Sabtu, 27 Juni 2009

Mereka Orang-orang Tangguh

MINGGU, 6 Januari 2008, siang itu, gerimis turun menyambung hujan seharian. Tak ayal, pemandangan di kaki bukit Gunung Bulusaraung, tepatnya di Desa Bantimurung, Kecamatan Tondong Tallasa, Pangkep, terlihat sunyi dan gelap tertutup kabut. Meski demikian, kabut itu tetap saja tak bisa menutupi keindahan kampung yang seolah mati karena sepinya suasanasaat itu. Kehidupan yang sangat alami.



Ya,begitulah kira-kira gambaran kampung yang berjarak sekitar 35 kilometer ke arah Tenggara Kota Pangkep itu. Beberapa bukit batu cadas tampak berdiri kokoh di kampung yang berada di ketinggian tersebut. Di sekitarnya, puluhan batang pohon dengan akar yangterlihat jelas tumbuh di antara semak belukar.

Namun, dari beberapa deretan bukit-bukit yang seolah tersambung oleh kerindangan pohon di sisi kiri dan kananjalan, satu bukit yang berukuran agak kecil terlihat berbeda dari yang lainnya. Tampak bersih, meski beberapa pohon kecil masih tumbuh di atas dan sekelilingnya.Yang membedakan bukit yang berada persis di sisi jalan ini dengan bukit lainnya, bukan sekadar karena kelihatan agak bersih. Namun, karena bukit seluas 15×30 meter itu juga berpenghuni. Sebuah pintu masuk dan pagar yang mengelilinginya malah sudah sangat meyakinkan bahwa sesungguhnya bukit itu adalah sebuah rumah tinggal.

Memang benar, bukit itu adalah sebuah rumah. Rumah batu yang sebenar-benarnya. Bukan seperti rumah batu kebanyakan.Rumah tersebut milik keluarga Hamdan. Di situlah Hamdan bersama istrinya, Sinta, beserta dua buahhati mereka; Nurkamsiah, 5, dan Nuraisyah, 3, tinggal sejak 2006 lalu.Bagaimana awal cerita Hamdan dan keluarganya memutuskan tinggal di tengah-tengah bukit batu itu? Ternyata, prosesnya cukup panjang.

Sempatmerantau ke Kolaka sekitar 16 tahun, Hamdan yang sempat mengenyam pendidikan hingga kelas III di SMEA Bungoromemilih pulang ke kampung halamannya.Pria kelahiran tahun 1962 itu akhirnya mempersunting buah hatinya, Sinta yang tak lain warga Desa Bantimurung. Mereka menikah pada 1999 lalu. Setelah itu, iaberangkat ke Makassar untuk mencari nafkah sebagai pekerja bangunan. Ia memilih tinggal di Perumahan Telkomas.Berselang tiga tahun kemudian, anak pertama mereka, Nurkamsiah lahir dan disusul anak kedua, Nurasyiah, dua tahun kemudian. Bosan bekerja di Makassar, Hamdan kemudian memboyong anak istrinyakembali ke kampung halamannya di Pangkep.

Karena orangtua Hamdan sudah meninggal dan memang tidak punya rumah sendiri, suami-istri inipun memutuskan tinggal bersama orangtua Sinta. Namun Hamdan ternyata tak betah. Ia pun akhirnya memutuskan keluar dari rumah mertuanya. Sebagai istri penurut, Sinta tak perlu berpikir lama, apalagi mencoba untuk berdebat. Persoalannya adalah Hamdan yang sebatang kara tidak punya warisan, termasuk tanah. Ia juga tidak punya uang untuk membeli sebidang tanah. Namun, karena sudah mengikrarkan meninggalkan rumah mertuanya, otaknya pun bekerjasembari berdoa.Tuhan ternyata memberinya petunjuk ke sebuah bukit di desanya yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumah mertuanya.

“Waktu itu saya sangat terdesak. Saya bingung. Tapi karena tekad saya sudah bulat untuk hidup mandiri dan jauh dari bayang-bayang orangtua, saya pun akhirnya memutuskan tinggal di bukit inisetelah sebelumnya minta izin ke pemilik sawah di sekitarnya. Saat itu, di bukit ini ada sebuah gua yang untuk masuk di dalamnya kita harus berjalan miring. Di situlah saya tinggal hingga saat ini,” beber Hamdan

kepada penulis yang menemuinya.Kepada penulis yang menemaninya berbincang hingga petang sambil menikmati makanan ringan hidangan istrinya, Hamdan bercerita panjang lebar. Menurut dia,bukan perkara mudah tinggal di dalam gua yang gelap dan hanya berukuran sekitar 4×7 meter.

“Sebagai keluarga yang tidak punya apa-apa, saya datang ke gua ini hanya membawa beberapa peralatan makan dantidur. Tempat tidur pertama kami adalah balai-balai dari kayu dengan penopang batang pohon,” bebernya. Merasa kurang puas dengan kehidupannya di gua itu, otak Hamdan kembali bekerja. “Sebagai pekerja bangunan, saya punya jiwa seni. Saya selalu ingin berkreasi. Makanya, sedikit demi sedikit saya mulai bekerja untuk mengubahrumah batu saya ini betul-betul seperti rumah sambil tetap bekerja untuk menyambung hidup.Beberapa bagian bukit saya bakar dengan ban. Butuh 34 buah ban hingga akhirnya beberapa bagian bukit-bukti ini runtuh. Termasuk untuk pintu masuk,saya juga membuatnya,” cerita Hamdan sambil menunjuk pintu yang dimaksudnya.

Proses itu tak berjalan singkat. Untuk memperbaiki rumah batunya, Hamdan butuh waktu tujuh bulan untuk membelah-belah bukit dan menebang pohon-pohon besar di bukit itu. “Kalau sudah dibakar dengan ban, batu-batu jadi agak mudah dirubuhkan. Itulah yang terus saya lakukan sambil memahat bagian-bagian yang perlu diratakan. Dari hasil bekerja dan bantuan orang lain, saya juga sudah bisa membuat pondasi di sekeliling rumah,” katanya.Saat ini, Hamdan sudah menyiapkan satu bagian bukit lagi untuk ruang tidur dan ruang tamunya.

“Kalau ada uang, ruang tamu dan kamar di bagian tengah bukitakan saya kerja. Tapi untuk sementara, saya tinggal di dapur yang menjadi tempat makan sekaligus tidur kami. Malah di puncak bukit, saya juga berniat membuat tempatistirahat dan musalah,” bebernya.Setelah bekerja cukup lama dan menjalani puasa dua kali di rumah batunya itu, Hamdan kini sedikit lebih santai. Apalagi, bukit cadas itu perlahan sudah berhasildisulapnya menjadi rumah.

“Sekarang saya sudah punya rumah sendiri. Meski pun memprihatinkan, tapi saya dankeluarga sudah sangat bahagia. Setelah bukit saya belah, awalnya saya memakai tenda untuk atap. Namun sejakbeberapa hari lalu, atap yang sudah berganti tiga kali saya ganti lagi dengan atap rumbia. Saat ganti atap, saya sempat menangis. Sebab cuaca cerah tiba-tiba berganti hujan dan anak-anak serta istri saya yang hamil tua ikut kehujanan. Saya terharu saat itu,” ujarnya.

Memilih tinggal di bukit batu yang kemudian disulap menjadi rumah, memang bukan hal mudah bagi Hamdan dan keluarganya. Selain harus menderita dan bekerja keras cukup lama, mereka juga sempat menjadi fokus perbincangan warga Desa Bantimurung. Bahkan, perbincangan warga sempat menjurus ke hal-hal yang menyakitkan. Inilah yang membuktikan bahwa meski watak Hamdan keras, ia ternyata cukup penyabar. Contohnya, ia tetap sabar menerima cemooh sejumlah warga. Saat pertama tinggal di rumah batu, beberapa warga menyebutnya sudah tak waras. Bukan hanya itu, alumni SMP Labbakkang Pangkep itu, dianggap bodoh meninggalkan rumah mertuanya dan tinggal di bukit batu.

“Lokasi rumah saya ini dulunya dikenal keramat. Jika sudah malam, warga takut melintas. Selain itu, bukit ini juga menjadi sarang biawak dan ular. Makanya, wajar kalau beberapa warga menilai saya sudah gila dan bodoh waktu itu,” kenang Hamdan ke penulis.

Namun, anggapan miring warga tak berlangsung lama. Kegigihan dan ketabahan Hamdan beserta keluarganya, sedikit demi sedikit memupus antipati warga menjadi simpati.Apalagi, tempat yang dulunya dianggap keramat dan membuat warga takut melintas pada malam hari, sudah tidak terjadi lagi semenjak Hamdan dan keluarganya menempati tempat itu. Keluarga ini, juga mengaku sama sekali tidak pernah diganggu mahluk halus atau binatang liar.

“Malah Bupati Pangkep Syafrudin Nur juga pernah ke sini, Juni lalu. Ia sempat memberi uang ke anak saya,” beber pria berambut seleher ini.
Jika Hamdan yang punya jiwa seni dan sempat merantau sehingga terbiasa dengan kondisi tempat tinggal seadanya, bahkan aneh, lantas bagaimana dengan istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil? Ternyata, tak jauh berbeda dengan Hamdan sendiri. Malah, menurut Sinta, istri Hamdan, ia sangat tulus tinggal di rumah itu karena memang mengerti kondisikeluarganya.

“Meski harus tinggal di bukit batu, saya tetap bahagia. Bahkan saya bersyukur kami punya tempat sendiri. Lagi pula, saya mau kemana kalau bukan di sini. Kami tak punya apa-apa,” kata Sinta.Anak-anak mereka; Nurkamsiah dan Nurasyiah, juga demikian. Saat penulis mencoba bertanya soal kemungkinan gurunya bertanya tentang tempat tinggalnya ke Nurkamsiah yang kini sementara mengenyam pendidikan taman kanak-kanak dan sudah fasih membaca, ia langsung memegang tangan bapaknya dan berkata, “Saya bilang tinggal di rumah batu.”“Anak sekampung sebayanya malah sering berkumpul di sini untuk bermain,” sambung Sinta seolah mempertegas perasaan anaknya yang kini tinggal di rumah batu itu.

Bercerita soal anak-anaknya, Hamdan dan Sinta terlihat begitu bersemangat. Keduanya malah mengungkapkan bahwa saat ini, anaknya jarang ke rumah neneknya. Hal lain yang mereka syukuri bahwa anak-anaknya yang dulu kerap sakit-sakitan sejak tinggal di rumah batu, ternyata tidak lagi. Malah seingat mereka, keduanya tidak pernah sakit selama dua tahun terakhir.

“Saya juga heran. Melihat kondisi rumah kami, mereka seharusnya sering sakit. Namun, ternyata tidak. Kalau dipanggil neneknya, mereka dengan lugu mengatakan tidak mau sebab katanya adaji rumahnya sendiri. Mereka mau hidup susah bersama kami,” cerita Hamdan yang sempat menolak tawaran keluarganya yang hendak memberinya tempat bernaung.

Memang, dari cerita Hamdan, rumah tinggalnya cukup bagus untuk sirkulasi udara. Saat malam, hawanya hangat meski angin bebas masuk melalui celah-celah batu dan atap. Sementara pada siang hari, meski terik matahari, hawanya tetap sejuk.Hamdan bahkan berandai-andai bahwa andaikan di dunia ada surga, maka rumah miliknya tersebut adalah surga. Dia mengaku merasakan perasaan itu.

“Kemungkinan itu pengaruh dari air yang berada di bawah rumah kami. Sebab, memang beberapa sisi itu lowong dibawahnya. Itu kami jadikan kolam dan kita tempati memelihara ikan lele dan mujair,” bebernya.

Meski tinggal di bukit batu dan jarak rumahnya cukup jauh dengan rumah warga lainnya, Hamdan dan keluarganya tak takut gelap. Selain di jalanan dekat halamannya ada lampu jalan, di rumahnya juga sudah ada listrik. Hanya memang karena kurang mampu, listriknya terpaksa harus menyambung dari rumah kakak sepupunya. “Kalau mau buang air besar juga numpang di WC tetangga. Tapi dalam waktu dekat, saya akan membuat WC. Tembok untuk persiapan tempat penampungannya juga sudah ada,” ujarnya saat mengajak saya berkeliling bukit melihat kondisi rumahnya dari luar.

Kepada penulis, Hamdan menegaskan tidak pernah lagi berpikir pergi merantau setelah punya rumah sendiri. Ia juga menyampaikan rasa bersyukur karena sudah dapat Bantuan Langsung Tunai (BBM). Kalau beras miskin, menurutnya belum karena masih sementara diurus kepala desanya. Ia memaklumi hal itu, sebab memang belum punya kartu keluarga. Saat ini, Hamdan dan istrinya sedang menantikan kelahiran anak ketiga mereka. Karena dua anak sebelumnyaberjenis kelamin perempuan, Hamdan dan istrinya pun berharap Tuhan memberinya anak laki-laki.“Sekarang saya sedang hamil delapan bulan. Dan untuk melengkapi kebahagian di rumah ini, kami berharap anak laki-laki,” ujar Sinta, malu-malu. (amiruddin@fajar.co.id)