Jumat, 08 Januari 2010

Bombana, Lumbung Emas yang Terkoyak

HUJAN menyambut kedatangan kami di Desa Watu-watu, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara,

Minggu 20 Desember lalu. Kami tiba di desa berjarak 300 km dari kota Kendari itu setelah melalui

perjalanan darat melelahkan.
Saya menyebutnya melelahkan karena perjalanan kami dari Kendari terasa sangat lama dan sedikit

menjengkelkan. Mulai dari jalanannya yang berkelok dan sempit, hingga lubang-lubang menganga berisi air

di perjalanan yang terkadang membuat sakit pantat dan kepala akibat terantuk di besi-besi mobil.

Beruntung, mata sedikit mau bersahabat sehingga beberapa menit dari sekira enam jam perjalanan dari

Kolaka ke Bombana, dia terpejam.


Kembali ke soal Desa Watuwatu dan melupakan sejenak pengalaman di jalan yang melelahkan.

Saat memasuki wilayah ini, dari kejauhan suara-suara mesin sudah terdengar nyaring. Bersahut-sahutan.

Suara itu bukan dari mesin pabrik raksasa melainkan dari mesin pompa air milik beberapa kelompok warga.

Siang itu, seperti hari-hari sebelumnya, kelompok warga itu sedang melakukan aktivitas penambangan

emas.

Di bawah siraman hujan dan dingin yang menusuk, beberapa di antara warga terlihat berlumur lumpur.

Pakaian mereka tak lagi berbentuk. Wajahnya juga nyaris tak bisa dikenali. Namun tak ada yang

bergeming. Di sela deru mesin, para pekerja emas yang menggunakan mesin pengisap beserta perangkat

pipa penyemprot air dan penyedot pasir, plus penampungan yang mereka sebut kasbok terus bekerja. Mereka membagi tugas. Sebagian mencangkul. Ada juga yang berjaga di kasbok yang dipasangi karpet untuk menampung butiran emas yang bercampur pasir.


Di bagian lain di Desa Watu-watu Kecamatan Lantari Jaya, enam pria yang juga diguyur hujan terlihat

sedang sibuk menggali tanah. Saat itu, mereka sudah membuat kubangan raksasa berdiameter tak kurang

dari 20 meter. Di dalam lubang sedalam 20 meter itu, bekas-bekas pohon masih terlihat. Sementara di sisi

kubangan, terlihat beberapa batang pohon dengan daun hijau terlihat mulai miring. Nyaris tumbang

karena tanah tumbuhnya sudah mulai terkikis. Demi butiran emas, kelompok warga asal Jawa itu sama

sekali tak memperdulikan bahaya yang mengancam jika tiba-tiba terjadi longsor. Apalagi saat itu sedang

hujan.


Dengan mengendarai dua mobil dari Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, kami, wartawan yang ikut

dalam jurnalis trip yang dilaksanakan WWF-- sebuah organisasi konservasi global yang konsen pada

pemulihan lingkungan-juga sempat mendapati empat penambang di sebuah kali mati. Kami menyebutnya

kali mati, sebab alurnya sudah tidak jelas. Yang ada di kali itu hanya gundukan tanah dan lubang

berdiameter kira-kira satu meter.

"Ini baru dapat 1 kaca. Kalau beruntung, seratus kali dulangan baru dapat 1 gram. Kita terpaksa menyingkir

ke sini karena yang di SP dalam sudah dikuasai penambang bermesin. Di sini, 1 kaca baru bisa didapat

setelah menggali 10 lubang," keluh Rudi, warga Sulsel yang mengaku dari Barru. Ia terlihat menggigil saat

memperlihatkan butiran emas di wajannya. Kaki dan tangannya terlihat pucat setelah berendam seharian.


Setelah melanjutkan perjalanan sekira setengah jam, termasuk harus berjuang di kubangan lumpur untuk

menarik satu mobil tumpangan kami yang terjebak, kami tiba di Desa Tahi Ite, Kecamatan Rarowatu. Di

sini, puluhan atau bahkan ratusan tenda pendulang terlihat berdiri. Mayoritas tenda berwarna biru.

Didirikan menggunakan bambu layaknya anak pramuka. Karena banyaknya tenda, lokasi yang berada

di sisi perbukitan itu nyaris seperti sebuah perkampungan. Apalagi karena di tempat itu ada

toko-toko dadakan, bengkel, serta warung makan dan kafe. Konon kata sopir Taman Nasional yang

mengantar kami, di kafe ada transaksi seks juga bagi penambang. Short time.


"Kalau mau main (transaksi seks) penambang biasa pakai emas hasil dulangannya. Jadi kalau menawar,

istilah yang digunakan juga istilah dulang. Misalnya, berapa kaca nih emba. Malah katanya si perempuan

itu sampai menyiapkan timbangan di dekatnya," kata sopir tersebut yang kami sambut dengan tawa. Masa

sih?


Seperti itulah gambaran sejumlah wilayah di Bombana. Kabupaten yang memiliki wilayah daratan seluas

284.536 hektare dengan perairan laut seluas 11.837,31 kilometer persegi itu kini terkoyak.

Penambangan emas yang tak terkendali sudah merusak ekosistem lingkungan. Sejak penambangan

dimulai 2008 silam, ribuan lubang menganga bertebaran di tiga kecamatan, yakni Lantari Jaya,

Rarowatu Utara, serta Rarowatu.

Kubangan-kubangan itu peninggalan sekira 100 ribu penambang yang sempat datang di Bombana sejak

berita penemuan emas menyebar ke seantero Indonesia. Ada dari Kalimantan, Papua, Sulawesi

Selatan, hingga Manado. Mereka menambang emas di Satuan Pemukiman (SP) yang merupakan daerah

transmigrasi.


Dengan begitu dahsyatnya penambangan, termasuk saat 30 Kuasa Penambangan (KP) masuk hingga

Desember ini, apakah warga Bombana sudah mendapatkan hasil? Jawabannya, ternyata tidak.

Jawaban itu ditegaskan Sekretaris Desa Lantari, Nurman saat rombongan kami menemuinya di

rumahnya hari itu.

"Bombana ini hanya menang chasing saja. Katanya banyak emas, tapi warga tak menikmatinya. Kalaupun

ada, kita harus bertarung nyawa di dalam lubang tikus. Itu juga harus membayar untuk menambang di

pemilik lahan yang kini saling klaim," kata pria berusia 30-an tahun ini.


Malah, kata dia, kini penderitaan harus ditanggung warga, khususnya petani. Sebab setelah penambangan

berlangsung, sawah-sawah kekeringan. Warga tak bisa bertani. Itu lantaran aliran air ke bendungan

Langkowala yang menyuplai air ke sawah warga terhalang. Akibatnya, bendungan kering. Warga pun

akhirnya terpaksa membeli beras dengan harga mahal karena tak lagi menghasilkan.



Pemiskinan warga akibat tambang emas Bombana ini sudah mulai terlihat. Mereka tak bisa kerja yang lain

selain menambang. Namun dari seluruh warga Lantari, tak satupun yang menjadi kaya karena emas.

"Mudah-mudahan saja tidak terjadi banjir besar karena pohon sudah habis bertumbangan," ujarnya lirih.


Kekeringan dan rusaknya aliran sungai ke bendungan Langkowala yang membuat warga tak menanam padi

selama dua tahun tentu sangat mengkhawatirkan.

Pasalnya, Bombana selama ini dikenal sebagai lumbung beras Sultra. Dan wilayah di sekitar area

tambang yang tak lagi bisa memproduksi padi itu hampir merupakan pemilik separuh lahan pertanian di

Bombana.

"Bombana itu sentra beras di Sultra. Mereka menyuplai kabupaten lain. Namun sekarang berdasarkan data

yang kami terima dari Dinas Pertanian Bombana, hingga November hanya 5.779 ha sawah yang dibajak.

Jika 2008 silam ada 10.782 ha sawah untuk padi dibajak, berarti tahun ini hilang separuh. Jadi bisa

dibayangkan berapa banyak produksi akan turun. Saya tak perlu menyebutnya, silakan kalkulasi sederhana

saja. Dan itu setelah ada tambang emas," kata staf seksi perencanaan, evaluasi dan pelaporan Dinas

Pertanian Pemprov Sultra, Marwan Akbar M di sela-sela diskusi di kampus Universitas Haluleo, Selasa, 22

Desember lalu.


Tak hanya mengancam ketahanan pangan Sultra akibat penambangan yang sudah tak terkendali,

ancaman penyakit juga muncul. Hasil penelitian pada uji laboratorium yang dilakukan FPIK Unhalu pada 26

Oktober sampai 2 November 2009, ditemukan kandungan merkuri yang cukup tinggi hingga 0,09

mg/liter, melebihi ambang batas normal yakni 0,003 mg/liter untuk biota dan 0,002 miligram/liter untuk

keperluan sehari hari seperti air minum, ini sesuai yang ditetapkan bakumutu MKLH.


Penambangan di Bombana juga menjadi ancaman bagi Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW).

Menurut Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah 2, Ardiansyah, terjadi kerusakan kawasan

akibat penambangan terbuka. "Hewan di wilayah Taman seperti Rusa, Anoa, Musang Sulawesi, serta

Tarsius sudah jarang terlihat. Padahal dulu di savana, kita masih sering lihat rusa," keluhnya.


Tak hanya itu, penambangan di Bombana juga merusak sendi-sendi sosial dan memunculkan konflik

sosial. Ini lantaran klaim lahan bermunculan. Dalam penelusuran kami, lahan bekas milik PT Barito Pasific

(milik Tommy Winata) yang sempat menjadi kawasan HPH yang ditanami sejumlah pohon penghijauan juga

sudah dikapling-kapling. Ada lahan yang diklaim camat hingga kepala desa. Klaim lahan atas nama

warga milik kerajaan Moronene di Kecamatan Wumbubangga. Jika awalnya 34 rumpun keluarga

mengaku menguasai areal ini, setelah adanya lahan tambang emas ada 400-an warga yang juga ikut

mengklaim.

Akibatnya, izin KP yang dikeluarkan pemerintah Bombana ada yang tumpang tindih.

Dalam hal peningkatan ekonomi dan pendapatan daerah tambang emas juga tak bisa diandalkan. Malah

warga terbebani dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok hingga dua kali lipat. Sekretaris

Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bombana Hernawaty kepada wartawan mengatakan, pendapatan

asli daerah ( PAD) yang berasal dari sektor pertambangan hingga September 2009 baru mencapai

1,5 % atau Rp 923 juta, dari Rp 62 miliar yang ditargetkan. Khusus hasil tambang emas baru

mencapai Rp 522 juta.


Angka ini tentu mengherankan sebab kalkulasi pihak dewan, seharusnya PAD dari emas bisa mencapai Rp

65 M. Abadi makmur politisi Partai Serikat Indonesia di rumahnya mengatakan prediksi mereka PAD

meningkat ratusan miliar setelah adanya tambang emas. "Ada 80-an ribu penambang yang masuk ke

Bombana. Dengan asumsi penambang lokal membayar Rp 300 ribu untuk uang masuk atau izin per enam

bulan plus beban retribusi Rp 100 ribu perbulan dan juga warga luar untuk izin Rp 500 ribu dan iuran Rp

300 ribu, itu ratusan miliar. Tapi meski target kita hanya Rp 65 miliar yang didapat per Oktober ternyata

hanya Rp 800 juta," katanya.


Kadis Pertambangan Bombana, Ir Cecep sendiri menyebut ada Rp 7 miliar hasil yang didapatkan dari

tambang emas. Hanya saja, menurut dia, sebagian besar uang itu habis untuk pengawasan. Ia juga

menegaskan proses penerbitan izin sudah sesuai ketentuan yang berlaku.


Minimnya PAD dari tambang pun memunculkan protes dari kalangan dewan. Ketua DPRD Bombana Andhy

Ardian mengatakan ini sudah pembodohan. "Yang untung siapa. Padahal di Bombana katanya ada

deposit emas 150 ribu ton. Ini harus dikawal," tegas Andhy.

Ia menambahkan juga ada pelanggaran tata ruang. Lahan tambang emas ini seluruhnya merupakan area

agrobisnis dan peternakan. Namun menurut informasi dalam waktu dekat memang ada rencana revisi tata

ruang di Sultra, termasuk di wilayah tambang dan wilayah taman nasional.


Apa yang dilakukan DPRD Bombana mendapat dukungan DPRD Provinsi. Menurut Ketua Tim kasus

Bombana, Muhammad Endang, ada beberapa hal yang mereka temukan saat turun ke Bombana beberapa

waktu lalu. Pertama proses perizinan yang tidak sesuai mekanisme. Tidak taat azas. Idealnya HPT dan HP harus ada izin dari menteri kehutanan. Di Bombana tidak ada itu lalu keluar izin KP.

Juga kata dia ada konflik lahan termasuk melibatkan masyarakat adat.

Ada juga penggunaan bahan berbahaya. Merkuri. Selain penelitian Unhalu distamben provinsi juga

mengatakan ada penggunaan melebihi ambang batas.


"Hutan juga dirambah di sana. Kami memiliki rekaman videonya. Perambahan hutan produksi ini melanggar

hukum,” katanya.


Malah DPRD Sultra agak lebih keras menyikapi ini. Mereka mengusulkan juga dilakukan audit investigasi.

Baik lingkungan maupun administrasi keuangan terhadap proses tambang di sana.


Sementara itu, terkait pengrusakan lingkungan Walhi Sultra juga angkat bicara. Ahmad Jain dari Walhi

mengatakan ancaman di Bombana sudah semakin menggurita efeknya. Baik untuk pertanian maupun

ancaman dari penggunaan merkuri. "Kita secara kelembagaan minta dihentikan lalu dilakukan audit

lingkungan," katanya.


Soal kerusakan lingkungan, mantan Kepala Badan Lingkungan Hidup Bombana, La Ode M Rusdin

mengatakan mereka sudah berusaha menekan sejak awal. Ia yang bertugas sejak penemuan emas dan

penambangan dilakukan mengatakan kendala lainnya juga karena faktor dana. Tidak ada dana yang mereka

miliki. Rusdin sendiri saat kami tiba di Bombana sudah dimutasi ke dinas pertanian sebagai KTU.


Bupati Bombana, Atikurahman dalam perjalanan kami ke Bombana tak pernah bisa ditemui. Dihubungi di

kantornya, stafnya mengatakan ia keluar. Terakhir staf kantor bupati mengatakan ia ke Kendari. Dihubungi

melalui telepon selulernya, juga tak bisa tersambung. Fajar hanya sempat wawancara dengan Sekda

Bombana, Rustam Supendi. Hanya ia tak ingin berkomentar banyak. Meski demikian, Bupati sempat

wawancara dengan rombongan wartawan yang tergabung dalam Journalis Trip yang difasilitasi WWF

pada Oktober dan November 2009 lalu. Saat itu ia menegaskan bahwa pertambangan sebenarnya bukan

andalan utama mereka. Pertanian masih tetap menjadi sektor andalan. Tapi mungkinkah itu terealisasi

setelah lingkungan Bombana terkoyak dan petani tak lagi turun ke sawah?


Merkuri Mengancam Warga


PENEMUAN kandungan merkuri yang melampaui ambang batas menjadi salah satu ancaman serius dan

kekhawatiran masyarakat di Bombana. Ini tentu tak lepas dari pengalaman pahit pada kasus minamata di

Teluk Buyat Manado Sulut beberapa waktu lalu.


Dosen FPIK Unhalu Emiarti.S.Pi.M.Si yang terlibat langsung dalam penelitian tersebut, mengatakan, berdasarkan hasil penelitian menunjukan kenaikan 100 kali atau sudah masuk kategori yang sangat berat. Itu sesuai uji lab sampel air yang diambil di sungai Langkowala, kali Langkowala, sungai Wumbubangka, serta bendungan Langkowala. Keanekaragaman plankton juga sudah berkurang kata dia. Yang banyak hanya mikroalga. “Itu menjadi penguat bahwa telah terjadi pencemaran ,” ujarnya saat berbicara di hadapan anggota DPRD Sultra, Selasa, 22 Desember.


Kepala Sub Bagian Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Bombana Radjman sempat membantah hasil temuan tersebut. Menurut dia, pihaknya baru saja dua pekan sebelumnya menurunkan staf mengambil sample

untuk diteliti pada lokasi PT. Panca Logam, dan pihaknya tidak menemukan kandungan merkuri.


Dekan FPIK Prof.Dr.Ir. La Ode Muhammad Aslan saat hearing di DPRD Sultra juga mengatakan

keprihatinannya. Menurutnya, merkuri sangat berbahaya bagi kehidupan. Karena bisa mengakibatkan berbagai penyakit seperti kanker darah dan penyakit ini akan berlangsung sampai beberapa generasi turunan.

Soal dampak merkuri ini sendiri juga mulai muncul.

Kepala Puskesmas Lomba Kasih Kecamatan Lantari Jaya, Andi Ardian kepada wartawan sebelumnya

mengatakan setelah ada penambangan, banyak warga mengalami gatal-gatal, terkena penyakit kulit, serta

diare. Namun, kata dia, dirinya belum bisa memastikan apakah itu sudah efek merkuri.


Petaka akibat penambangan tak terkendali di Bombana memang telah terjadi. Selain ancaman

ketahanan pangan dan gangguan kesehatan akibat merkuri yang dijual bebas di Bombana dan digunakan

para penambang untuk memisahkan butiran emas dari tanah hal lain sudah terjadi di sana. Seratusan warga

sejak 2008 silam meninggal di area tambang. Ada yang tertimbun galian, dirampok, hingga terserang

penyakit.


Ketua DPRD Bombana, Andhy Ardian di ruang kerjanya, Senin, 21 Desember mengatakan sudah 23

warga yang tertimbun dan sakit meninggal dunia. Itu kata dia berdasarkan data yang dilaporkan dinas

kesehatan. "Itu di luar warga yang meninggal dirampok," katanya.


Ketua Tim dari DPRD Muhammad Endang yang khusus menangani masalah Bombana mengatakan, data yang ia terima dari kepolisian, sudah 100 orang diproses pidana di area pertambangan. Banyaknya kasus yang terjadi di area pertambangan ini juga dibenarkan Kapolres Bombana, AKBP Ian Sultra. Namun ia

mengatakan tak sampai 100 orang. "Semua sudah di Lapas. Tapi tidak seratus. Kasusnya ada senjata tajam,

serta perampokan. Perampokan tiga dari enam kasus terungkap. Orang luar Bombana, baik pelaku maupun

korban. Kalau pembunuhan akibat sengketa lahan tidak ada. Ini kasus antara pendulang liar. Tapi ada

juga kasus yang tidak dilaporkan. Polisi sendiri hanya amankan KP. Tapi kita tetap patroli. Lahan di dalam

rata-rata milik KP. Kalau diminta, kita jaga,” kata Ian.


Dewan Merasa Diabaikan


NASI sudah menjadi bubur. Pameo ini pas dilekatkan pada kondisi Bombana saat ini. Emas di perut bumi

Bombana sudah ditambang secara tidak terkendali. Persoalannya kemudian, siapa yang harus disalahkan?

Kemunculan 30 Kuasa Pertambangan (KP) di Bombana pasca penemuan biji emas pun memunculkan

pertanyaan besar. Siapa yang diuntungkan dan apakah itu tidak melanggar?

Tak hanya masyarakat awam, pihak dewan pun bertanya-tanya dalam hati. Apalagi, sejak awal, mereka

tidak pernah dilibatkan dalam persoalan ini. "Keluarnya kebijakan izin ke KP sama sekali tak melibatkan DPRD Bombana. Kita diabaikan. Itu sepihak saja. Ini perlu ditinjau ulang," kata politisi Gerindra, La

Ode Usman di gedung DPRD Bombana, Senin, 21 Desember.


Ia menyesalkan tidak adanya koordinasi dari pihak eksekutif. Ia juga menilai pengeluaran izin itu sifatnya

serampangan. "Bisa double-double klaim lahan oleh KP kalau begini. Makanya kita mau cari tahu dan bertanya soal lahan, dampak, serta sistem pengelolaannya," kata ketua Fraksi Demokrat Indonesia ini.


Wajar jika dewan merasa gerah diabaikan. Pasalnya, persoalan yang muncul akhirnya mengarah ke mereka

selaku wakil rakyat. Mereka menjadi bulan-bulanan aspirasi warga. Politisi Partai Serikat Indonesia, Abadi Makmur juga mengkritisi tidak dilibatkannya dewan dalam persoalan ini. "Perusahaan yang masuk untuk

eksplorasi dan eksploitasi sama sekali kita tidak tahu.

Kita hanya menerima tembusan. Prosesnya tidak tahu seperti apa. Aneh juga sebenarnya sebab dulu saat PT

Bili Indonesia masuk mengelola di Pulau Kabaena, kita dilibatkan. DPRD bahkan ikut menandatangani MoU," katanya dengan nada bertanya.


Informasi lainnya yang dihimpun di lapangan dan sempat terungkap saat hearing di DPRD Sultra Selasa,

22 Desember mengatakan, bahwa tidak ada izin pinjam pakai dari menteri kehutanan terkait hal ini. Di

lain sisi, sudah dilakukan kegiatan eksplorasi bahkan eksploitasi dengan sistem tambang terbuka.


Kadis Pertambangan Bombana, Ir Cecep saat ditanya soal hal ini menegaskan langkah pemerintah Bombana

sudah tepat. Ia mengakui memang tidak ada koordinasi dengan dewan terkait pengelolaan emas di

sana.

"Proses izin sudah sesuai kepmen. Di situ tidak ada yang menyatakan harus melibatkan dewan. Hanya

tembusan saja," katanya saat disinggung soal izin KP. Ia juga mengakui bahwa sudah ada 30 perusahaan yang masuk di Bombana.

Desakan Moratorium Menguat


PERSOALAN tambang emas di Bombana mendapat perhatian banyak pihak. Kerusakan yang ditimbulkan

dan tidak jelasnya proses pengeluaran izin dan dampak lainnya mendorong sejumlah kalangan untuk

kemudian menyuarakan dan mendesak dilakukannya moratorium atau penghentian sementara

penambangan.

Ketua DPRD Bombana, Andhy Ardian SH didampingi anggota DPRD, La Ode Usman mengatakan setelah

dilakukan pelantikan pimpinan dewan, mereka akan segera membentuk pansus. "Nantinya kita harapkan

akan lahir putusan moratorium. Praktik penambangan harus dihentikan sementara waktu untuk kemudian

diatur dan ditata ulang. Harus dibuat rambu-rambu yang jelas. Perusahaan yang tak memenuhi syarat

tidak bisa dilibatkan dalam eksploitasi," katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin, 21 Desember.

Menurutnya, dewan tidak anti-investor. Namun untuk menyelamatkan Bombana, harus ada ketegasan. "Kita

bersyukur bahwa mayoritas anggota dewan sepakat. Sekira 80 persen yang sepakat. DPRD provinsi juga

memberikan dukungan," katanya.

"Kita juga terus berupaya menggalang dukungan. Kita sudah menghubungi LIRA, dan Mabes Polri. Menurut

mereka jangan takut," bebernya.

Anggota DPRD dari Partai Serikat Indonesia Abadi Makmur yang ditemui di rumahnya yang tak jauh dari

kantor bupati mengatakan hal sama. "Kita akan kaji. Kalau keuntungan besar dan tidak merusak lingkungan, kita setuju saja. Tapi kalau banyak masalah pasti tidak bisa ditawar, harus moratorium. Kita mau mengkaji berapa besar manfaat. Saya pribadi perlu ada evaluasi menyeluruh. Dan ini memang sudah pernah menjadi putusan dewan," katanya.

Yayasan Pengembangan Studi Hukum dan Kebijakan (YPSHK) Green Network yang terdiri atas LSM, media, perguruan tinggi, dan sejumlah instansi terkait juga sudah menjadikan moratorium sebagai salah satu

rekomendasi mereka ke DPRD Sultra.

Menurut Dekan Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Haluleo, Prof Dr La Ode Mohamad Aslan

MSc saat hearing di DPRD Sultra, Selasa, 22 Desember, aktivitas pertambangan di Bombana terbukti tidak

terkendali dan tidak mengikuti prosedur regulasi yang mengakibatkan terancamnya sektor lain yang sudah

ada dan sudah berkontribusi nyata seperti pertanian, perikanan dan kehutanan. Belum lagi dampak lainnya

seperti sosial dan lingkungan yang menimbulkan pencemaran dan mengancam terjadinya bencana alam.

Ketua DPRD Sultra, Sutan Harahap saat hearing mendukung moratorium. "Ini sisa menunggu political

action. Dan kita mendukung itu," katanya seraya mengatakan bahwa sejak awal DPRD Sultra memang

sudah membentuk tim khusus.

Ketua Tim dari DPRD Sultra Muhammad Endang mengatakan, hasil kunjungan mereka menemukan

fakta terkait adanya sejumlah kejanggalan dan terjadinya pengrusakan lingkungan. Makanya mereka

memutuskan untuk mengusulkan moratorium. "Kita putuskan mengusulkan moratorium. Kami tidak

anti-tambang. Kita berhenti sementara lalu ditata ulang," katanya.

Bupati Bombana sendiri dalam wawancara dengan wartawan yang tergabung dalam Journalis Trip yang

difasilitasi WWF --sebuah lembaga yang mendorong media dalam hal isu lingkungan -- pada Oktober dan

November 2009 lalu menegaskan hingga kini, baru dua perusahaan yang mendapatkan izin eksploitasi

emas di Bombana. Perusahaan lainnya baru dalam tahap eksplorasi. "Jadi perusahaan yang lain itu juga

sudah ada izin tapi belum berhak memeras (menambang, red) tanah," katanya sekaitan banyaknya

muncul protes atas kemunculan KP-KP baru yang tidak jelas kontribusinya. Ini juga yang mendorong semakin menguatnya desakan moratorium. (amiruddin@fajar.co.id)