Selasa, 27 Juli 2010

Lovely December "Kelabu"

*Sebuah Catatan untuk Program Pariwisata Sulsel


LAGI tidak ada pekerjaan lain, warkop sepertinya pilihan yang tepat. Berinternet-pun pilihan cepat setelah memesan segelas teh susu. Menelusuri berbagai berita terbaru sepakbola di seluruh jagad, akhirnya kembali juga ke tanah air. Iseng mengetik Toraja di google, yang muncul soal Lovely December 2009. Kebetulan. Apalagi sekarang sedang “ribut-ributnya” soal Visit Sulsel 2012 dan Visit Makassar 2011.

Lovely December. Dua kata ini dua tahun terakhir begitu diagungkan pemerintah. Maklum, ini menjadi program andalan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Kita tentu patut berbangga bahwa kemudian pemerintah ternyata punya kepedulian untuk pengembangan pariwisata daerah ini.

Dipilihnya Toraja sudah sangat tepat. Sebab daerah yang namanya pertama kali diberikan suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu (To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”) itu memang menyimpan sejuta pesona. Daerah ini sangat dikenal di luar negeri. Turis pun menjadikannya sebagai salah satu tujuan kunjungan ke Sulsel. Tak heran jika Gubernur Sulsel kerap berujar, “Jangan mati sebelum ke Toraja.”

Toraja yang digelari Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo (Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari) ini dikenal karena budayanya. Di wilayah ini terdapat dua upacara adat yang amat terkenal; Rambu Solo’ (upacara untuk pemakaman) dan upacara adat Rambu Tuka.

Kembali ke soal Lovely December. Dua tahun pelaksanaan kegiatan yang digarap dengan dana pemkab Toraja, Pemprov Sulsel, serta Kementerian Pariwisata dan dijadikan perangsang bagi pariwisata daerah yang mati suri pasca bom Bali, selalu diklaim sukses. Tapi bisa jadi itu hanya klaim. Sebab faktanya banyak kritikan mengiringi pelaksanaannya yang setiap tahun puncak perhelatannya pada 26 Desember.

Mau bukti? Saya sempat mensearching soal Lovely December dan salah satu yang saya temukan adalah perbincangan forum terkait itu. Seorang yang menggunakan nama “andipampang” menulis ini; Ini bukan untuk mengkritik pemprov Sulsel yang telah mencanangkan Lovely December tahun kemarin, tapi sebagai ungkapan cerita nyata teman-teman yang kembali dari Toraja karena tertarik dengan event yang dicanangkan tersebut. Setibanya mereka kembali di Makassar, langsung saya tanya gmana meriahnya Lovely December di sana (Toraja), mereka menjawab dengan ketus "realita gak seindah janjinya!!". Baik event yang digelar alakadarnya (asal terlaksana) maupun janji pembayaran tarif akomodasi yang diskon 50% yang tidak disosialisasikan dengan baik ke pihak penglola hotel, ujung-ujungnya mereka tetap dikenakan tarif normal. Nah Lho??? Kalo gini kita selaku tuan rumah kan yang jadi malu. Mudah-mudahan ini dapat menjadi bahan evaluasi buat Pemerintah dalam merancang sebuah event berskala internasional ke depan. (sekedar info teman yang kesana tiga orang; satu wisman asal Spanyol, serta dua orang dari Jogja).

Itu yang saya temukan. Bersyukur sekali kita berada di alam teknologi super maju. Unek-unek yang bisa jadi tidak pernah terdengar bisa ditemukan hanya dengan sekali klik.

Saya ingin katakan bahwa semua orang punya hak mengklaim. Hanya saja, klaim harus didasari bukti. Sebab bisa jadi, seribu klaim sukses dari aparat pemerintah akan mentah hanya oleh satu kritikan. Dan bisa jadi itu kritikan seorang bernama andipampang tadi. Setiap warga pun punya hak mengeritik atau mengeluarkan unek-uneknya. Kan kita sama-sama warga Sulsel yang berharap tanah kelahiran kita lebih baik. Apalagi kalau sudah bayar pajak.

