Sabtu, 27 Juni 2009

Ramalan Mualaf, SBY-JK, dan Bencana di Indonesia

SAYA bertugas di Radar Sulbar (grup Fajar/Jawa Pos) ketika bertemu pria itu. Saat itu. tahun 2004, suatu malam, berselang beberapa jam setelah pemilihan presiden yang akhirnya memenangkan pasangan SBY-JK. Nama pria itu saya lupa. Tapi saya tidak pernah lupa bagaimana sosok dia, dan tentu saja siapa dia sebenarnya. Apalagi, saya memang sempat ikut cukup lama dalam perbincangan politik "kampung" yang malam itu dilakukan di rumah tante saya di Majene yang juga kebetulan baru terpilih sebagai anggota dewan di DPRD Majene.


Sekali lagi saya katakan, saya lupa siapa namanya. Tapi saya kenal siapa dia, dan seperti apa dia. Ia datang ke Majene sebagai seorang penceramah. Kebetulan memang saat itu sedang bulan Ramadan. Malam saat kami bertemu, ia mengenakan surban dan jubah putih.

Malam itu, saya tertarik mendengar dia berbicara panjang lebar. Saya tertarik dengan latar belakang dia. Sebelum menjadi penceramah yang cukup dikenal dan ditakuti, ia ternyata seorang pendeta. Ia memilih menjadi mualaf setelah melewati serangkaian kejadian aneh yang menurutnya rahmat dari Allah SWT.

"Malam itu saya mimpi didatangi seorang pria berjenggot. Mimpi itu berulang lagi malam-malam berikutnya. Selanjutnya, suatu hari saya, pulang dari gereja dan singgah di salah satu masjid di kota Manado mendengar orang sementara salat. Saya melihat orangtua yang sering datang di mimpi-mimpi saya." Begitu kira-kira antara lain yang ia kisahkan malam itu.

Berikutnya, ia mulai belajar tentang Islam dan akhirnya diketahui keluarganya. Meski sudah dinasihati orangtuanya, ternyata ia tetap belajar. Suatu hari seperti ia kisahkan, dia "diadili" di gereja. Dia dianggap keterlaluan karena belajar Islam.

Dia akhirnya memilih pergi dari Manado setelah serangkaian ancaman dan teror menghantamnya. Pendek cerita, ia menjadi seorang ustaz dan dikenal keras dalam ceramah-ceramahnya. Termasuk di Majene ketika itu.

Tapi saya tidak ingin membawa (yang membaca catatan ini) kita ke perdebatan soal lelaki itu yang sebelumnya pendeta lalu kemudian menjadi ustaz. Sebab saya pikir kita punya pemikiran dan kesimpulan berbeda-beda.

Soal pria ini, saya sudah sempat ceritakan ke beberapa teman. Apalagi setelah genderang perang Pilpres ditabuh. Malam itu, ketika kami sedang asyik bercerita di teras rumah tante saya, si pria ini mencoba mengungkapkan isi kepalanya mengenai siapa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam pilpres 2004. Ia menyebut paket SBY-JK. Dan itu terbukti kemudian.

Hanya saja, menurut ramalan dia, kepemimpinan SBY-JK akan dirundung banyak masalah. Termasuk demo berkepanjangan dan juga bencana di mana-mana. Saat itu, ketika menyinggung demonstrasi, saya anggap hal yang masuk di akal. tapi ketika ia meramalkan soal bencana yang akan banyak menerpa negeri ini, saya terus terang agak ragu. Sekali lagi, itu ramalan 2004 silam.

Malam itu, adalah pertemuan terakhir saya dengan pria tadi. Setelah itu saya pindah tugas ke Sengkang. Dan ketika itu, saya sudah melupakan ramalan pria tadi. Bahkan saat terjadi kiamat kecil bernama tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, saya sama sekali tak pernah menghubungkannya dengan ramalan itu. Saya tak pernah memikirkan bahwa gempa bumi dahsyat di Samudra Hindia dan tsunami yang menghantam pantai barat Aceh dan Sumatra Utara salah satu bukti awal ramalan si pria berjubah tadi. Meski ketika itu 166.080 orang Aceh tewas mengenaskan.

Pada tahun 2005, saya tidak perlu menyebut satu per satu bencana yang terjadi. Hanya saja Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto ketika itu mengatakan, selama tahun 2005 tercatat 131 kejadian bencana alam di Indonesia. Pada tahun itu, bencana menyebabkan 239 orang tewas dan 255 orang hilang.

Pada 2006, bencana besar di Indonesia dibuka dengan Banjir Bandang di Jember yang menewaskan 51 Orang warga. Selanjutnya disusul Gempa Jogja (M6.3) pada Sabtu, 27 Mei 2006 yang menewaskan 5.427 jiwa. Tak cukup sebulan, tepatnya 24 Juni terjadi lagi banjir bandang di Sinjai Sulsel. Jumlah korban meninggal akibat terjangan banjir bandang di tak kurang dari 185 orang.

