Sabtu, 27 Juni 2009

Tolotang, Hindu Karena Pemerintah

Di Kelurahan Amparita lama, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang, sebuah komunitas bernama Towani Tolotang, bermukim sejak ratusan tahun lalu. Komunitas ini, terjaga secara turun-temurun dan terus berkembang hingga sekarang ini.



Bagi sebagian orang, ketika mendengar komunitas Tolotang disebut, mungkin akan berpikir tentang sebuah kampung pedalaman yang orang-orang di dalamnya begitu tertinggal layaknya pemukiman dan komunitas di pedalaman Papua. Namun itu sama sekali salah. Sebaliknya, komunitas ini berada di ibukota kecamatan.

Dari ibukota kabupaten, Pangkajene, Amparita hanya berjarak sekira 8 km. Jarak tempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat paling lama setengah jam. Sementara dari Kota Makassar, Amparita hanya berjarak 231 km.

Tak ada ciri khusus yang begitu membedakan komunitas ini dengan masyarakat sekitar yang mayoritas suku Bugis. Bahkan, mereka juga tetap menegaskan identitas dirinya selaku orang Bugis. Hanya saja, mereka punya kepercayaanberbeda dari warga lain yang mayoritas beragama Islam.

Salah seorang tokoh Tolotang, Edy Slamet yang dalam komunitasnya dikenal dengan nama Wa Eja, kepada penulis 7 Maret 2008 di gedung DPRD Sidrap mengatakan, cukup panjang kisah dan sejarah tentang keberadaan mereka di Sidrap. “Komunitas kami masuk di Sidrap berasal dari Wajo. Towani itu nama sebuah kampung atau desa di Wajo. Yang membawa adalah Ipabbere, seorang perempuan. Ia meninggal ratusan tahun lalu dan dimakamkan di Perinyameng, sebuah daerah di sebelah barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang kemudian selalu dikunjungi dan ditempati untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu ramai,” cerita Wa Eja.

Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Januari itu juga merupakan pesan dari Ipabbere. “Kami selalu membuat acara tahunan di Perinyameng. Sebab orangtua yang dikuburkan di situ, memang berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak ia meninggal, kuburnya harus diziarahi sekali setahun. Makanya, seluruh warga komunitas berdatangan dari segala penjuru, mulai dari Jakarta, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan hanya yang cacat dan
anak-anak saja yang tak hadir setiap Januari itu,” klaim anggota DPRD Sidrap ini.

Awalnya sebenarnya, komunitas ini penganut aliran kepercayaan. Namun karena ada kebijakan pemerintah yang tidak mengakui hal itu, maka pada tahun 1996, pemerintah memberi tiga pilihan ke warga Tolotang. Aturan itulah yang akhirnya membuat komunitas Tolotang takluk. Mereka akhirnya harus menanggalkan aliran kepercayaannya yang sudah dianut sejak ratusan tahun.

“Pemerintah saat itu tidak mengakui kalau ada aliran kepercayaan. Makanya dipanggillah tokoh komunitas kami untuk cari langkah menjadi agama.Ditawarilah tiga agama; Islam, Kristen, dan
Hindu. Komunitas kami harus memilih salah satunya, maka dipilihlah Hindu. Saat itu, kita resmi beragama bernaung di bawah Hindu. Namun adat istiadat sebagai komunitas Tolotang tetap terjaga,” ujarnya.

“Sejak saat itu, jika ada acara Hindu di luar Sulsel, seperti Jakarta dan Bali, kami selalu diundang khusus,” ungkap Wa Eja.

Wa Sunarto Ngate, salah seorang tokoh Towani Tolotang yang ditemui di rumahnya di Amparita, juga mengatakan hal senada. Menurutnya, Towani Tolotang resmi berafiliasi dengan Hindu pada tahun 1966. “Kita ini sudah sebagai mashab Hinduisme sejak 1966. Itu berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu nomor dua dan nomor enam tahun 1966,” katanya.

Mengapa memilih memeluk Hindu? Menurut Wa Sunarto, alasannya sederhana. Di antara semua agama yang ditawarkan pemerintah, Hindu-lah yang punya kesamaan dan kemiripan, termasuk soal prinsip. “Hindu bisa memahami kami dan begitu juga sebaliknya,” katanya.

Terkait sejarah komunitas ini, Wa Sunarto menambahkan pernyataan Wa Eja. Menurutnya, Tolotang berasal dari Wajo. Komunitas ini ada di sana jauh sebelum Islam masuk. Waktunya sekira abad ke-16. Hanya saja tidak berkembang seperti sekarang. “Jadi kalau dikatakan Tolotang ini baru, itu pendapat keliru. Sebab menurut kami jauh sebelum abad ke-16 sudah ada,” jelasnya.

Namun menurutnya, karena sebuah proses sejarah, Tolotang kemudian harus berpindah. Masuknya Islam di Wajo rupanya tidak bisa memberi ruang yang bebas untuk berkembangnya bagi Tolotang. “Makanya beralih ke Amparita. Itu sekira abad 17,” beber Wa Sunarto.Sejak itu, Tolotang berkembang dan diayomi pemerintahan Sidenreng. Terjadi hubungan yang baik antara warga Tolotang dengan warga komunitas lain. Hingga saat ini, di semua kecamatan di Sidrap anggota komunitas ini pasti ada.

“Bukan di Amparita saja. KomunitasTolotang juga ada di Maritengngae, Tellu Limpoe, Wattangpulu, Sidenreng, Dua Pitue, serta Dua Pitue Lama. Hanya saja, basis utamanya memang di Tellu Limpoe. Tokoh adatnya juga banyak dan menyebar di seluruh kecamatan,”
kata Wa Eja.

Rumah Tokoh tak Punya Kursi

SORE itu, Kamis, 7 Maret sekira pukul 16.50 Wita, delapan lelaki tua terlihat sibuk meraut bambu di kolong rumah salah satu warga. Bentuk rumah yang berarsitektur tempo dulu itu persis sama dengan dua rumah di sampingnya, namun jauh beda dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Bambu yang diraut kecil-kecil itu untuk balai-balai di tiga rumah yang berarsitektur tempo dulu tersebut.

Mata kedelapan laki-laki tua itu terlihat awas ketika penulis yang barusaja turun dari salah satu rumah di sampingnya mendekat. Sambil memainkan parang di atas potongan bambu yang
dipegang dan diraut, mata mereka tak henti memperhatikan gerak-gerik penulis.
Saat penulis menyampaikan maksud ingin mengabadikan mereka dengan foto, salah satu di antaranya sontak bertanya, “Buat apa?” Setelah penulis memberi penjelasan panjang lebar, mereka pun akhirnya mengerti juga dan mau difoto.

Ke delapan lelaki tua itu adalah warga komunitas Towani Tolotang. Sore itu, mereka sedang meraut bambu untuk anyaman balai di rumah tokoh adat mereka. Pemandangan seperti itu sudah hal lumrah di Kelurahan Amparita Lama Kecamatan Tellu Limpoe.
Setiap kali balai bambu rumah tokoh adat rusak, warga komunitas ini akan berkumpul dan bekerja bersama-sama untuk sekadar memperbaiki atau menggantinya. Mereka begitu teguh mempertahankan adatnya yang masih bersifat feodal.

“Kalau ada bambu yang patah atau rusak, warga komunitas Towani Tolotang akan bekerja bersama memperbaikinya,” kata Wa Eja atau Edy Slamet, salah satu pemilik rumah adat di jejeran tiga rumah adat di tempat itu.Seperti penulis tulis di atas, Wa Eja merupakan salah satu tokoh Tolotang yang duduk di DPRD Kabupaten Sidrap. Wa itu sendiri adalah sebutan tokoh generasi penerus dari pimpinan adat.Kembali ke soal rumah. Rumah tokoh adat Tolotang sangat jauh beda dengan rumah warga lainnya, khususnya di luar komunitas ini. Satu hal yang paling tampak jelas membedakan adalah tiang rumah yang segi delapan dan bundar.

“Rumah adat punya ciri khusus. Namun bentuk ini tidak tertutup kemungkinan bisa diikuti warga biasa. Semuanya disesuaikan kemampuan. Model ini sejak dulu menjadi adat kami,” cerita Wa Eja. Tokoh adat lainnya, Wa Sunarto Ngate yang ditemui penulis di Amparita juga membahas soal tiang rumah yang bentuknya bulat. Secara khusus, ia bahkan menyebut bahwa tiang bulat itu punya makna khusus.

“Tiang bulat itu diibaratkan bahwa paham Tolotang ini kokoh terus, dan dipegang teguh. Tekad komunitas ini bulat dan kuat sepanjang masa,” katanya.

Bukan hanya tiang dan arsitektur luar rumah yang beda dari rumah kebanyakan. Bagian dalam rumah juga demikian. Di rumah adat, jangan pernah berharap menemukan satu kursi pun. Sebab memang rumah adat tidak dibolehkan memiliki kursi. Kalau di rumah warga biasa komunitas ini, itu tidak diatur secara khusus. Mereka bisa saja memiliki kursi.“Tidak ada kursi di rumah adat. Sebab memang hanya didiami tokoh. Para Uwa yang tinggal di situ. Rumah ini
menjadi tempat suci selain makam leluhur di Perinyameng. Secara keseluruhan, jumlahnya di Amparita sekira 30-an rumah,” jelas Wa Sunarto.

Selain di rumah tokoh adat dan pengabdian para warga komunitas Tolotang, acara-acara lain juga masih sangat kental dengan nuansa adatnya. Dalam hal penentuan hari H acara ziarah kuburan I Pabbere di Perinyameng, misalnya. Hari dan tanggalnya ditentukan berdasarkan hasil tudang sipulung tokoh adat. Biasanya para tokoh adat disaksikan warganya berembuk menentukan hari baik.

“Saat hari H juga kita punya acara adat, massempek (saling tendang,Red). Dulu, massempek ini melibatkan orang dewasa. Namun karena pernah ada gesekan yang muncul dan ditakutkan muncul dendam, akhirnya orang dewasa diganti oleh anak SD,” tambah Wa Eja.

Kemampuan komunitas Tolotang menjaga adatnya juga banyak menarik minat peneliti dari berbagai negara di dunia. Peneliti-peneliti dari Amerika, Jerman, Jepang, Kanada, serta Belanda, sudah sering ke Amparita untuk secara khusus mendalami komunitas ini. “Mereka menanyakan budaya Tolotang dan adat istiadatnya. Rumah-rumah juga diteliti. Itu sejak tahun 70-an. Ada juga beberapa polisi dan mahasiswa yang ingin menyelesaikan program S1, S2, atau S3-nya yang datang meneliti di sini,” kata Wa Eja yang mengaku sebagai tokoh lapisan kedua.

Dilarang Kawin di Luar Komunitas

Sebelum abad ke-16, komunitas Towani Tolotang terus berkembang. Hingga kini, jumlah mereka secara keseluruhan,– termasuk di sejumlah provinsi di luar Sulsel, menghampiri 40 ribu orang. Namun sayangnya, hingga saat ini, mencari informasi dari sumber-sumber pada komunitas ini sendiri sangatlah sulit. Jangan pernah berharap bahwa warga kebanyakan komunitas ini akan melayani atau menjawab pertanyaan Anda soal komunitasnya. Sebab
urusan komunitas ini, seluruhnya ada di tangan tokoh adat yang biasa disapa Wa atau Uwa. Untuk mencari tahu komunitas ini, harus melalui mulut seorang Wa. Tapi, informasi satu pintu itulah yang membuat komunitas ini tetap bertahan seperti sekarang. Langgengnya komunitas ini, juga ditopang prinsip yang mereka pegang secara turun temurun. Prinsip tersebut adalah tetteng (dalam bahasa Bugis: artinya konsisten).

“Prinsip yang kami pegang sejak awal adanya kepercayaan Tolotang adalah semboyan tetteng. Kami berpegang teguh, tidak berubah dan tidak terpengaruh dengan kondisi apa pun. Kami bukan tidak menerima perkembangan yang ada, namun prinsip tetap kami pegang teguh,” kata Wa Sunarto Ngate, di rumahnya.

Penulis sendiri bisa berbincang dengan Wa Sunarto setelah direkomendasikan Wa Eja alias Edy Slamet. Komunitas ini bertahan hingga kini, juga karena adanya doktrin dini dari nenek moyang kepada keturunan-keturanannya. Sejak kecil, anak-anak komunitas ini, sudah diberi pemahaman dan pesan khusus soal Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling berperan untuk memberi pemahaman. Sebab, mereka memang mengambil peran selaku tokoh yang memberi
pencerahan agama atau dalam Islam lazim disebut ustaz. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, ada juga beberapa warga komunitas ini yang akhirnya berubah haluan.

Mereka lebih memilih keluar dari komunitasnya dan memeluk Islam. “Banyak yang bergeser masuk Islam.Bahkan, banyak yang sudah berhaji. Setelah berpindah agama, tidak ada lagi kewenangan mereka di Tolotang. Pernikahan juga menjadi salah satu pemicu adanya pergeseran ini. Dan kami memang cukup ketat soal itu. Semua yang menikah di luar Tolotang, termasuk Islam, berarti sudah keluar. Mereka tidak diakui lagi,” kata Wa Eja.

Namun, adanya perpindahan agama itu tak membuat permusuhan. Sebab dari awal, warga Tolotang memang punya hubungan baik dan keakraban dengan masyarakat yang lainnya. “Kami selalu rukun dan damai. Sebab, di Amparita, Tolotang dengan masyarakat Islam memang rata-rata punya hubungan famili. Bahkan, orang Islam yang tidak punya hubungan famili dengan kami hanya yang betul-betul datang dari luar Amparita,” bebernya.

Hal ini juga dibenarkan Wa Sunarto. Bahkan, secara khusus, dia menegaskan bahwa komunitas Tolotang merupakan bagian dari etnis Bugis. “Tolotang itu etnis Bugis juga. Cuma, bedanya dalam hal kepercayaan saja. Bahasa kita bahasa Bugis juga,” tegasnya.

Soal sejumlah warga komunitas yang memilih meninggalkan Tolotang, Wa Sunarto mengatakan, mereka memilih keluar karena memeluk Islam. Mereka yang memeluk Islam ini, kemudian menamakan diri Tolotang Benteng.

“Sebagai komunitas yang terbuka, memang tidak menutup kemungkinan ada warga kita yang keluar dari Tolotang. Tapi memang dipersilakan saja. Tidak dipermasalahkan. Tapi sebaliknya, juga demikian. Ada juga penganut lain yang mau bergabung dengan kami. Hanya memang, hal itu sangat sulit. Bahkan, bisa jadi tertutup.Sebab, prinsip kami, Tolotang tidak berkembang dengan menerima orang lain. Kami tidak pernah seperti itu. Kita berkembang berdasarkan anak cucu,” jelasnya seraya menambahkan bahwa rata-rata warga Tolotang berprofesi petani.

Mengenai munculnya Tolotang Benteng yang disebut-sebut merupakan Tolotang yang menganut Islam, Wa Sunarto juga membenarkannya. Namun katanya, di Towani Tolotang, itu tak diakui. “Di Amparita ada dua Tolotang. Ada yang menamakan diri Tolotang Benteng. Tapi kami tidak pernah mengenal dua. Kami tidak tahu siapa yang mengatasnamakan itu. Yang pasti, kamilah Tolotang asli yang punya paham Hindu. Dalam ritual, mereka tidak lagi
diikutkan. Tapi konon kabarnya, mereka juga punya Uwa. Tapi, silakan saja jalan, kita jangan saling ganggu,” tegasnya.

Wa Sunarto juga mengaku cukup salut dengan warga Amparita. Menurutnya, selama ini, mereka bisa hidup rukun dan damai. “Kita selalu terbuka. Saling bahu-membahu. Cuma tak dapat dipungkiri juga, dalam proses sejarah, membangun kebersamaan itu tak mudah. Ada bukti sejarah yang tidak tersembunyi bahwa pernah juga terjadi gesekan. Ada sekelompok orang yang memiliki keinginan keras memaksakan kehendak. Tapi, kita klaim itu hanyaoknum. Beberapa orang saja. Saya tidak generalkan,” katanya. (amiruddin@fajar.co.id)