Kita berhak untuk memberikan penilaian, meski akhirnya itu berbeda satu sama lain. Banyak sisi yang bisa menjadi dasar penilaian dan itu bisa memunculkan dua asumsi yang seperti langit dan bumi. Satu mengatakan sukses, satunya bertegas, gagal.

Saya pribadi senang mendengar nama Lovely December meski terlalu british (meminjam istilah grup band Jamrud). Hanya saja, lebih pas bagi saya mengikutkan kata “Kelabu” di belakangnya. Jadi Lovely December Kelabu.

Sengaja saya memilih kata “Kelabu” sebab bagi saya, program itu memang tak sesemarak apa yang kita bayangkan. Meminjam istilah seorang teman saya, katanya kalau Lovely December tak lebih hanya sekadar acara pulang kampung warga Toraja yang ada di perantauan sana. Atau bisa juga ditambah, momen berkumpulnya pejabat, pns , dan orang-orang yang katanya bergelut di bisnis ini atau paham soal wisata dan sedikit bumbu hiburan. Apakah itu hiburan berupa adat istiadat Toraja yang begitu terkenal atau artis ibukota yang dibayar pemerintah ratusan juta.

Saya sendiri sejak awal memang meragukan Lovely December akan sukses menggairahkan kembali sektor pariwisata Toraja dan memasukkan banyak fulus ke kantong-kantong pemerintahan. Yang saya tahu, bulan Desember itu musim hujan. Makanya, warga Toraja berpikir dua kali untuk mengadakan pesta adat yang prosesnya memang lama dan banyak di lapangan terbuka. Kita ambil contoh upacara Rante yang biasanya dilaksanakan di sebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma’tundan, Ma’balun (membungkus jenazah), Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma’Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma’Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Selanjutnya, 26 Desember sebagai puncak kegiatan, itu hanya beberapa jam saja setelah perayaan natal. Dalam tradisi Eropa atau di manapun, natal selalu menjadi momen yang paling ditunggu untuk berkumpul bersama sebagai satu keluarga. Saya lihat itu dari alur cerita film-film yang sering ditayangkan teve saat natal. Makanya tidak mengherankan jika yang datang kebanyakan perantau Toraja. Atau warga Toraja di Sulsel yang memang cukup banyak dan menyebar. Bule? Itu bisa dihitung jari. Artinya, niat menggairahkan kembali pariwisata di sana, gagal dalam dua tahun terakhir. Dan akan lebih parah lagi seandainya promosi yang dilakukan memang tak maksimal.

Menggabung seluruh asumsi kegagalan di atas, saya jadi berpikir, jangan-jangan program ini memang tak dikemas baik. Atau bisa jadi juga hanya dimunculkan tiba-tiba. Apalagi, konon kabarnya, Lovely December ini pertama kali terdengar saat Gubernur Sulsel menerima perwakilan pemerintahan dan Jawa Tengah dan Yogyakarta di baruga Sangiaseri rumah jabatan gubernur pertengahan bulan di 2008. Ini disampaikan salah seseorang ke saya yang katanya turut hadir di situ. Saat itu kata orang ini, perwakilan provinsi dari Pulau Jawa menyampaikan dan memaparkan program pariwisata mereka. Termasuk even tahunan yang mereka lakukan untuk merangsang wisatawan asing datang. Gubernur yang berbicara paling akhir saat itu menyampaikan bahwa Sulsel juga punya program unggulan, namanya Lovely December. Syukur, acara ini betul-betul bisa dilaksanakan. Tapi yang namanya program dadakan, hasilnya tentu bisa diketahui bersama.

Yang jadi persoalan kemudian, karena Lovely December “Kelabu” ini menelan dana cukup besar. Tahun 2008, saat launching, pemprov bahkan menyiapkan bantuan sebesar Rp1,5 miliar. Dana tersebut digunakan untuk subsidi wisatawan asing yang berkunjung ke kabupaten tersebut. Termasuk mungkin kritikan Andipampang, soal janji pembayaran tarif akomodasi diskon 50 persen yang nyatanya tak tersosialisasi sehingga rekannya, termasuk dari Perancis masih membayar full. Tahun 2009 sendiri, anggaran yang digunakan Rp 600 juta, termasuk untuk sewa artis Rp 200 juta.

