Selasa, 13 Juli 2010

BerSOKOLA di Pesisir Mariso

MALAM beranjak larut ketika saya membelokkan motor di depan gedung Celebes Convention Centre (CCC) Jl Metro Tanjung Bunga, Selasa, 29 Juni. Sebuah rumah panggung sederhana di depan Rumah Susun Sewa Sederhana (Rusunawa) menjadi tujuan saya.

2005 silam, saya pernah ke rumah tersebut. Tapi waktu telah mengubahnya bersama lingkungan sekitarnya. Pertama datang ke sana, di depannya bukan jejeran Rusunawa. Yang ada ketika itu, hamparan air laut yang kotor dan hitam.

Kini semua sudah berubah. Saya malah sempat tak yakin telah memarkir motor di depan rumah yang menjadi tujuan saya. Ponsel sudah saya keluarkan. Dan nomor telah saya tandai untuk sebuah pesan singkat yang saya kirim sebelum muncul pria gondrong yang menyebut nama saya dari beranda rumah.

"Siniki naik," kata pria bernama Habibie itu.

Selesai melepas sepatu, saya melangkah masuk. Di tengah riuh canda anak-anak di bawah kolong rumah, saya coba mengingat kembali kenangan-kenangan saat pertama datang ke rumah itu. Termasuk posisi ruangan, pernak-pernik di ruang tengah. Tapi semua serasa baru. Hanya dinding kayu yang masih tersimpan di memori saya.

Dulu, waktu saya datang pertama, saya diterima Ocea Apristawijaya. Saat itu, awal perkenalan saya dengan SOKOLA, sebuah Komunitas Pendidikan Alternatif bagi warga miskin. Ia perintis SOKOLA yang letaknya di Kelurahan Mariso, Kecamatan Mariso, Makassar. SOKOLA adalah sekelompok orang yang berpengalaman dalam melayani dan membantu pendidikan bagi masyarakat adat dan terpinggirkan. Dengan metode belajar cepat membaca-menulis, SOKOLA mencoba untuk menjangkau masyarakat di Indonesia yang belum diakses oleh pendidikan formal, membantu, dan berbagi pengetahuan atau keterampilan hidup untuk menghadapi masalah mereka sehari-hari di kehidupan nyata. Komunitas yang dirintis Butet Manurung pada tahun 1999 ini punya motto, "School for Life".

Di Indonesia saat ini ada lima SOKOLA. Selain di Makassar ada juga di Kajang Bulukumba, Halmahera, Flores, dan Jambi.

"Beruntung sekali ya Sulsel, ada dua SOKOLA yang aktif." Saya langsung memotong saat Habibie menyebut satu persatu daerah tempat SOKOLA. Lewat Ocea Apristawijaya, saya mendapatkan nomor telepon Habibie dan membuat janji bertemu malam itu.

Baru beberapa menit duduk, muncul Dila. "Siapa tahu mau turun melihat-lihat di bawah? Anak-anak sedang main komputer. Bibie, pinjam motormu, saya mau jalan-jalan ke Senggol," kata Dila setengah berteriak. Hanya kepalanya yang terlihat dari balik dinding yang tak jauh dari tangga yang menghubungkan ruang tengah dengan kolong rumah.

Melihat parasnya saya langsung berpikir dia bukan asli Makassar. Saya coba mengingat wajah itu. Mencoba membuat kesimpulan dalam hati jika saya pernah bertemu dia sebelumnya saat datang 2005 silam. Tapi memang memori 2005 di rumah itu seakan hilang semua. Dila sangat asing bagi saya.
"Dila orang Makassar ya?" kata saya ke Habibie yang duduk bersimpuh di hadapan saya.
"Bukan. Dia orang Bogor. Cuma dia lama di sini jadi logatnya sudah logat sini. Dia dulu sama Oceu. Sekarang lagi S2 di luar negeri. Dia datang sekalian penelitian," jawab Habibie.

Ditemani tiga gelas air mineral plus rokok masing-masing, saya dan Habibie duduk bersimpuh di ruang
tengah. Kami berbincang cukup lama. Tak hanya soal SOKOLA dan para relawan pendidikannya tapi juga soal masa lalu kami berdua.

Habibie kepada saya mengaku lahir di Pinrang, sebuah kabupaten yang berjarak sekitar 200 km dari
Makassar. Ia lahir 1984. Saya lupa menanyakan kapan ia bergabung di SOKOLA. Namun alumni Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) Makassar yang sebelumnya kuliah di Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia (UMI) itu mengaku sudah pernah ke Flores dan Halmahera. Kegiatannya sama. Mengajar warga suku terasing dan membebaskan mereka dari kebodohan.

"Saya pernah ke kampung Welado, sebuah perkampungan pulau di Flores. Di sana saya mengajar anak-anak hingga kakek-kakek. Bahkan yang saya ajar ada satu keluarga, mulai cucu hingga kakeknya," kata Habibie.

