Sabtu, 27 Juni 2009

Mereka Terlalu Memaksakan "Final Ideal"

*Catatan dari Drama di Balik Drama Saat Chelsea Tersingkir di Semifinal Liga Chmapions 2009

PERTANDINGAN Chlesea versus Barcelona masih menyisakan beberapa detik lagi. Saat itu, Barca berhasil melesatkan gol di masa injury time lewat tendangan keras kaki kanan Andreas Iniesta. Dari tribun penonton, kamera TV menangkap sosok anak laki-laki usia belasan tahun. Sesekali wajahnya menengadah ke papan skor stadion Stamford Bridge, lalu mengarah ke tengah lapangan. Air matanya perlahan mengalir. Anak tersebut berusaha menggigit bibirnya agar air matanya tak terus tumpah. Namun ia tak tahan. Dia menangis sesunggukan sebelum akhirnya dipeluk ayahnya.


Saya tak melihat secara pasti pakaian anak remaja itu. Tapi melihat air mata dan sesunggukannya, saya yakin ia sama dengan saya. Ia juga penggemar dan suporter The Blues-julukan Chelsea. Drama injury time di mana Iniesta sukses memperdaya Petr Cech di tengah suporter The Blues yang sudah siap bersorak, membuat si remaja terpukul. Ia tak percaya dengan penglihatannya. Ia tak habis pikir, Frank Lampard dan Michael Essien yang dengan sepakan spektakulernya membawa Chelsea unggul di menit ke-9, yang sepanjang pertandingan begitu bersemangat tiba-tiba lunglai. Tiba-tiba tertunduk. Sama sekali tak percaya bahwa malapetaka itu hadir di saat suporter The Blues yang memadati stadion berkapasitas 40 ribu orang itu sudah siap melompat dan berpesta.

"Ini adalah kemenangan sepakbola. Roma akan menampilkan final ideal." Begitu kalimat yang sempat saya tangkap, saat wasit kepemimpinan Tom Henning Ovrebo baru saja meniup peluitnya. Kalimat itu diusampaikan pengamat dan pembawa acara salah satu stasiun TV.

Saya yang tadinya sudah akan tidur tersentak mendengar kalimat itu. Final ideal. Kemenangan sepakbola. Mungkin maksudnya sepakbola menyerang. Final ideal antara Barca dengan Manchester United di Roma, 27 Mei mendatang, tentu itu maksudnya.

Bagi saya, terlepas dari kepemimpinan Tom Henning Ovrebo sepanjang 94 menit, Kamis, 7 Mei, dini hari tadi, partai Chelsea versus Barca sudah menjadi "final ideal". Meski sebenarnya saya paham bahwa final ideal itu di manapun pasti partai pamungkas.
Saya tidak mau membahas soal waktu, tapi lebih kepada isi pertandingan, dan tentu saja drama lapangan hijau yang membuat jantung penontong terus berdebar. Contohnya laga Chelsea-Barca.

Pendukung, pelatih, pemain, dan siapapun yang punya kedekatan emosi dengan Chelsea, saya yakin tak pernah tenang sepanjang pertandingan meskipun sudah unggul 1-0. Bahkan, ketika perangkat pertandingan sudah mengangkat papan waktu tambahan bertuliskan 4 menit, mereka tetap tak bisa tenang. Mereka khawatir akan ada gol tercipta dari kubu Barca yang berarti akan memupus rencana pesta mereka.

Begitu juga dengan pemain, cadangan, ofisial, serta pendukung Barca. Tulisan 4 menit itu juga membuat
jantung mereka berdetak kencang. Bagaimana tidak, mereka sisa berharap ada keajaiban di empat menit sisa, sementara siapa yang tak kenal benteng kokoh Chelsea.
Bandingkan seandainya, kedua tim berpesta gol dan di sisa empat menit skor terpaut jauh, misalnya 2, 3, atau 4. Tak ada yang istimewa menurut saya. Cita rasa sesungguhnya sepakbola ada di menit-menit akhir. Ada di saat jantung berdegub menantikan pesta atau tangisan. Seperti halnya laga Chelsea-Barca. Bukan berapa banyak gol yang tercipta seperti halnya penantian banyak orang pada laga MU-Barca di Roma.
Partai semifinal Chelsea-Barca bagi saya itulah final sesungguhnya.
BUKAN YANG LAIN.

Untuk laga final MU-Barca yang kata orang menjadi bukti kemenangan sepakbola menyerang, di mana kedua tim yang punya tradisi offensif bersua di final, menurut saya SALAH BESAR. Sebab selain semangat tidak kenal lelah Lionel Messi dkk, tak ada bukti bahwa Barca di bawah racikan Josep Guardiola, 38 tahun, bisa membuktikan fakta sepakbola menyerang. Sepanjang 94 menit, mereka hanya melakukan satu tembakan yang mengarah ke gawang. Hanya sial bagi Drogba dkk, satu tendangan itulah yang jadi malapetaka.

Bandingkan dengan Chelsea. Sepanjang pertandingan, meski penguasaan bola 30:70, tapi serangan mereka jauh lebih efektif dan banyak menciptakan peluang gol. Dari kaki Drogba saja, setidaknya, Chelsea punya tiga peluang gol yang sisa berhadapan dengan kiper. Belum lagi Anelka, Lampard, Jhon Terry, Essien, dan pemain lainnya. Lantas yang mana yang bisa jadi rujukan untuk sepakbola menyerang. Apakah Barca dengan sebiji tendangan ke gawang atau Chelsea dengan seabrek peluang gol yang terkadang menyisakan kekecewaan lantaran kepemimpinan wasit yang sangat merugikan mereka.

Jadi apakah laga pamungkas di Stadion Olimpico Roma pada 27 mei mendatang masih layak disebut final ideal hanya karena keberadaan individu-individu luar biasa di kedua kubu. Hanya lantaran akan ada duel adu produktif antara Wayne Rooney-Dimitar Berbatov /Carlos Tevez- Cristiano Ronaldo dengan trisula Lionel Messi-Thierry Henry-Samuel Eto'o dari Barca?

Bagi saya, keberadaan sepakbola menyerang dan sepakbola bertahan atau bahkan kerap dicap negatif football itu bukan sesuatu hal yang patut diperdebatkan. Bukan hal yang harusnya memunculkan asumsi buruk bagi tim yang kerap bertahan. Sebab bagi saya, bertahan atau memilih menyerang itu adalah strategi. Tak masalah ketika ada tim yang memang selalu menerapkan strategi menyerang saat pertandingan. Bisa jadi lantaran mereka memang punya pemain dengan naluri menyerang yang cukup banyak atau dominan di starting eleven. Tapi tidak bisa dipaksakan ke tim lain hanya untuk mendapatkan tontonan sepakbola dengan skor banyak.

Sekali lagi, ini soal strategi. Makanya ada istilah pelatih dalam tim. Sebab kapan harus tampil menyerang dan kapan harus bertahan, itu tergantung instruksi pelatih. Chelsea juga demikian. Laga melawan Liverpool saya pikir bisa menjadi rujukan. Skor 3-1 dan 4-4 antar kedua tim di dua laga yang akhirnya mengantar The Blues ke semifinal menantang Barca, menjadi bukti. Jadi sekali lagi, ini hanya soal strategi pelatih.
Karena tidak mungkin juga sepakbola menyerang seutuhnya diterapkan. Sebab bisa mengancam kelanjutan karier pemain bek atau paling tidak gelandang bertahan. Saya khawatir, jika sepakbola menyerang ini terus dikampanyekan, bukan tidak mungkin, suata saat, kita akan menyaksikan sepakbola dengan satu gawang saja. Dan yang bermain adalah para striker dan gelandang serang saja. Jadi namanya bukan sepakbola lagi tapi pertandingan SALINGSERANG. Itukah yang kita harapkan?

Kondisi sekarang, seolah-olah ada keinginan "mereka" untuk mengubah imej bagi tim tertentu. Ada yang mengarah ke yang baik, tapi juga sebagian memunculkan imej buruk. MU dan Barca seolah-oleh menjadi rujukan dari sepakbola dunia. Hanya karena mereka punya striker mumpuni dan sebagian besar pemainnya memang memiliki naluri menyerang.
Akibatnya apa? Ada drama di balik drama.


Drama itu telah muncul di Stamford Bridge. Kamis, 7 Mei, dini hari. Drama di mana "final ideal" yang menjadi puncak lakon dipaksakan. Mereka terlalu memaksakan "final ideal" itu. Akibatnya, itu tadi, muncul drama baru di balik drama. Drama yang saya maksudkan salah satunya diperankan wasit Tom Henning Ovrebo. Sutradara drama ini adalah PENGingin "final ideal" di seluruh dunia.

Selain karena kapasitas Ovrebo yang manusia biasa, saya pikir, tak ada lagi pembenaran baginya.
Siapa yang bisa membenarkan keputusannya mengkartumerahkan Eric Abidal yang dianggap menjatuhkan Anelka. Dari tayang ulang, mungkin empat kali saya melihatnya, kontak di antara mereka terhitung minimal bahkan terlihat Anelka hanya kehilangan keseimbangan akibat kakinya bersenggolan.

Tapi, jangan melihat kartu merah itu sebagai keungtungan bagi Chelsea. Kasak mata memang ya. Tapi fakta di lapangan jangan dinafikan.
Begitu banyak keputusan kontroversi wasit ini. Mulai tiga kali handsball pemain Barca di kotak terlarangnya yang seharusnya berbuah penalti, hingga pelanggaran-pelanggaran di kotak penalti. Contoh kasus ketika pada menit ke-57, Drogba yang menguasai bola di kotak penalti dan dijatuhkan bek Barca Yaya Toure. Memang sepintas, Yaya Toure terlihat menyapu bola. Tapi dalam tayangan ulang, Yaya Toure menendang kaki Drogba yang sedang menggiring bola. Akibatnya, Drogba terjatuh dan bola terbuang seolah-olah Yaya Toure menendang bola tadi. Padahal, bola tersebut barada di kaki bagian dalam Drogba. Namun protes Drogba yang meminta penalti, tak digubris.

Selebihnya adalah drama handsball yang seharusnya bebrbuah penalti. Termasuk di masa injury time ketika tendangan Ballack mengenai tangan Samuel Etoo. Makanya jangan heran jika protes pemain dan suporter Chelsea pascapertandingan agak berlebihan. Mereka kecewa. Mereka tak puas dengan keputusan wasit yang kontroversi. Dan tentu saja mereka ingin melihat tim kesangannya berlaga di final dan mementahkan "final ideal".

Tapi sayang, itu hanya mimpi. Dan mimpi itu harus buyar di akhir laga semifinal lewat kaki Iniesta. Jadi, jangan menganggap si remaja di tribun penonton tadi itu cengeng dan tidak mau menerima kenyataan. Mereka mau dan tidak cengeng. Tapi itu bukti bahwa Chelsea bagi dia layak berada di podium juara. Chelsea bagi dia tim terbaik yang tak mengenal kata tim dengan tradisi menyerang atau bertahan, melainkan tim yang sarat strategi untuk menang. Hanya saja, musim ini belum saatnya. Musim ini dipenuhi drama. Drama kecurangan wasit, drama final ideal, dan tentu saja drama menyedihkan The Blues yang harus menyiapkan amunisi dari awal lagi untuk melangkah lebih jauh musim depan.
Semoga Therry dkk tak lagi tergelincir musim depan seperti halnya ketika ia tergelincir saat akan mengeksekusi bola penalti di laga puncak melawan MU dalam final Champions musim lalu.

Terakhir, terima kasih buat pengirim SMS ke saya tadi subuh. Saya bisa berlama-lama duduk lagi untuk berpikir dan menulis. (07 Mei 2009 jam 18:13)