Mengutip tulisan Syarifuddin May terkait Pariwisata Sulsel yang menggeliat di 2009, disebutkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulsel pada tahun itu mencapai 45.000 orang, atau meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya yang 32.000 orang. Dalam tulisan itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel Syuaib Mallombasi, kegiatan pariwisata Lovely December di Tana Toraja yang dicanangkan pemerintah setempat dua tahun lalu turut mendongkrak kunjungan wisman ke Sulsel.Sejak kegiatan promosi "Lovely December" dicanangkan Gubernur Syahrul Yasin Limpo 2008, kunjungan wisman ke Sulsel meningkat cukup berarti.

Syuaib menyebutkan, total belanja wisman yang datang ke Sulsel pada 2009 mencapai Rp 1,7 triliun, dengan asumsi setiap wisman membelanjakan uangnya 125 dolar AS setiap hari atau sekitar Rp35,6 juta per bulan.Menurut dia, belanja wisatawan domestik selama periode yang sama mencapai Rp 121 miliar. Dana dari sektor itu tidak masuk ke kas daerah (PAD), melainkan beredar di masyarakat sehingga turut meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan menambah kesejahteraan masyarakat.

Boleh saja pemerintah mengklaim bahwa Lovely December telah mendongkrak wisman menjadi 45.000 orang. Tapi saya pribadi berpikir sebaliknya. Lovely December hanya menyumbang sebagian kecil. Pasalnya data yang disebutkan itu juga sudah termasuk wisman yang berkunjung dengan kapal pesiar yang mengangkut ribuan wisatawan mancanegara yang menyinggahi pelabuhan Makassar selama 2009. Ada kapal pesiar mewah Costa Al-lerga berbendara Italia yang masuk Pelabuhan Makassar selama 2009 tercatat tujuh kali dengan membawa sedikitnya 10.000 wisatawan mancanegara.Kapal mewah itu kembali sandar di pelabuhan Makassar jelang tutup tahun, pada 30 Desember, membawa sekitar 1.000 wisatawan asing.Wisatawan ini sendiri hanya singgah beberapa jam di Makassar.

Penumpang kapal mewah yang membawa wisatawan asing berlibur akhir tahun itu mengunjungi
berbagai objek wisata di Makassar dan sekitanya seperti Port Rotterdam, Museum Lagali-go, Benteng Somba Opu, Makam Sultan Hasanuddin, Museum Bal-la Lomoa Gowa, Makam Syech Yusuf, Pantai Losari serta permandian alam air terjun Bantimurung, Maros. Dan sebagian besar lainnya berkunjung ke lokasi penyelaman di Selayar yang sangat-sangat indah yang dikelola investor asal Jerman, Jochen Schuithei.
Rasa apatis bahwa Lovely December menyedot banyak wisman juga diperkuat dengan kondisi sarana dan prasarana jalan Makassar-Parepare yang pada 2009 “hancur total”. Ke Tator dengan kondisi jalan bagus dan waktu tempuh lebih cepat saja, orang masing berpikir, apalagi jika jalanan sudah berantakan.

Meski banyak dikritik, Lovely December “Kelabu” nyatanya tak menjadi pelajaran yang cukup. Ekspedisi Taka Bonerate Selayar pun dimunculkan lagi 2009 silam. Hasilnya luar biasa. Lebih memprihatinkan. Tulisan M Kiblat di SP memasang judul “Ekspedisi Taka Bonerate Berakhir Tanpa Wisman” menjadi bukti.
Pulau Tinabo di kawasan kepulauan Taka Bonerate jadi tujuan ekspedisi Taka Bonerate, yang memiliki taman laut indah, mengandalkan atoll atau terumbu karang yang tumbuh di atas pasir dan membentuk lorong-lorong dan merupakan atoll ketiga terluas di dunia, nyaris tak bisa menjadi magnet. Kegiatan yang berlangsung sejak 16 Oktober dan berakhir Senin, 26 Oktober di atas KRI Makassar yang digembor-gemborkan sebagai kegiatan internasional itu, tak dilirik wisatawan mancanegara (wisman).

Tulisan itu pun menegaskan bahwa kegiatan ini hanya menjadi tur pejabat dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Sulsel.

