Jumat, 19 Maret 2010

Harusnya Dia Annie "Speed"

WANITA tangguh itu sudah diminta meninggalkan bus yang sudah akan meledak jika kecepatannya sampai berkurang. Sebuah bom telah dipasang dan sewaktu-waktu bisa menghancurleburkan bus beserta penumpangnya. Namun ia memang sosok pemberani. Sifat solidaritasnya yang kental menyadarkannya untuk tetap bertahan dan menempuh bahaya bersama rekannya. Dan singkat cerita mereka berhasil menyelamatkan penumpang lainnya. Suksesnya menyelamatkan penumpang bus itu berbuah manis. Berbagai penghargaan ia terima.

Nama wanita itu, Annie Porter. Tapi nama sebenarnya adalah Sandra Bullock, seorang bintang film tenar. Kisah heroik di atas adalah lakon film Speed.
Film yang dirilis pertama kali tahun 1994 silam. Sandra bersama Keanu Reeves menjadi bintang utama dalam film kebut-kebutan yang akhirnya meraih sukses dalam catatan box office.

Mungkin sudah tiga kali film itu saya tamatkan. Setiap kali diputar di tivi, saya tidak pernah melewatkannya. Ada pesan istimewa yang saya tangkap dari sosok Annie yang membuat saya betah berlama-lama memolototinya, begadang sepanjang malam, meski terkadang gusar jika tiba-tiba iklan memotong alur ceritanya beberapa menit.

Saya senang pribadi Annie. Saya senang ia bisa menjadi contoh teman dan sahabat terbaik. Saya salut ia bisa melawan ketakutannya dengan dorongan kekuatan pertemanan yang saya sendiri masih sering berpikir sesuatu yang mustahil di kehidupan nyata. Sebab yang banyak menjadi lakon hidup sebenarnya, menyelamatkan diri masing-masing dalam kondisi kritis atau ketika muncul masalah, adalah yang pertama. Mendapat kesempatan untuk selamat di kesempatan pertama meski orang lain akan meregang nyawa setelah itu sudah terkadang pilihan mutlak.

Sosok Annie itu benar-benar menjadi inspirasi bagi saya. Saya ingin memiliki seorang wanita yang akan mengisi hari-hari saya dengan pribadi Annie dalam aliran darahnya. Entah itu lewat seorang anak.
KABAR gembira itu disampaikan istri saya tercinta, Andi Eka Vuspasari, mungkin April atau Mei 2006. Kabar bahwa “senggama halal” kami tidak sia-sia. “Ayah saya telat,” kata istri saya ketika itu.

Saya tidak butuh penjelasan panjang lebar dari istri saya soal kata telat ini. Bahkan saya tak butuh kamus bahasa Indonesia untuk menerjemahkan dan mencari padanan katanya. “Hamil.” Itu yang langsung terbesik di hati.
Kehamilan istri saya yang kedua menyusul kelahiran anak pertama kami tiga tahun sebelumnya, Aura Nur Sabilah menjadikan hati saya berbunga-bunga. Ya, kegembiraannya kalau tidak salah menakar seperti saat kali pertama saya menerima kabar dari teman pramuka saya waktu SMA bahwa adik kelasku bernama Wiwin, yang cantik, sederhana dan lembut, ternyata menerima saya jadi pacarnya. (Hehehe. Itu cinta serius saya yang pertama).

Kehamilan istri saya membuat hati saya berbunga-bunga. Kalau sudah begitu, saya pasti akan mengecup kening istri saya dan memeluknya sebagai tanda cinta.

Kabar kehamilan Eka terbawa sampai di kantor. Saat bekerja. Mengetik satu per berita yang cukup melelahkan mengumpulkannya. Tapi tak satupun teman kantor yang tahu hal ini.

Mencari nama yang pas untuk anak keduaku ini pun rutin saya lakukan. Mensearching di internet. Atau terkadang mengingat-ingat tokoh berpengaruh seantero jagat. Juga orang-orang sukses yang karyanya mempengaruhi dunia.

Saya secara khusus melakukan ini, sebab anak pertama saya, Rara (panggilan Aura Nur Sabila) pemberian tante istri saya. Untuk anak kedua kami, saya sudah bertekad dalam hati, harus pemberian saya.
Siapa nama yang pas? Begitu yang berkecamuk di pikiran saya. Hari demi hari. Minggu berganti bulan, hingga menjelang lahirnya sang jabang bayi. Saat memegang perut istriku yang sudah membuncit, ketika malam, saya sering berkhayal. Nama anak saya kelak si ini, si itu, si anu dan banyak nama lagi.

Bagi saya, nama itu doa. Itu saya dengar dari orangtua dan para ustaz yang kerap ceramah.

Kala hari kelahiran anak kedua kami semakin dekat, saya pun teringat dengan Annie, sosok pemberani dan setia kawan dalam film Speed. “Itu nama depan yang pas buat anakku kelak.” Begitu kata hati saya. Saya berpikir tinggal mencarikan dia nama belakang. Saya memilih Annie karena berharap kelak anakku punya karakter sama dengannya meski itu hanya satu sosok hasil imajinasi sang sutradara belaka. Tapi sekali lagi, bagi saya nama itu doa. Dan saya berharap anak saya kelak seorang wanita pemberani dan setia kawan.

Sosok Annie ini ternyata seperti sebuah hipnotis. Saya menjadi tak berdaya untuk melawannya. Saya sampai lupa bahwa belum tentu anak saya kelak berjenis kelamin perempuan. “Bukankah Annie itu kurang pas untuk nama anak laki-laki?. Begitu guman saya.

Hari kelahiran semakin dekat, dan ternyata pekerjaan makin berat. Selain harus menyelesaikan tugas sebanyak-banyaknya, berburu poin berita untuk persiapan kelahiran anak, saya juga mesti memutar otak mencari satu nama lagi. Ini berat. Untuk menyimpulkan nama depan Annie saja susahnya bukan main.
CHELSEA. Kata itu suatu waktu menjelang kelahiran anak saya yang kedua, muncul. Itu klub favorit saya di Liga Inggris. Sejak era Zola di tahun 90-an, Chelsea tak pernah tergeser dari hati saya meski prestasi setan merah Munchester United, The Gunners Arsenal atau pun The Red Liverpool jauh di atasnya. Lagi-lagi ini soal karakter. Saya senang Chelsea karena karakter permainan mereka. Tak pernah menyerah. Sepanjang musim, melakoni pertandingan demi pertandingan, berjuang meraih gelar liga, meski tak pernah kesampaian sebelum kedatangan Jose Mourinho.

“Tapi ada tidak nama anak laki-laki Chelsea.” Kalimat ini mengganggu saya setiap saat ketika nama Chelsea sepertinya sudah akan menjadi keputusan bulat saya untuk persiapan nama anak laki-laki saya jika kelak istri saya melahirkan.
Seingat saya, Chelsea itu nama salah seorang anak mantan presiden Amerika Serikat dan dia perempuan.
Pernah juga terlintas nama Milan, maklum di Liga Italia, klub favorit saya Inter Milan. Juga pernah muncul Madrid karena saya pencinta berat Real Madrid.
Milan sebenarnya bagi saya pas untuk nama anak laki-laki. Hanya saja, saya takut kelak orang menyangka saya fanatic AC Milan. Pilihan kedua ini pun gugur dengan sendirinya. Untuk Madrid sendiri, saya putuskan mencoretnya dari pilihan karena saya merasa kurang pas. Tak ada alasan khusus lainnya saya melenyapkannya dari daftar persiapan nama anak saya.

Mau tidak mau, Chelsea akhirnya menjadi pilihan final saya. Apalagi saat itu, di bawah besutan Jose Mario dos Santos Mourinho Felix, si Special One, prestasi Chelsea meroket. Ia menjadi raja Liga Inggris dan secara beruntun meraih gelar liga.
Seperti halnya Annie yang saya putuskan untuk nama depan, Chelsea malah sebaliknya. “Chelsea nama belakang saja. Nama depannya nantilah. Yang jelas panggilannya sehari-hari Chelsea,” kata saya suatu waktu ketika putusan saya sudah bulat. Mau Muhammad Chelsea, Ahmad Chelsea, atau Chelsea siapa, biar waktu yang memilih. Yang pasti harus ada Chelsea, karena nama itu doa. Chelsea bagi saya melambangkan sosok yang tak kenal menyerah. Anak laki-laki saya harus ulet. Tak boleh cengeng. Dia harus bisa mandiri dan selalu menjadi sosok pekerja keras yang sukses. Dari nama itu saya yang memang penggila bola dan sangat senang waktu mulai menjadi wartawan 2004 silam masuk desk olahraga, juga punya impian kelak anak laki-laki saya pemain bola hebat yang bisa mengharumkan nama bangsa. Bisa membawa Indonesia ke Piala Dunia yang untuk saat ini seperti sebuah mimpi.
PUKUL 23 lewat sedikit, Eka, istriku tersayang menelepon. “Honey (begitu nama sapaan kami sejak awal menikah) perempuan lagi.” Eka menelepon ku beberapa saat setelah ia melahirkan. Saat itu, saya lagi sibuk-sibuknya di kantor. Hari itu juga saya baru balik dari kampung saya di Barru. Namun karena dokter mengatakan kemungkinan istri saya melahirkan pekan berikutnya, saya pun hanya sempat bermalam dua malam.

“Minggu depan saja kita turun lagi. Nanti saya kabari kalau sudah sakit-sakit.” Kata Eka, Kamis, 21 Desember 2006, sore itu, sewaktu saya pamitan ke Makassar. Ternyata baru beberapa jam di Makassar Eka sudah melahirkan di rumah dibantu mertua dan ipar saya yang bidan.
Karena merasa malu untuk minta izin lagi di kantor, dan istri sepakat saya pulang saat akan akikah, saya pun memutuskan tetap di Makassar.
“Yang ini lebih cantik. Hidungnya mancung. Mukanya kayak Ome (adik ipar saya Andi Elly Yulianda Sari, yang menurut beberapa orang paling cantik),” begitu istri saya menggambarkan paras anak keduaku yang dalam bathin saya kelak bernama Annie.

Tidak ada satu pun teman sekantor saya yang tahu kalau saya saat itu sudah menjadi ayah dua anak. Saya memendam perasaan bahagia itu sendiri. Sehari berselang, dua hari berlalu, hingga hari berikutnya, semua tak terbagi. Hingga lima hari kemudian, saya akhirnya diusir dari kantor oleh Wakil Pemimpin Redaksi, Nur Alim Jalil yang tahu kalau istri saya baru melahirkan beberapa hari sebelumnya.
Kabar melahirkan istri saya ini secara tak sengaja saya sampaikan ke teman kantor, Ramah Praeska yang menggelar hajatan akikah kelahiran anak pertamanya.
“Anak kita hampir bersamaan lahir. Saya 21 Desember lalu,” kata saya ke Ramah ketika itu yang akhirnya menyebarkannya ke teman kantor lainnya dan sampai ke Kak Alim Jalil.

“Sekarang, apapun beritamu, hentikan. Jangan mengetik lagi dan pulang. Kalau tidak mau pulang saya skorsing,” kata Kak Alim ketika itu. Mimiknya serius.

“Istri kamu ternyata melahirkan. Kenapa tidak bilang-bilang. Jangan-jangan orang di luar berpikir lain ke Harian Fajar. Ayo berdiri. Berhenti bekerja. Kamu itu…..,” tegas Kak Alim.

Saya yang waktu itu memang lebih banyak menginap di kantor, selain karena belum ada rumah dan juga istri lebih banyak di Barru, langsung mengambil tas dan pulang malam itu sebelum Kak Alim tambah marah.
“Namanya Azizah Wasliyah. Bagusji honey to. Karena kakaknya dipanggil Rara, kita panggil dia Syasya?” ujar istriku saat saya baru tiba dan menggendong anak perempuan keduaku.
Seolah terhipnotis, saya hanya mengangguk. Kebahagian saya mengalahkan segalanya. Membuat saya lupa bahwa saya sebenarnya sudah menyiapkan nama Annie untuk si kecilku yang cantik. Sama seperti yang paras yang digambarkan istriku saat baru melahirkan.
“Tak apalah. Inikan belum akikah. Nanti juga kalau mau akikah baru saya bilang namanya Annie. Itukan yang sah. Yang potong kambing kan pasti bertanya siapa namanya.” Dalam hati saya punya rencana itu.

Setelah tiga malam di rumah, saya balik ke Makassar untuk bekerja lagi dan kembali bergelut dengan berita-berita. Saat itulah, tepat 1 Januari 2007, pesawat Adam Air
Dengan nomor penerbangan KI.754 hilang bersama 112 penumpangnya. Pesawat dengan rute penerbangan Surabaya-Manado tersebut lost contac. Kesibukan saya pun yang masuk dalam tim peliput tragedi terbesar kecelakaan pesawat di Indonesia itu, bertambah. Dua hari berturut-turut pasca hilangnya pesawat saya pulang balik bandara meliput. Pemberitaan soal Adam Air ini heboh. Seluruh media nasional menurunkan timnya. Apalagi ketika sehari pasca kejadian tersiar kabar jika pesawat sudah ditemukan di Polman, Sulawesi Barat. Meski belakangan ternyata tidak benar.
Tanggal 3 Januari, tepat hari saat anak kedua saya akikah, saya mendapat tugas liputan Adam Air ke Tator. Saat itu, dikabarkan Adam Air jatuh di sana. Akikah anak saya pun lewat. Dan nama Annie pun tinggal kenangan. Saya tidak sempat lagi membisikkan nama itu ke imam kelurahan yang selama ini menjadi eksekutor kambing akikah di kampung istri saya di Takkalasi Barru. Padahal nama yang dilafalkan saat doa potong kambing ketika akikah, itulah yang “sah”.
Azizah Wasliyah, ya itulah nama anak saya yang kedua. Sejak usia beberapa bulan, Syaya (panggilannya) sering sakit-sakit. Bahkan hingga usia dua tahun, ia sempat divonis dokter kurang gizi. “Astaga. Kok bisa. Padahal saya selalu berusaha memenuhi semua kebutuhannya. Ya makan, susu, dan tetek bengeknya.” Begitu di pikiran saya.

Vonis dokter ini beralasan. Syasya-sapaan
Azizah memang malas makan. Ia pun beberapa kali keluar masuk rumah sakit yang meninggalkan bekas infuse di tangannya yang mungil. Bukan hanya persoalan gizi, ia juga kerap demam, flu, batuk dan gatal-gatal.

“Mungkin Syasya harus diganti namanya Ayah. Kata orang-orang tua, mungkin namanya tidak cocok,” ujar istriku suatu malam. Eka sering menangis memikirkan Syasya yang menjadi langganan penyakit.

Ketika mendengar usulan Eka, saya kembali teringat nama Annie. “Mungkin ini saatnya anakku bernama Annie. Mungkin nama itu sudah jodohnya. Ia ingin nama dari ayahnya,” kataku dalam hati.

Namun awal Mei 2009, istriku yang kebetulan pulang kampung menelepon.
Tapi bukan suaranya yang terdengar. “Ayah namatu Cifa,” kata si bungsu Syasya dari balik telepon.
“Siapa Nak, Cifa?” kataku ingin mencari tahu karena kurang mengerti bahasa anak seusianya yang terkadang terdengar aneh dan lucu.

“Namanya sekarang Syifa ayah. Dia sudah ganti nama tadi. Syifa toh?” kata Rara, anak pertamaku dari balik telepon. Saya tidak melihatnya, namun saya yakin Rara sedang bertanya ke adiknya.

“Iya Ayah, saya ganti namanya.
Namanya sekarang Asyifa Safira, dipanggil Syifa. Mudah-mudahan ia bisa sehat mi kodong,” kata istriku. Biasanya istriku kalau sudah membahas anak keduaku ini, ia sering menangis.

“Oh, Syifa mi namanya,” kata saya.

Kini Syifa sudah tiga tahun empat bulan. Ia sangat lincah. Pintar menyanyi dan sedang lucu-lucunya. Tapi, ia belum seperti harapan kami. Berat tubuhnya masih mengkhawatirkan saya meski gatal-gatal yang menderanya juga sudah mulai berkurang setelah saya bawa ke professor ahli kulit. Kata dokter, ia kebanyakan makan kerupuk. Kelak kalau ia sudah besar, mungkin tulisan sederhana ini akan memberitahukan kepadanya bahwa ia seharusnya Annie “Speed”. Tapi jika memang Annie bukan takdirnya dan ia tak bisa menggunakan namanya, saya berharap Syifa kecilku bisa berkarakter Annie yang kuat. Untuk nama Chelsea, saya belum putus asa. Kelak masih bisa saya gunakan jika istriku melahirkan lagi dan bayi itu laki-laki. Doakan ya semua. Agar Indonesia bisa tembus piala dunia dengan gocekan Chelsea, anak wartawan Makassar bernama Amiruddin. (amiruddin@fajar.co.id)
Makassar, 19 Maret 2010. Saat gundah dan rindu keluarga menderaku.