Rabu, 10 Maret 2010

BAPAKku ke Kota

MATA masih terbuka setengah saat saya membuka pintu rumah, Minggu, 7 Maret 2010. Saat itu masih pukul 07.30. Ketukan pintu dan teriakan memanggil nama panggilanku di kampung "Nak Miru" membuat saya yang baru tertidur sekira tiga jam, habis begadang, kehilangan kantuk. Apalagi suara tersebut sangat akrab di telinga saya.


"Itu Ettaku (panggilan saya dan dua kakakku ke BAPAKku)," gumanku dalam hati, seraya tanganku menopang badanku bangkit dari ranjang di kamar yang gelap gulita. TV di kamar saya masih hidup. Saat pulang subuh itu, saya sudah sangat mengantuk dan tak sempat lagi mematikan TV sebelum pulas. Tanpa mimpi.

Dari balik pintu rumah saya yang sederhana atau bahkan sangat sederhana malah, kudapati wajah BAPAK yang juga sangat sederhana. Gurat wajahnya yang sudah termakan usia semakin jelas. Kini ia sudah 60 tahun. Pagi itu baru saya kembali mencoba memperhatikan baik-baik wajah BAPAK. Dan ia benar-benar sudah tua. Dari caranya berbicara dan suara celutuk giginya, sangat jelas bahwa gigi palsu sudah tersusun di dalam mulutnya.

Tidak terlihat lagi gambaran tubuh yang kuat dan atletis dari bapak. Meski tak pernah melihat fisik BAPAK saat masih muda dulu, tapi cerita-cerita hidupnya di masa muda yang kerap ia sampaikan ke saya waktu masih di kampung dulu, termasuk saat ia menjebol gawang kiper terkenal dari Makassar, A Cong (saya lupa-lupa ingat A Cong, A Ceng atau A Hong, atau siapa yang mirip nama-nama itu) dengan tumitnya membuat saya berkesimpulan jika BAPAK, meski tubuhnya terbilang kecil (tingginya hanya se dagu saya) cukup bagus.

BAPAK kini kurus. Kulit badannya terlihat sudah sangat kentara bersama urat-uratnya. Rambutnya, kumisnya, sebagian sudah memutih.

BAPAK muncul di di depan saya dengan penampilannya yang sederhana. Tak ada yang berubah. Masih seperti penampilan BAPAK kala saya kecil dan masih merengek minta digendong saat bangun sebelum berangkat ke sekolah.

Saya jarang bertemu BAPAK. Semenjak bekerja menjadi wartawan di Harian Fajar, termasuk melalui pendidikan selama setahun di Majene, Polman (Sulbar), Sengkang, serta Luwu Utara 2004 silam dengan berpindah-pindah media, hampir seluruh waktu tercurah ke pekerjaan. Untung kalau dalam sebulan bisa ketemu sejam atau dua jam dengan BAPAK.

Termasuk malam sebelum BAPAK datang ke rumah saya di BTP, saya kembali harus "mengorbankan" BAPAK yang memanggil saya ke rumah salah satu family kami di Mandai. Akhirnya, BAPAK mengalah dan datang sendiri ke rumah saya. "Mamamu juga mau datang sebenarnya, tapi tiba-tiba dia sakit," kata BAPAK.

Setelah melangkah masuk ke dalam rumah BAPAK langsung duduk di lantai dan membaca koran Harian Fajar, termasuk berita yang saya tulis dari sore hingga malam dan membuat saya harus kehilangan waktu bertemu BAPAK malam itu. Saya sempat teringat cerita pengalaman lelaki bernama Pooh di koran kami juga soal permintaan seorang anak dimandikan bapaknya saat pagi sebelum ke kantor. Si bapak yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya tak menyadari jika permintaan anaknya tersebut adalah permintaan terakhir dalam hidupnya. Sebab saat sore, si anak meninggal dunia karena demam. Si bapak pun menyesal dan hanya bisa memandikan tubuh kaku anak tercintanya.
"Jangan-jangan itu permintaan terakhir BAPAK." Begitu yang berkecamuk di pikiran saya malam itu di kantor sambil bekerja. Syukur, pagi itu saya masih melihat bapak.

"Semalam saya tidak sempat nonton PSM. Banyak sekali orang. Bagaimana pemain Korea-nya," kata BAPAK setelah membaca beberapa berita. Saya pun memberi gambaran permainan pemain Korea yang memang sudah pernah saya lihat langsung aksi-aksinya.

"Tadi saya belum sempat minum kopi. Ada kopi kah," Kata BAPAK. Saya langsung berdiri, memasak air, dan segelas besar kopi pun siap.

Panjang lebar kami bercerita. Termasuk soal pekerjaan saya, status saya di kantor, hingga liputan-liputan saya. Sejak dulu, BAPAK kurang sreg dengan profesi saya. Namun karena dua kakak saya mendukung, saya akhirnya tetap bertahan dengan profesi ini dan kini sudah enam tahun berlalu.

Setelah menghabiskan kopinya, BAPAK yang terbiasa sarapan pagi, dan hari itu perutnya baru terisi pisang goreng lalu meminta saya mencari makan. Katanya setelah makan, dia juga mau ke Sentral (BAPAK terbiasa menyebut Makassar Mal dengan Sentral) untuk membeli baju.
Saya tawarkan ke BAPAK bagaimana kalau sekalian saja ke luar. Cari makan dulu baru langsung mencari baju kaos berkerah dan berkantong depan. Saya juga bilang tidak perlu ke Sentral. Sebab di Tamalanrea sudah ada mal, dan toko pakaian dengan kualitas bagus sudah berjejer di sisi jalan. Bapak ternyata setuju, meski alasan saya yang sebenarnya Sentral itu jauh dan saat itu mulai panas karena sudah sekira pukul 10.00 wita.

"BAPAK mau makan apa. Ayam atau ikan?" tanyaku dan dijawab BAPAK, ikan.

Sambil meluncurkan motor ke luar kompleks BTP, saya mencoba mengingat-ingat tempat makan yang enak. Sampai ke luar Jl Perintis Kemerdekaan, tak satupun warung makan yang membuat saya tertarik untuk mengerem lanju motor. Di Jl Perintis Kemerdekaan, sambil mata melirik kiri kanan mencari warung makan, saya sempatkan bercerita ke BAPAK soal demonstrasi yang berakhir bentrok antara mahasiswa dan aparat kepolisian. Termasuk juga aksi mahasiswa membakar ban dan merusak fasilitas umum. Ke BAPAK saya katakan bahwa saat mahasiswa berdemo, ke kota itu biasa ditempuh hingga dua jam karena jalanan macet dan bahkan tertutup. Saya juga menunjukkan beberapa bekas pembakaran ban yang menyisakan arang berwarna hitam dan kawat-kawat ban yang juga sudah hangus menghitam.

BAPAK yang duduk di belakang hanya manggut-manggut. "Susah sekali kalau begitu," katanya singkat menanggapi sulitnya akses jalan di kota saat demo berlangsung.

Setelah berjalan menyusuri Jl Perintis Kemerdekaan, kami pun singgah di warung makan Sop Saudara Hj Ani yang berada tak jauh dari kampus STMIK Dipanegara. Saat itu, baru ada dua pengunjung sebelum kami. Ikan-ikan yang dibakar terlihat masih sangat segar. Saya pun menawarkan ke BAPAK untuk memilih ikan yang ia suka. Ada beberapa jenis ikan, termasuk bandeng dan Cepa (saya tidak tahu bahasa Indonesia-nya apa). Melihat ukuran ikan yang besar-besar, lebih besar dari telapak tangan orang dewasa, BAPAK pun berbisik ke saya agar memesan satu saja. Mungkin dia ingat rumah, dimana ikan sebesar itu biasanya kami makan berempat atau berlima.
Tapi saya memutuskan lain. Saya langsung pesan dua ekor. Satu Cepa dan satunya lagu, saya tidak tahu namanya apa. Yang pasti warnanya merah dan dibakar dengan bumbu di tengahnya. BAPAK sempat protes sebelum mengalah dan mengambil tempat duduk di bagian depan warung.

Tak lama, yang kami pesan muncul satu-satu. Termasuk sop dan sayur bening. "Di Mandai makanan mahal. Yang begini Rp 20 ribu satu porsi. Padahal kalau di Barru, cuma Rp 10 ribu," kata BAPAK yang makan lahap sekali. Saya begitu bahagia melihat BAPAK makan lahap. Maklum seingat saya, dalam usia 31 tahun dan setelah enam tahun lebih bekerja dan berpenghasilan, inilah kali pertama saya mentraktir BAPAK.

BAPAK bukan orang yang kampungan. Saya katakan begitu, karena Makassar bagi BAPAK bukan kota yang asing. Itu bukan pertama kali ia datangi. Malah, ia cukup sering ke Makassar. Hanya memang, ia tak pernah makan di warung atau di tempat mewah. Biasanya kalau ke Makassar, kalau tidak ke rumah family yang jumlahnya puluhan, BAPAK ke rumah sakit atau ke tempat praktik dokter. Jadinnya, BAPAK mungkin tak mengenal yang namanya wastafel. Makanya saat selesai makan dan ingin cuci tangan, BAPAK yang saya tunjukkan tempat cuci tangan malah ke meteran air PDAM dan memutarnya sebelumnya pelayan warung mengarahkannya ke wastafel.

"Kasihan BAPAK, cuci tangan saja tidak tahu," kata saya dalam hati seraya berdiri menunjukkan sabun pembersih tangan yang tergantung di atas wastafel. Saya yakin BAPAK juga tidak tahu itu.

Setelah merokok sebatang, saya langsung menuju kasir dan diikuti BAPAK. Merogoh selembar uang seratus ribu, saya langsung serahkan ke kasir dan mendapat kembalian Rp 32 ribu. Artinya harga makanan yang kami makan berdua, Rp 68 ribu.

"Kenapa mahal sekali. Makanya saya bilang tadi pesan satu ekor saja," kata BAPAK memprotes.
Saya hanya tersenyum. Dalam hati saya berpikir BAPAK memang tidak tahu kehidupan kota. Apa-apa semua mahal. Tidak seperti di desa, termasuk kampung saya di Barru yang untuk seporsi yang kami makan tadi mungkin hanya Rp 10 ribu.

Sambil terus mendengar protes BAPAK, saya stater motor dan kembali menyusuri Jl Perintis Kemerdekaan yang di kiri kanannya telah disesaki rumah toko. Dari warung Hj Ani, sekira 1 km, kami berbelok masuk ke M'Tos (Makassar Town Square) di dekat Jembatan Tello. Setelah mengambil karcis parkir, kami pun meluncur masuk ke bawah mal yang juga dijadikan tempat parkir.

"Yang punya motor ini semua datang belanja?" tanya BAPAK ke saya setelah melihat ratusan motor di bawah gedung besar berlantai tiga itu berjejer rapi.
Saya hanya tersenyum.

Di dalam mal, kami langsung ke tempat penitipan barang dan menitip jaket yang dikenakan BAPAK. Sebelum BAPAK bertanya kenapa jaket harus dititip, saya memang sudah menjelaskan bahwa begitulah aturan mal. Dan BAPAK menurut saja.

Karena tujuan kami untuk mencari pakaian, saya pun bersama BAPAK langsung menuju lift untuk naik ke lantai II M'Tos. Saya sempat berhenti di depan lift menunggu BAPAK. Meski BAPAK memberi tanda dengan tangannya agar saya terus saja naik lift, namun karena khawatir BAPAK terjatuh di lift, saya tetap berdiri di ujung lift. Melihat saya mengangkat satu kaki menginjak tangga lift, BAPAK juga melakukan hal sama. Ia terlihat sempat ragu dan badannya sempat bergerak, oleng sebelum berpegangan di pengaman lift.

"Lama sekali baru saya naik lift. Pertama hanya di Jakarta," kata BAPAK ke saya di lift yang terus bergerak naik. Mendengar kata Jakarta, saya teringat bahwa itu sepertinya sudah sekira 16 tahun lalu. Saat BAPAK ke Jakarta dengan kapal laut, seingat saya itu waktu saya masih SMP. Pulang dari Jakarta ketika itu, BAPAK bercerita panjang lebar soal Jakarta. Ancol lah. Monas lah. Foto-fotonya juga sepertinya masih tersimpan di rumah. Saat itu, BAPAK mengunjungi saudaranya di Jakarta yang juga anggota TNI AU.

Lolos dari lift, saya dan BAPAK mulai ke tempat baju-baju yang tergantung. "Saya mau cari baju murah harga Rp 50 ribu-an dan dingin dipakai. Juga harus ada kantong depannya. Saya punya baju yang saya beli di Sentral, enak sekali dipakai harganya juga murah," kata BAPAK sambil melihat beberapa baju. Sesekali ia terlihat menggeleng. Tak jelas apa maksudnya. Saya hanya mereka-reka bahwa BAPAK kemungkinan tidak menemukan baju yang ia suka dan sesuai seleranya.

Ada satu dua baju yang BAPAK sepertinya suka. Tapi kami belum putuskan membelinya. Saya hanya menandai tempatnya lalu membawa BAPAK ke deretan pakaian lainnya. Akhirnya BAPAK menemukan dua lembar baju yang menurutnya bagus dan dingin saat memakaianya karena kainnya cukup tipis dan halus.
"Ini saja," kata BAPAK. Saya langsung menyodorkannya ke pegawai mal untuk dibuatkan nota. Saat itu saya yakin BAPAK tidak memperhatikan harga selembarnya. Bahkan bapak tidak sempat mencobanya.

Setelah menerima nota, saya bersama BAPAK ke kasir. Sebelumnya, kami juga sempat mencari selembar baju anak-anak untuk kemenakan saya di Barru. Namanya, Eki. Umurnya lima tahun dan sudah sangat nakal kata BAPAK. Baru-baru ini ia mendapat adik setelah ibunya melahirkan. Makanya, setiap orang yang naik ke rumah kami, ditahan di pintu. "Katanya takut jangan sampai adiknya diambil," ujar BAPAK menceritakan ulah lucu anak kakak saya yang tertua itu.

Baju yang saya rasa cocok untuk Eki pun saya dapat, setelah itu ke kasir. Saya sengaja meminta BAPAK menunggu agak jauh dari kasir. Sebab saya yakin, BAPAK pasti kaget lagi melihat saya membayar baju yang dia pilih. Saya takut BAPAK memprotes dan baju itu batal kami beli. Melihat saya mengeluarkan lembaran-lembaran uang seratus ribu empat lembar, dan lima puluh ribu selembar, BAPAK langsung mendekat. Tapi belum sempat bicara, saya sudah menyambar belanjaan kami dan mengajak BAPAK turun ke lantai I dan pulang.

Tapi ternyata BAPAK sepertinya tak puas. "Astaga. Mahal begitu kah? Saya kira tadi hanya Rp 100 ribu. Saya itu nak baju Rp 50 ribuji. Yang penting ada kantong depannya dan dingin," BAPAK memprotes dan membandingkan harga baju yang selalu ia beli di Sentral.

"Ettamu (panggilan kami ke ibu saya) pasti marah kalau tahu kau belikan saya baju seharga ini," sambungnya.
Saya mencoba mencari alasan lain. "Nanti kalau Ettaku bertanya bilang saja murah. Cabut harganya," kata saya. "Masak saya bohong ke Ettamu." BAPAK kembali memprotes. BAPAK memang selalu mengajarkan kami untuk jujur. Itu nasihat BAPAK sejak kecil ke kami, anak-anaknya yang bandel-bandel.

Dalam hati saya mengatakan ini sama sekali tidak ada artinya. Tidak ada nilainya dibandingkan pengorbanan BAPAK bersama IBU dari kecil, membiayai kami sekolah, kuliah, hingga seperti sekarang, saya berpenghasilan sendiri dan dua kakak saya juga sudah PNS dan berkeluarga.

Tapi sebagai orangtua, BAPAK tak pernah menghitung itu. Bahkan sejak saya bekerja, seingat saya, tak sekalipun BAPAK meminta uang ke saya biarpun itu hanya sekadar bercanda.

"BAPAK kan sering ke pesta atau sering ada acara di Barru, kan malu kalau pakaiannya itu-itu saja. Tidak apa-apa kalau sekali-kali beli baju yang agak mahal. Apalagi ini juga tidak semahal baju yang saya belikan waktu lebaran tiga tahun lalu. Baju yang biru itu harganya Rp 300 ribu lebih." Saya mencoba membuat BAPAK mengerti meski ia juga akhirnya memprotes karena ia baru tahu kalau baju hadiah lebaran yang saya belikan tiga tahun lalu itu ternyata juga katanya mahal bagi dia.

"Lain kali nak, yang murah saja kalau kau belikan saya baju," ujar BAPAK mulai mengalah. Ia pun mulai mengungkapkan kebahagiaannya hari itu. Kebahagiaannya mendapat dua lembar baju "mahal" meski ia sadar protes IBU telah menantinya di rumah.

Keluar dari mal, kami langsung kembali ke BTP. Setelah tidur sejenak BAPAK meminta saya mengantarnya ke terminal Daya untuk pulang ke Barru.

"Kalau Ettamu sehat dan ada waktu, nanti kami naik bermalam ke rumahmu," kata BAPAK sebelum naik ke mobil dan saya memutar motor menuju ke kantor.

Pengalaman hari itu sangat membahagiakan saya. Paling tidak, hari itu saya bisa memberikan sesuatu ke BAPAK meski ia sepertinya kurang puas karena menurutnya harganya mahal. Saya semakin yakin dengan kesederhanaan BAPAK. Tapi di situlah kelebihan BAPAK dan IBU. Mereka bisa membesarkan kami dalam kesederhanaan tanpa harus malu untuk berpakaian sederhana. Padahal saya yakin, sebagai pegawai negeri yang pensiun di golongan IV B, BAPAK cukup materi untuk menikmati hidup yang tidak sesederhana itu. Lain kali, kalau BAPAK atau IBU ke kota lagi, saya janji untuk membahagiakan kalian meski hanya setengah hari saja. (*)