Di sana kata dia, dalam beberapa bulan, warga yang tadinya tak tahu baca tulis langsung melek membaca. "Dulu kalau pemilihan kepala desa, warga di Welado hanya diminta tandatangan. Mereka tandatangan saja karena tidak tahu apa isinya. Ternyata isinya surat dukungan jadi pemilihan kepala desa selalu aklamasi.

Belakangan setelah tahu membaca, mereka baru sadar dan menjadi kritis," tutur Habibie.
Ia juga mengaku punya pengalaman di belantara Halmahera. Latar belakang dia sebagai pencinta alam sangat membantu. Ia mampu menembus belantara dan mengajar suku terasing di sana. "Saya sampai terserang malaria. Menurut dokter, itu berpengaruh ke daya ingat saya yang berkurang karena menyerang otak dan ternyata memang betul," kata pria yang saat masih kuliah di UMI rutin berurusan dengan polisi lantaran selalu dianggap provokator ketika mahasiswa Teknik dan Mapala tawuran.

"Saya punya banyak teman di Teknik dan Mapala makanya dicurigai provokator," kata Habibie sambil tertawa. Pembicaraan kami lompat-lompat. Kadang soal Habibie, lalu mengenai saya, terus kembali lagi ke soal SOKOLA. Kisah para relawan pendidikan ini sangat menarik minat saya mendengarnya. Saya merasa amat kecil dan tidak ada apa-apanya di hadapan mereka.

"Kalau di Mariso ini, SOKOLA berdiri sejak 2005 silam. Seribuan anak sudah mengeyam pendidikan di
SOKOLA," kata Habibie, yang kini melajutkan peran Oceu sebagai Koordinator SOKOLA.
Habibie menyebut ada beberapa nama yang pernah menjadi relawan di SOKOLA Mariso. Selain Oceu dan Dilla, ada beberapa mahasiswa lain. Namun kini katanya sisa Uni, pengajar TK yang juga mahasiswa Unismuh, serta pengajar teater dan seni, Evi yang masih tercatat sebagai mahasiswa UNM yang aktif.

"Dulu pengajar banyak, tapi beberapa sudah kerja dan pulang kampung," kata Habibie.
Di SOKOLA, kegiatan belajar ditempatkan di kolong rumah dan di ruang tengah yang juga jadi ruang tamu.

Para warga di sana juga cukup senang dengan keberadaan mereka. Tak hanya anak usia dini, tapi juga remaja dan orang dewasa mereka ajar.

"Malah anak tiga tahun sudah ada yang dibawa ke sini. Makanya kita pikirkan membuat pelatihan juga bagi ibu-ibunya. Karena biasanya mereka juga ikut menegur anaknya jadi kita sering kesulitan mengajar," kata Habibie.

Keberadaan SOKOLA mungkin tak diketahui banyak orang. Jasa mereka bisa jadi juga hanya dikenang warga yang merasakan langsung keberadaan mereka. Tapi komunitas pendidikan alternatif, SOKOLA bagi warga Mariso dan sekitarnya bak pahlawan. Sejak kemunculannya 2005 silam, kini mereka sudah menjadikan ratusan warga buta huruf melek membaca.

Target mereka memang sejak awal menuntaskan buta hurup dan mengangkat derajat warga miskin yang tak mampu mengenyam pendidikan karena keterbatasan biaya dan budaya.
"Sejak 2005 Sokola didirikan, sudah 1.000-an orang yang kita didik dan pintar membaca. Termasuk ratusan anak usia sekolah, atau remaja yang buta huruf. Kalau pun ada di Mariso yang tidak tahu membaca itu karena mereka malu saja untuk belajar di Sokola," kata Koordinator Sokola, Habibie.

Ia tak menyangkal bahwa masih ada beberapa warga yang dewasa namun belum tahu membaca. "Kami
maklumi mereka malu. Ada yang mau belajar tapi minta kita ke rumahnya. Hanya kami tolak. Bagaimana
kalau semua minta di rumahnya?" katanya.

SOKOLA kata Habibie berusaha membangun budaya kritis siswa. Dia berharap warga bisa bicara untuk
sekolah dan tidak bekerja hanya karena dipaksa. "Di sini kita mau membangun budaya kritis siswa. Mereka harus berani bicara. Kan selama ini mereka tidak sekolah karena dipaksa bekerja. Makanya lewat pendidikan di sini, kita harap mereka berbicara ke orangtuanya . Kalau kita yang langsung bicara ke orangtua mereka pasti beda. Jadi harapan kita merubah budaya sebab ada warga yang tidak sekolah dan menjadi bodoh karena memang tidak memiliki uang, dan ada juga yang punya uang tapi pemahaman orangtuanya yang rendah," jelasnya.

Tak hanya dari Kelurahan Mariso, siswa SOKOLA juga datang dari beberapa kelurahan di sekitarnya. "Ada juga dari Jl Rajawali, Lette, dan Buyang. Mereka tidak punya wadah pendidikan di tempatnya makanya lari ke sini. Bisa jadi juga ada tapi tidak sesuai keinginan, belum lagi kalau harus bayar," ujar Habibie.