Ada sih Silver Expert JICA-Japan International Coorperatioan Agency di Indonesia Hiki Norikazu dan rombongan di lokasi kegiatan. Tapi itu pun, pelayanan petugas pariwisata terhadap mereka sangat tidak profesional. Tamu wisata ini ditempatkan di dek terbuka yang didekatnya terdapat tong sampah, tak jauh dari tempat tersebut rombongan wartawan juga melantai selama dua hari dua malam dalam pelayaran. Wisatawan ini pun harus mengantre jatah makanan omprengan dan mengambil air minum, tak ubahnya penumpang kelas ekonomi di kapal milik PT Pelni.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, betulkah kegiatan ini dipromosikan sampai ke Singapura dan Malaysia sejak 2008, seperti pernyaatan kadis pariwisata. Ataukah, apakah hasil pertemuan di rujab gubernur betul-betul dijalankan. Misalnya kegiatan ini dipromosikan di WOC atau Sail Bunaken yang diselenggarakan beberapa bulan sebelumnya. Karena jika tidak, dan memang kata seorang teman yang sempat berkunjung ke Sail Bunaken berlangsung, sama sekali tidak terlihat promosi Ekspedisi Taka Bonerata, maka sangat payah.

Promosi wisata kita memang sedikit aneh. Tulisan seorang teman wartawan, Jumadi Mappanganro bahwa saat memperkenalkan potensi wisata Sulsel di Singapura lewat foto-foto di 100 taksi, foto Gubernur “lebih besar” ketimbang objek wisatanya sendiri, saya pikir, sudah cukup.
Saya selalu mengatakan bahwa potensi pariwisata Sulsel sangat luar biasa. Saya pribadi, Bali lewat (kalah). Apa yang ada di Bali dan tidak ada di Sulsel? Tidak ada. Semua yang ada di Bali, juga ada di sini. Bumi Sulsel lengkap. Alam indah. Budaya beragam berkat multi etnisnya. Tapi tengoklah Bali, Data Disparda Bali, jumlah kunjungan wisman periode 1-12 Februari 2009 sebanyak 60.959 orang atau rata-rata 5.080 per hari. Dan pada periode yang sama 2010 jumlahnya menjadi 85.748 orang atau rata-rata 7.146 orang per hari. Artinya, Bali hanya butuh 12 hari untuk mengungguli Sulsel dalam hal kunjungan wisman. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan bahkan mengatakan, jumlah wisman yang datang ke Bali lewat Bandara Ngurah Rai pada Mei 2010 mencapai 199,4 ribu orang.

Bagaimana pariwisata Sulsel ke depan? Tahun 2012, Pemprov kembali mencanangkan Visit Sulsel 2012. Pertanyaannya kemudian, apakah kita siap untuk melaksanakannya. Jangan sampai nasib Lovely December Kelabu dan Ekspedisi Taka Bonerate akan tertular. Lagi-lagi ke soal sarana dan prasarana serta upaya promosi. Kalau kondisi jalan di Sulsel masih seperti sekarang, memprihatinkan, wajar kalau kita ragu sejak awal. Belum lagi kesiapan objek wisata kita. Seharusnya, atau ada baiknya sebenarnya kita berbenah dulu.

Memperbaiki seluruh objek wisata kita yang banyak terlupakan dan tak tersentuh anggaran memuaskan. Tidak perlu bermimpi terlalu ingin cepat menjadikan Sulsel sebagai tujuan wisata utama. Infrastruktur, rancangan program pariwisata dan lain sebagainya harus diperbaiki dulu. Termasuk bagaimana mengembalikan kondisi terumbu karang di Taka Bonerate yang 70 persen atau 80 persen hancur karena pengeboman ikan. Kalau hasilnya baru bisa kita nikmati lima tahun, 10 tahun, atau 25 tahun ke depan, tak masalah. Toh siapapun yang memangku jabatan sekarang tetap akan dikenang, paling tidak dikenang sebagai pemberi andil bagi majunya sektor wisata daerah ini. Dari pada terlalu pede untuk bekerja secara instan dan hasilnya nol besar, kan kurang bagus. Gimana? (Saat lagi kecewa pada banyak hal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya