Sabtu, 27 Juni 2009

Saya Pun Awalnya tak Percaya

*Catatan Ibu Hamil (Dg Basse) Meninggal Kelaparan di Makassar 2008 Silam


SAYA memulai merangkai kalimat untuk tulisan ini tepat pukul 23.20 wita (berdasarkan jam di redaksi kantor di mana saya bekerja, Harian Fajar), Jumat, 22 Mei malam. Entah kenapa, saya kok tiba-tiba tertarik untuk duduk berlama-lama lagi di depan komputer. Mencoba menahan perih mata-mungkin akibat pantulan cahaya layar komputer-untuk sebuah tulisan yang bisa jadi akan dicemooh. Bisa jadi akan dicap hanya apologi. Atau berbagai komentar negatif lainnya.


Tapi terserah. Bagi saya, sangat penting untuk saya sebagai seorang wartawan untuk memberikan penjelasan atau paling tidak, jika ternyata tidak memuaskan, cukup tulisan ini sebagai bahan latihan saya menulis. Maklum belakangan ini memang saya merasa sangat tolol dalam menulis. Belum lagi penyakit malas entah dari mana datangnya juga selalu mengganggu.

Terus terang saja, tulisan ini sebenarnya sudah basi-jika melihat pada materi tulisannya. Maklum, ini terkait kematian seorang ibu hamil, warga Jalan Dg Tata I Blok 5, Makassar, Sulsel bernama Dg Basse, 35 tahun dan anaknya, Bahir, 5 tahun, serta jabang bayi berusia tujuh bulan kandungan. Itu 29 Februari 2008 silam. Kalau menghitung harinya, itu sudah 400 hari lebih. Yang tidak percaya hitungan saya silakan hitung sendiri.

Tentu kemudian banyak yang bertanya, kenapa saya mau menulis kalau ternyata kejadian yang saya mau bahas itu terjadi 2008 silam. Kenapa saya tak menulisnya saat kontroversi kematian Basse yang bersama rekan saya (Rahim Kadir) malam itu bersepakat, dengan berbagai bukti dan fakta di rumah duka dan penjelasan orang serumahnya, menulis mereka meninggal kelaparan? Kenapa saya tak menulis ini ketika pemerintah kota melontarkan bantahannya soal penyebab kematian keluarga miskin ini yang kata mereka karena diare? Kenapa?

Saya pun sebenarnya tak mau lagi masuk dalam perdebatan itu. Saya pikir, biarlah Allah SWT yang atas kuasa dan segala maha-NYA memberi kesimpulan, Dg Basse dan buah hatinya meninggal akibat kelaparan atau tidak. Tapi sayangnya semua berubah ketika saya lagi iseng membuka-buka internet dan tanpa sengaja menemukan tulisan saudara sebangsa dan se tanah air saya bernama Wal Suparmo. Itu nama sesuai pengirim ke Mayapadaprana@yahoo.....

Tulisan itu lengkapnya seperti ini:

----- Original Message -----
From: Wal Suparmo
To: mayapadaprana@yaho...
Sent: Monday, March 03, 2008 12:40 PM
Subject: Re: [Mayapada Prana] Ibu Hamil Tua Meninggal Karena Kelaparan

Salam,
Se-olah2 wartawan FAJAR itu seorang dokter yang dapat menyimpulkan orang yang memang kurang gizi, telah mati karena kelaparan bukan karena penyakit Jelas ini melanggar kode jurnalistik sebab sudah merupakan OPINI bukan reportase.Apalagi opini yang belum tentu benar. Dikira kalau wartawan bebas mengabarkan apa saja yang telah DIBUMBUI diluar profesinya yaitu ilmu kedokteran.
Yang meninggal tidak tinggal DALAM HUTAN dan banyak tetangga yang menolong jika orang sudah ada gejala akan mati kelaparan. Kecuali itu, berdasarkan keterangan Wali Kota Makassar yang menerima laporan dari Kakanwil Kesehatan, kematian tersebut karena penyakit dan anak yang masih hidup diobati di RS dan diberi terapi gizi.

Wasalam,

Wal Suparmo

Sebagai seorang wartawan, jika Anda di posisi saya, tangan Anda pun saya pikir akan gatal dan segera bergerak memencet tuts komputer usai membaca tulisan atau komentar di atas. Paling tidak untuk mengobati rasa sakit hati, rasa kecewa, dan tentu saja rasa tanggung jawab untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi sekaitan tulisan kita.

Saya tak pernah bermaksud mencari simpati atau meminta dukungan kepada yang membaca tulisan ini bahwa apa yang saya tulis dan muncul di Head Line koran kami, 1 Maret 2008 silam, itu betul atau faktanya memang seperti itu. Itu hak Anda sekalian. Tulisan ini bagi saya sekadar untuk berbagi informasi dan berharap setelah rampungu, hati saya lega. Itu saja.

Langsung saja. Jumat, 29 Februari 2008, saya ingat betul, saat itu usai magrib. Ketika itu, berdasarkan hasil rapat mendadak redaksi, saya ditugaskan untuk turun ke lapangan meliput kasus kematian seorang warga yang kemudian saya tahu bernama Dg Basse. Ia saat itu meninggal bersama anak dan jabang bayinya.

Redaksi kami sebenarnya sebelumnya sudah menurunkan wartawan beberapa saat setelah kabar meninggalnya Dg Basse kami terima. Namun untuk kelengkapan data, redaksi kemudian menurunkan satu tim lagi, termasuk saya dan desain grafis.

Cukup sulit mencari tempat kediaman Dg Basse. Beberapa orang yang kami tanya mengaku tak tahu menahu. Mobil redaksi yang kami tumpangi pun beberapa kali harus berhenti di lorong sempit hanya untuk mencari tahu orang yang kemungkinan kenal korban.
Hampir setengah jam kira-kira kami keliling, rumah duka pun akhirnya kami temukan juga. Tepatnya di sebuah lorong buntu di Jalan Dg Tata I Blok 5.

Tak ada bendera putih sebagaimana laiknya kematian-kematian warga lainnya. Tak ada suara tangisan. Bahkan tidak ada pelayat. Bisa dipahami sebab Dg Basse memang hanya sebagai penyewa di rumah yang ia tempati meregang nyawa. Setelah meninggal ia langsung diboyong ke tanah kelahirannya di Bantaeng.

Rumah itu, saya ingat jelas, adalah rumah kayu. Jika kita berjalan menyusuri jalanan dari luar, rumah kayu yang gelap dan sudah agak reot itu berada di ujung kiri lorong buntu dan sempit. Di depannya salah lihat malam itu, satu becak terparkir.
Rumah tersebut tampak sangat kontras dengan rumah di sekelilingnya. Letaknya juga agak tersembunyi, sehingga tak tampak jelas dari luar.

Awalnya kami tidak tahu harus lewat mana untuk masuk ke dalam rumah. Selain gelap, juga tidak ada orang lain di sana. Rumah itu kosong. Beruntung, Seorang warga kemudian mendatangi kami dan mengantar kami masuk ke rumah dengan bantuan senternya. Kondisi di dalam rumah lebih gelap lagi. Setelah melewati lorong bawah rumah, kami kemudian menaiki sebuah tangga kayu yang licin yang di sisi kanannya kalau tidak salah ada sumur.

Di atas rumah, kondisinya pun tak jauh beda. Sama gelapnya. Di atas rumah panggung itulah Dg Basse bersama suaminya, Basri dan anaknya tinggal sejak September 2007. Karena Basri suaminya hanya pengayu becak dengan berpenghasilan pas-pasan, kondisi tempat tinggal Dg Basse begitu memprihatinkan. Bagian atas rumah yang ditempatinya dibagi empat petak. Untuk dapur, ruang tengah, ruang tidur, serta gudang.

Di tempat itu, jangan berharap mencari lemari atau perabot mahal lainnya. Sebab di situ hanya ada karung-karung berisi pakaian, rak piring, satu kompor, satu tungku, serta sejumlah peralatan masak, seperti panci dan piring tua, serta dua kasur usang.
Di atas kasur itulah, Dg Basse dan anaknya, Bahir, meninggal karena kelaparan.

Saat di atas rumah, yang pertama kali saya sentuh adalah panci. Dari cahaya senter saya lihat pantat panci itu masih hitam.
Melihat pancinya, saya tertarik untuk membukanya. Harapan saya, saat itu terus terang saja panci itu kosong. Tak ada nasi atau apalah namanya di dalamnya. Namun perkiraan saya meleset. Di dalam panci itu, masih ada nasi yang dimasak bubur, hampir setengahnya. Saya langsung ragu saat itu dan menyimpulkan bahwa Dg Basse tak kelaparan.

Saya semakin yakin bahwa almarhumah dan anaknya tak kelaparan ketika membuka tempat beras di dapur. Meskipun tak sampai setengahnya, namun dengan bantuan senter warga, saya dengan jelas melihat jika isinya cukup untuk satu keluarga selama empat atau lima hari.

Lalu kenapa kami harus menulis bahwa Dg Basse, anaknya, Bahir, serta jabang bayinya meninggal kelaparan sementara di panci ada bubur, dan di tungku beras ada beras? Mustahil kan?

Ya, saya sepakat jika itu memang mustahil. Mustahil apa yang diceritakan tetangga korban bahwa hari sebelum meninggal, Dg Basse tiga hari tidak menelan sebutir nasi pun, itu betul.
Mustahil juga bahwa Aco, anak bungsu Dg Basse yang dilarikan ke UGD RS Haji karena tak bisa lagi mengedipkan kelopak matanya betul.

Ya, semua terdengar mustahil sebelum saya mendengar penuturan warga yang tinggal serumah dengan Dg Basse, Lina. Lina tinggal di lantai dasar rumah kayu itu bersama suaminya, Dudding.

Lina kepada saya mengaku bahwa ia menemani Dg Basse dan anaknya hingga meregang nyawa. Dia pun menegaskan bahwa mereka memang meninggal karena kelaparan.

"Hari itu saya dengar ia dan anaknya menangis. Saya kemudian naik ke tempatnya. Basse mengaku sudah tiga hari tidak makan. Makanya saat pulang dari mencuci, saya membawakannya beras lima liter. Hari itu saya bahkan sempat memeriksa tempat berasnya. Sama sekali tidak ada isinya," tegas Lina.

Lina bercerita demikian saat saya dengan mimik tak percaya bertanyat soal nasi di panci dan beras di tempat beras. Pernyataan Lina inilah yang kemudian membuat kami menyimpulkan jika Dg Basse dan keluarganya meninggal kelaparan. Meski akhirnya, muncul bantahan dari beberapa kalangan.
Ada yang menyebut keluarga besar (empat anak+jabang bayi) dengan penghasilan Rp 5 ribu-Rp 10 ribu per hari ini terkena diare.

"Paling kalau makan kuahnya pakai minyak bekas penggorengan. Karena tidak punya uang untuk beli ikan, mereka juga hanya makan garam. Saya tahu, sebab saya sering melihat mereka makan dan memberinya ikan," ungkap Lina.

Pernyataan tetangga Dg Basse, Mina, 42 tahun juga memperkuat fakta bahwa Dg Basse memang meninggal kelaparan. "Sehari-hari memang sering terdengar suara anak-anak itu menangis. Kalau keluar rumah, biasanya kita tanya kenapako menangis nak. Katanya, mereka lapar,” tutur Mina.

Penuturan Mina ini juga diperkuat dengan hasil pemeriksaan tim medis RS Haji yang menangani anak bungsu mendiang Basse. Dokter jaga UGD RS Haji, dr Putu Ristiya mengatakan, Aco positif menderita gizi buruk. Saat baru tiba di rumah sakit, kata Putu, ketika itu, kondisi kesehatan anak itu mengalami dehidrasi berat. Beratnyapun hanya 9 kg. Nanti setelah diberi cairan dua botol, kondisinya agak membaik. “Padahal untuk anak seusia ini (Aco, red) berat idealnya 15-20 kg. Jadi, ini positif marasmus (gizi buruk),” kata Putu Ristiya.

Berpenghasilan Rp10 Ribu

Bagaimana sebenarnya kehidupan Basri dan mendiang Basse? Menurut penuturan Mina, selama ini, ekonomi keluarga pengayuh becak itu memang sangat memprihatinkan. Penghasilan yang diperoleh tiap hari rata-rata hanya Rp5 ribu hingga Rp10 ribu saja. Akibatnya, untuk membeli beras amat kesulitan.
Kalau mereka beli beras satu liter, biasanya kata Mina, itu untuk mencukupi makan selama tiga hari. Sehari semalam mereka cuma bikin bubur satu kali.

Sedangkan rumah kos ukuran 4x10 meter yang ditempatinya juga hanya dibayarkan orang lain, Dg Dudding yang merupakan sahabat Basri. Untuk satu tahun, Dg Dudding membayar sewa rumah itu Rp1,6 juta. Lantai bawah ditempati Dg Dudding dengan istri dan anaknya. Sedangkan Basri dan keluarganya tinggal di lantai atas.

Sebenarnya warga sekitar banyak yang ingin membantu keluarga Dg Basse. Hanya saja, suami istri ini jarang bicara. Akibatnya, tetangga mereka hanya berbicara dengan anak-anaknya.

Herman, tetangga korban lainnya juga menuturkan, warga sekitar masih jarang yang akrab. Selain pendiam, mereka juga sangat jarang bergaul. Bahkan mereka menggunakan KTP Bantaeng ketika itu.

Masihkah kita berpikir bahwa kasus kelaparan tersebut hanya sebuah rekayasa media?
Masihkah kita berpikir kami melanggar kode jurnalistik sebab sudah menciptakan OPINI bukan reportase. Masihkah wartawan dicap negatif karena seenaknya mengabarkan apa saja yang telah DIBUMBUI-nya?
Biarkan Tuhan dan Anda yang menilai.

(Makassar, Sabtu, 23 Mei pukul 01.17 wita)