Enam tahun bukan waktu yang singkat bagi pengabdian SOKOLA di Mariso. Anak-anak yang sebelumnya masih balita atau yang tadinya sudah remaja dan ikut belajar, sudah besar. Namun Sokola tak pernah lepas dari hati para siswa ini. Bagi mereka Sokola sudah menjadi rumah kedua.

Sebagian besar murid SOKOLA kata Habibie masih aktif datang ke rumah yang hanya berjarak beberapa
meter dari Jl Metro Tanjung Bunga. Apalagi mereka yang memang mengikut pelatihan keterampilan menjahit atau komputer.

Malam itu, saat saya di sana, para murid SOKOLA masih berkumpul. Ada yang bermain, sebagian lainnya antre menunggu giliran menggunakan komputer.
"Mereka senang di Sokola. Bahkan kami harus mengusir mereka pulang sebab tidak mau pulang kalau sudah asyik di sini. Mereka juga seperti satu keluarga. Akrab satu sama lain," kata Habibie.

Menurut habibie, itu berlangsung setiap hari. "Orangtua mereka juga tidak ada yang membatasi anaknya ke sini. Mereka percaya kita apalagi sebagian besar memang sudah di Sokola sejak usia tiga tahun," katanya.

Pria berambut gondrong ini bahkan sering bingung meminta anak didiknya pulang jika sudah tengah malam. "Sering juga ada yang ngotot tidak mau pulang. Kalau kami senang saja kalau mereka berkumpul. Hanya saja, mereka mau bermalam kalau tidak diminta pulang," ujar Habibie.

Kerja Habibie dan kawan-kawan adalah kerja sosial. Makanya di tengah keterbatasan dana, mereka masih tetap bisa bertahan. Termasuk ketika founding mereka, soFEI sejak 2007 memutuskan menghentikan bantuan dana.

"Sekarang sudah tidak ada lagi. Kita tetap lanjut karena pelatihan kerajinan atau souvenir kita jual dan
hasilnya ditabung. Uangnya dibelikan alat praktik atau perlengkapan lainnya. Setiap Minggu anak-anak ke Anjungan Pantai Losari menjual souvenir buatan mereka dan hasilnya kita tabung," kata Habibie.

Membahas souvenir karya anak-anak Mariso itu, Dila muncul dari dalam kamar dan membawa beberapa ke depan saya. Ada gantungan ponsel, gantungan kunci, dan kartu ucapan. Souvenir itu telah dikemas laiknya hasil kerajinan yang dijual di mal atau di pasar-pasar. Sudah dipaket dalam plastik dan dipasangi harga.

Untuk gantungan kunci saya lihat harga yang tertera Rp 3000 hingga Rp 5000.
"Cuma memang masih agak kasar jahitannya. Bahannya kita beli di Agung atau Sentral," beber Habibie.
Sebuah buku berjudul "Saatnya Kami Bicara" yang merupakan karya anak-anak pesisir Mariso juga Dila
serahkan ke saya. Isinya kumpulan karya anak-anak terhadap peristiwa dan perubahan yang terjadi di
sekitarnya. "Itu karya asli mereka. Sebab kita memang juga mengajarkan mereka menulis," kata Habibie.

Semangat belajar anak-anak Mariso menjadikan Habibie dan kawan-kawan, bertahan di tengah berbagai keterbatasan. "Kita bertahan karena melihat semangat belajar anak-anak. Sayang kalau harus berhenti," katanya.

Keterbatasan anggaran ini juga membuat 10 komputer yang digunakan anak-anak untuk pelatihan kini tersisa satu. Satu komputer itulah yang digunakan bergantian. "Makanya mereka ribut karena antre," beber Habibie saat mendengar anak-anak di kolong rumah yang dijadikan ruang komputer ribut.

SOKOLA sejauh ini menjadi pusat pendidikan usia dini yang diakui. Itu setelah rekomendasi PAUD dan
legalisasi ijazah yang sebelumnya mereka perjuangkan sudah keluar. "Sisa dana dari pemerintah yang belum pernah ada. Tahun 2005 silam kita pernah mengurus dan sudah hampir keluar tapi batal karena ada potongan. Kita menolak," ujarnya.

Pekan lalu, SOKOLA kembali menamatkan siswanya. Penamatan dirangkaikan dengan pementasan seni.
"Bagus ji toh penampilanku? Kan kita ketawa-ketawa ji juga," ujar seorang anak remaja putri ke Habibie seraya meneguk air gelas mineral. Saya tak sempat menanyakan nama remaja perempuan itu, namun menurut Habibie, ia di SOKOLA sejak masih kecil. Akankah SOKOLA akan tetap bertahan demi pendidikan mereka yang miskin di tengah keterbatasan dana dan ketidakpedulian pemerintah? Mudah-mudahan saja. (amiruddin@fajar.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya