertinya Nursam tak tertarik membahasnya. "Saya belum pernah pacaran," katanya ke saya. Tapi bukan berarti Nursam tak pernah punya hati ke kaum hawa. Ia juga lelaki normal. Kadang kagum pada lawan jenisnya. "Saya pernah ditolak juga," katanya. Ia seolah ingin mementahkan pikiran buruk saya bahwa ia sosok yang tak suka perempuan.Ia punya rencana sendiri untuk urusan perempuan. Dia tidak ingin pacaran. Katanya mending langsung dilamar saja. "Sekarang ada yang saya suka, tapi langsung mau dilamar saja," katanya sambil tertawa. Mukanya berganti warna menjadi merah. Mungkin dia malu atau tak terbiasa bicara vulgar soal wanita.  "Saya bosan bicara soal asmara makanya cerpen saya yang terakhir judulnya 'Masjid'," ujar alumni Sastra Inggris UNM ini.  Kini Nursam, di Harian Fajar. Ia salah seorang di antara empat wartawan magang. Nursam satu-satunya cowok di angkatannya. Lahir di Makassar 28 tahun silam, Nursam sama sekali tak pernah membayangkan jika akan bergelut dengan dunia jurnalis. Dunia yang menyeretnya harus mengejar narasumber lalu bertanya, setelah itu pulang dan mencari komputer. Mulai mengetik dan menghasilkan satu persatu berita hasil wawancaranya. "Saya memang suka dunia menulis. Dan reporter itu tiap hari melakoni ini. Saya mau paham dunia tulis menulis kalau perlu menguasainya. Waktu mahasiswa dulu, saya juga tertarik dengan jepret-jepret," kata Nursam memberi alasan kenapa ia akhirnya memilih bergabung sebagai wartawan. Nursam sangat ikhlas bekerja. Ia rela tanpa mengeluh meninggalkan rumahnya pagi-pagi dan pulang larut. "Ikhlas memang kata favorit saya. Saya sangat senang dengan kata ini selain sabar. Ini paling sulit dilakukan," katanya. Karena ikhlas itu pula, anak keenam dari tujuh bersaudara ini mengidolakan pendiri Muhammadiyah, KH Ahamd Dahlan. Tapi katanya, ia memang seorang Muhammadiyah."Belia pernah mengeluarkan pesan dan saya paling suka pesan itu. Katanya begini: 'jangan cari penghidupan di Muhammadiyah tapi hidupilah Muhammadiyah dengan ilmumu. Itu contoh ikhlas," tegas Nursam. Ia tampak serius mengucapkan itu sebelum akhirnya tertawa lepas lagi. Ia beberapa kali juga terlihat serius menatap tulisannya yang muncul di layar komputer. Malam ini, dia menulis soal produk Nokia. Sebelum duduk di samping saya, Nursam sempat kebingungan mencari komputer berjaringan bagus. "Terpaksa pakai flash disk untuk ngirim," katanya.Tak hanya memegang prinsip ikhlas, Nursam juga sosok yang bisa mengakui kekurangannya. Termasuk pendengarannya yang sedikit terganggu. "Saya tidak bisa konsentrasi biasa. Selain memang karena tongolo-tongolo (agak terganggu pendengaran, red) ka," katanya jujur. Nursam kini tak muda lagi. Ia sudah 28 tahun. Bahkan sudah ada adik laki-lakinya yang menikah. "Dia sudah ketemu jodohnya sementara saya belum," katanya sederhana. Tak ada kesan protes meski disalip adiknya ke pelaminan. "Tapi tuama to (saya sudah tua, red). Kira-kira saya umur berapa kita lihat?" katanya bertanya ke saya.  Nursam punya impian untuk masa depannya. Ia ingin menjadi dosen. Ingin melanjutkan tongkat estapet sebagai pengajar dari almarhum bapaknya yang seorang guru. Tapi untuk saat ini, ia wartawan dan ia senang. (Redaksi Fajar, Senin, 25 Oktober 2010) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya