Jumat, 16 Juli 2010

Astri, Kau Tahukan Maksudku?

NAMAMU Astri (bukan nama sebenarnya). Kau tidak perlu protes nama itu. Toh saya sudah mengeluarkan mahar untukmu 2005 silam. Kau sepenuhnya milikku. Kau bisa kuajak kemana saja semauku. Tanpa ada yang protes.

Usai salat Jumat (Jumat, 16 Juli 2010), saya memelototimu lagi. Sekadar membandingkan tubuhmu kini dengan kau dulu. Saat pertama saya memilihmu menjadi pendamping hidupku.
Kulitmu kini hitam dan berdebu. Melihatmu, saya teringat salah satu lagu favoritku waktu SD dulu. Liriknya antara lain "Tubuhmu kurus, hitam dan berdebu. Di telan perjalanan nasibmu". Kasihan kau.
Kini kau tak lagi menarik. Sebenarnya, kau memang tak pernah secantik mereka. Tapi paling tidak, pertama mengenalmu, kau tidak sememprihatinkan begini. Badanmu kini kusam, rantazak, dll. Mengamati punggungmu ke atas, lalu menelisik ke bawah, tak ada yang bisa dibanggakan. Sekali lagi kasihan. Kau terlihat lebih tua dari usiamu yang baru 15 tahun. Tapi saya tak pernah menyesal memilihmu. Bagiku itu takdir kita.

Astri, mungkin selama ini saya egois. Memaksamu terus mendampingiku. Saya yakin kau sering didera lelah. Saya tahu itu ketika mendengar kau mengeluarkan suara tangisan saat memaksamu mengikuti kehendak hatiku. Kau sebenarnya sudah memberi isyarat butuh dokter. Tapi saya tak menggubrisnya. Saya larut dengan pekerjaanku hingga permintaanmu tak pernah terkabul. Maaf.

Melihatmu kini, saya sebenarnya sudah "malu". Tapi kebaikanmu, ketidakrewelanmu, menerima saya apa adanya, selalu menuntunku untuk tak berpaling ke lain hati. Bahkan ketika si anu dan si dia muncul dengan bodinya yang aduhai dan suaranya yang lembut, kau tetap tak tergantikan Astri.
Jujur, sebenarnya, sering, saat malam dan kita sama-sama di rumah, saya berpikir, mungkin sudah saatnya mencari pendamping hidup lain. Saya harus akui itu. Tapi yakinlah Astri, kau tidak akan pernah saya tinggalkan. Kau akan kumadu saja. Tapi bukan karena saya sudah tak sayang. Sebaliknya, saya sangat sayang kau Astri. Saya tak ingin kau tambah menderita. Saya ingin kau beristirahat di rumah saja. Menikmati sisa usiamu tanpa harus menanggung beban hidup. Kau cukup menungguku pulang, dan biar madumu yang akan menggantikan tugasmu.

Oh ya Astri, ingat tidak ketika malam tahun baru 2006, kita bertahun baru bersama. Sayang malam itu kau terluka. Kita terpaksa tidur di pinggir jalan. Tapi itulah bukti cintaku padamu. Saya tidak meninggalkanmu. Kau pasti masih ingat itu.

JUMAT siang, usai salat, seperti biasa, kau menemaniku berkeliling kota. Kau lihat tidak umbul-umbul di jalan? Berbagai warna. Indah sekali. Kau mungkin tidak tahu, isyarat umbul-umbul yang kita lihat di kantor Toyota dekat Flyover. Oh ya, itu pertanda sebentar lagi negeri kita merayakan kemerdekaannya yang ke-65.

Tiga setengah abad kita dijajah. Jadi wajar kalau jauh hari sebelum momen kemerdekaan itu, negeri ini sudah ramai dengan umbul-umbul. Banyak kantor-kantor pemerintah dan swasta sudah bersiap menyambut momen itu. Penjual dadakan, ada umbul-umbul dan bendera, juga sudah sejak awal menggelar dagangannya.

Sayang ya. Keceriaan lewat umbul-umbul itu seolah hanya topeng belaka. Kau ingat kan, saat saya mengumpat waktu melihat tayangan TV, dua janda pahlawan didakwa melakukan penyerobotan tanah Perum Pegadaian di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Tak hanya itu. Penggusuran masih menjadi teman setia mata dan telinga kita. Setiap hari, TV menayangkannya. Juga, masih banyak rakyat negeri ini yang belum menikmati kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh pejuang kita.

Bumi air dan segala sesuatu di atasnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, juga seperti kalimat tak bermakna di Undang-undang Dasar kita. Sebenarnya kalimat itu sudah sangat tepat. Saya, kau, si udin, si ujang, si beddu, dan saudara sebangsa kita yang lain tentu mengharapkan itu. Negeri ini milik rakyat. Jadi tepat jika segala sesuatu di atasnya untuk kemaslahatan rakyat juga.Harapan kita bersama tentunya, itu menjadi nyata. Tak sekadar dibaca berulang-ulang di hadapan presiden dan seluruh rakyat nusantara ini setiap tanggal 17 Agustus namun tak pernah dibuktikan.

Tengoklah di Jawa sana. Masih jutaan orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Di Papua sana, juga tak kalah menyedihkannya. Di Kalimantan, Sumatera dan di manapun di belahan negeri ini, termasuk kampung kita Sulsel, kemiskinan masih menjerat. Padahal kalau mau jujur, negeri ini berlimpah harta. Dari Sabang sampai Merauke, Tuhan menganugerahkan kita harta yang berlimpah. Tapi segelintir orang, yang mungkin merasa lebih berhak dari kita, telah membuat saudara kita miskin. Ada yang menggerusnya secara kasar lewat patok-patok monopoli. Ada yang membiarkannya dirampas orang benua biru atau rumpun yang adikuasa itu. Yang lain berlagak alim namun berbaju koruptor. Mengisap secara perlahan harta negeri.

Sebenarnya banyak saudara kita telah berjuang mengembalikan hak rakyat. Sayang, Tuhan sangat mencintai mereka hingga memanggilnya lebih awal. Ada yang tewas di ujung peluru. Terinjak laras. Sebagian lain tak diketahui rimbanya. Menghilang. Tanpa kubur dan batu nisan. Yang menyedihkan lagi, tak ada yang bertanggung jawab atas hilangnya aktivis dan pahlawan kita. Belum ada yang pernah duduk sebagai pesakitan di pengadilan, seperti halnya dua janda pahlawan kita. Maka sempurnalah duka negeri ini.

Astri, saya mau kau sependapat dengan saya. Negeri ini butuh bercermin lebih banyak. Butuh lebih sering melihat ke bawah. Butuh menyempatkan diri sekali-kali ke rumah sakit jiwa agar tahu rupanya, nasib rakyatnya, dan kenapa si Udin yang sarjana, gila ketika suatu malam pulang dan tak membawa uang, sementara anak istrinya sudah butuh makan. Ia gila lantaran ijazahnya tak ubah seonggok kertas pembungkus kacang. Tak ada guna sama sekali. Tak ada peluang sama sekali baginya untuk sekadar berkeringat, bekerja. Kau harus sependapat dengan saya Astri, hidup di negeri ini kejam.

Tapi, kita tak boleh menyerah. Seperti kata D’Masiv lewat lagunya. Wajah negeri kita yang diisi banyak Gayus (si Mafia Pajak) kelak akan berubah ceria. Meski saya yakin bukan di ulang tahun kemerdekaannya yang sebulan ke depan kita akan upacarakan lagi. Astri, saya sepertinya sudah mengantuk. Besok kita lanjutkan lagi. Jangan marah ya karena saya menjelek-jelekkanmu dan ingin memadumu karena negeri ini bisa jadi jauh lebih buruk. Kau hanya hitam dan berdebu, tapi negeri ini……………..Astri, kau tahu kan maksudku?
(Malam yang aneh di Kafe Metro, Jumat, 16 Juli-Sabtu, 17 Juli 2010)





Catatan tangan: Astri itu teman terbaikku di kota ini. Nama lengkapnya,Honda Astrea. Nomor teleponnya DD 2476 T.
Mereka = motor lain.
Badanmu = body astreaku
Usiamu yang baru 15 tahun = rakitan 1995
Suara tangisan = bunyi knalpot
Isyarat butuh dokter = butuh bengkel
Si anu dan si dia = Motor matic dll
Bodinya yang aduhai = bentuknya
Pendamping hidup lain = motor baru
Kau akan kumadu saja = tidak akan kujual
Saya ingin kau beristirahat di rumah saja = disimpan saja
Kau terluka = ban bocor
Astri, kau tahu kan maksudku? = Kau tahukan maksudku?

1 komentar:

  1. Salam kenal lelaki bugis,, tadinya mau comment tentang si Astri di dinding catatan fb,, but keramean banget..

    Awalnya dari nyari teman2 se profesi di fb,, hingga menemukan si "bule indo", niatnya sih ingin tau kabar mereka saja, e eh.. nyampe di dindingnya kulihat ada sebuah tag catatan buat si "bule" {Astri, Kau Tahukan Maksudku) .. Tentang isi catatan: kirain si Astri salah satu korbanmu yg masih berusia belia.. setelah kursor berhenti hingga halaman terkahir, e eh sialan,,, salam kenal bro dari Papua.. Follow balik ya.. lanjutkan!!!

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya