Sabtu, 27 Juni 2009

Perginya Sang Kapten Timnas

DUNIA sepak bola Makassar dan Indonesia, Minggu, 9 Maret 2008 kira-kira pukul 09.15 WIB, berduka. Nus Pattinasarani, sang legenda sepak bola, meninggal dunia di Rumah Sakit Omni Medical Center di Jl Pulomas Barat VI No 20 Jakarta Timur. Nus awalnya dilarikan ke RS
yang dahulu bernama RS Ongkomulyo Medical Center itu pada pukul 05.30 WIB dengan ambulans. Namun sayang, nyawanya tak tertolong.


Nus Pattinasarani yang lahir di Magelang, 6 Juni 1923, itu meninggal dunia di usia 84 tahun. Ayah enam anak yang akrab disapa Om Nus itudikebumikan di San Diego Hill, Bekasi, Selasa, 11 Maret 2008. Saat ini, jenazah gelandang terbaik PSM di era 50-an dan 60-an tersebut, masih disemayamkan di rumah duka di Jl Sunter Mas Barat Blok H 12 No 6 Jakarta. “Bapak sempat
dirawat beberapa jam sebelum meninggal. Kami kurang tahu pasti penyakitnya, yang jelas sebelumnya bapak disimpulkan kena penyakit ginjal,” kata Dony Pattinasarani.

Dony yang berulang tahun sehari menjelang kematian ayahnya mengaku memang sudah punya firasat bahwa orangtuanya akan pergi untuk selama-lamanya. “Sehari sebelumnya, bapak mengatakan akan memberi saya kado ultah istimewa. Saat itu, saya hanya bilang tidak usah pikir kado. Bapak panjang umur saja, itu yang penting. Perkataan bapak saat itu, saya pikir sebuah pertanda bahwa ajalnya segera tiba,” cerita Dony.

Di mata keluarga, selain sebagai orangtua yang baik, mereka juga kagum dengan prestasi Nus dalam dunia sepak bola. “Bapak sejak tahun 50-an, sudah di PSM. Bapak juga sempat menjadi kapten timnas. Saat itu, kalau tidak salah, tahun 1956, bapak menjadi kapten di Asian Games di Manila. Bapak juga pernah membawa PSM juara bersama Mangandaan. Selain itu, bapak juga pernah melatih Makassar Utama,” beber Dony.

Di masa melatih, dua kali Nus membawa PSM juara perserikatan tahun 1959 dan tahun 1961. Karena prestasi itu pula, PSSI memberi penghargaan Bintang Satya Emas. “Karier beliau sangat sempurna. Kami banyak berguru kepadanya saat masih hidup. Beliau keturunan Ambon-Belanda, tapi jiwa Makassarnya sangat kental. Sangat sedikit sosok pesepak bola yang memiliki karakter seperti dia,” ungkap Syamsuddin Umar, asisten pelatih timnas Indonesia yang juga baru mengetahui kabar kematian Nus itu sore kemarin.

Bukti sukses Nus di sepak bola bisa dilihat dari kemampuannya mendidik dua anaknya menjadi pesepak bola nasional, yakni Ronny Pattinasarani dan Doni Pattinasarani. Seperti diketahui, Ronny adalah satu-satunya pemain sepak bola yang pernah meraih atlet terbaik Indonesia dua kali berturut-turut. Sepak bola pula yang membawa dia dan keluarganya menetap di Jakarta untuk mencari hidup. Nus adalah sederet pemain kawakan PSM yang pernah merasakan
bangku timnas seperti halnya Itjing Pasande, Husein, Makmur Chaeruddin, Santja Bahtiar, John Simon, Rasyid Dahlan, Idris Mappakaya, Saleh Ramadaud, M Basri, Sueib Rizal, Tony Ho, dan lain-lain.

Beberapa mantan pemain PSM dari Makassar seperti Syamsuddin Umar, Abdi Tunggal berencana menghadiri pemakaman jenazah almarhum di Pemakaman Umum Santiago Karawang Bekasi, Selasa 11 Maret. Pihak keluarga sengaja menunda pemakaman lantaran
satu anaknya, Ronny Pattinasarani masih berada di Guangzhou, Tiongkok menjalani pengobatan. Ronny sedang menderita penyakit kanker hati yang diidapnya selama beberapa tahun terakhir. Satu yang kental dari keluarga pesepak bola berdarah Ambon-Belanda ini karena mereka tetap menjadikan dialek Makassar sebagai bahasa keseharian. Dalam dirinya,
karakter Makassar tak pernah terlupakan.
Sesaat setelah berada di rumah duka siang kemarin, sejumlah tokoh olahraga dan wartawan juga datang berbelasungkawa. Bukan hanya dari kalangan keluarga, Nus juga menjadi teladan mantan-mantan pemain PSM. Tony Ho, misalnya. Menurut dia, Nus tidak bisa dipisahkan dari sepak bola Makassar dan Indonesia. “Dia pelaku sejarah. Mulai dari era Ramang sampai era kami, dan menjadi pelatih,” kata Tony Ho, siang kemarin.

Menurut Tony, Nus berhasil membangung sepak bola di Makassar. “Dia sosok pekerja keras dan punya disiplin tinggi. Semua itu ditularkan ke kami. Saat menangani kami, ia sangat keras, tapi hasilnya memang bagus,” beber Tony.

Wartawan senior yang juga pengamat sepak bola Makassar, Piet Heriady Sanggelorang juga punya kenangan tersendiri dengan Nus. “Paling berkesan saat Sunar Arlan dipanggil timnas tahun 1947. Sunar yang dipanggil untuk persiapan Asian Games di New Delhi, menjadi pemain PSM pertama di timnas saat itu. Berselang tujuh tahun kemudian, Sunar yang berposisi bek
kiri dipanggil lagi, namun sudah cedera. Makanya, dipanggillah trio PSM; Nus, Husein, serta Ramang. Meski begitu, karena timnas butuh bek kiri, Nus dan Husein dipulangkan. Hanya Ramang yang bertahan karena salah seorang striker cedera kala itu,” cerita Piet.
Tahun 1950-an, Nus juga sempat membela Sulsel di PON. “Dia memang gelandang PSM yang bagus. Sulit mencari sosok pemain seperti dia lagi,” kenang Piet. (amiruddin@fajar.co.id)