Tahun berikutnya, bencana juga menghantam Padang Sumatera Barat. Gempa Padang (M6,4) yang terjadi Selasa, 6 Maret 2007 sekira pukul 10:49:39 pagi menyebabkan korban jiwa 71 orang.
Selanjutnya disusul Gempa Bengkulu (M8.4) Rabu, September 12, 2007 dengan korban tewas 23 Jiwa.

Bencana lumpur Lapindo juga tentu tak bisa dikesampingkan. Ribuan orang harus kehilangan tempat tinggal karena semburan gas yang terjadi di sana.

Tak hanya bencana alam, kecelakaan kereta api, tabrakan mobil atau bus, bencana berupa kecelakaan pesawat pun sangat sering terjadi di negeri ini di era kepemimpinan SBY. Sejak 2005 silam, saya mencatat setidaknya 25 kecelakaan pesawat di negeri ini.

5 September 2005, Pesawat Boeing 737-200 Mandala Airlines Penerbangan RI 091 gagal take off dari Bandara Polonia Medan dalam penerbangan menuju Jakarta, lalu menerobos pagar bandara dan menabrak perumahan penduduk dan masyarakat di Jl. Jamin Ginting Medan. Dari 117 orang penumpang dan awak, hanya 17 yang selamat. Korban dari masyarakat di darat, 41 orang dinyatakan tewas.
Kecelakaan pesawat selanjutnya yang tak bisa dilupakan warga Sulsel dan Indonesia yakni pada awal tahun 2007 ketika Adam Air Penerbangan 574 dari Jakarta - Manado via Surabaya jatuh di Selat Makassar di kedalaman lebih dari 2.000 meter. 102 orang tewas. Tak ada jasad penumpang yang diketemukan. Selanjutnya, bencana berlanjut di Jogjakarta ketika pesawat garuda meluncur ke luar runway dan terbakar di persawahan. Puluhan orang pun tewas terpanggang.

Bencana di laut pun tak kalah banyaknya. Tahun 2005 tepatnya 8 Jul KM Digoel tenggelam di Laut Arafura. Korban tak kurang dari 100 orang.
30 Desember 2006, KMP Senopati Nusantara yang mengangkut 500 penumpang dan 25 anak buah kapal (ABK) dinyatakan hilang sekitar pukul 03.00. Kapal jenis roll on roll off (RoRo) milik PT Prima Fiesta, Surabaya ini hilang sekitar koordinat 24 Mil laut sebelah utara Pulau Mundanika, Kalimantan Selatan
Seratusan orang pun tak terselamatkan ketika itu.

22 Februari 2007, atau hanya berselang tiga bulan 25 orang tewas kembali tewas setelah KM Levina I jurusan Tanjung Priok–Pangkal Balam, Bangka yang mengangkut 291 penumpang terbakar di Selat Sunda. 4 orang di antaranya tewas saat melakukan investigasi pada bangkai kapal pada tanggal 25 Februari.
Pada 18 Oktober 2007, KM Asita III juga tenggelam pada di perairan Selat Kadatua, sekitar 10 mil dari Kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Sedikitnya 31 orang meninggal dunia.

Kejadian terakhir adalah peristiwa tenggelamnya KM Teratai Prima di Sulbar Januari 2009 lalu. Hingga proses pencarian dihentikan, dari 250 penumpanghanya 42 korban yang ditemukan, depalan di antaranya meninggal dunia dan 34 orang selamat. Selebihnya tak diketahui keberadaannya dan kemungkinan besar meninggal dunia. Pada saat bersamaan juga, terjadi banjir bandang di Polman yang menewaskan puluhan orang.

Sampai saat itupun saya belum pernah mencoba menghubungkan pernah ramalan pria mualaf tadi dengan kepemimpinan bangsa. Sampai pada akhirnya Maret 2009, bencana alam besar yakni bobolnya waduk Situ Gintung yang menyebabkan sediktinya 93 orang meregang nyawa dihempas air. Saya pun mencoba menghubung-hubungkannya dengan ramalan pria yang saya temui 2004 silam. Saya pun mulai menceritakan hal ini ke beberapa teman. tapi bukan dalam konteks serius atau menyimpulkan bahwa ramalan itu benar. Saya hanya mencoba menyampaikan pengalaman saya dengan pria tadi yang saya pikir tak ada salahnya untuk direnungkan. Apalagi dengan kejadian terbaru yakni tragedi pesawat Hercules di Magetan yang menewaskan 98 orang.

Ya, tak ada salahnya untuk direnungkan bahwa bisa jadi ramalan yang disertai fakta itu ada benarnya juga. Sepanjang periode kepemimpinan SBY-JK negeri ini seolah tak pernah jauh dari bencana. Seolah-olah bencana selalu mengintai kita. Tak di darat, di laut, udara, pantai, di pegunungan, pagi, siang, malam, ataupun dini hari, selalu ada ancaman.

Saya pun merasakan adanya hikmah dari bercerainya SBY-JK di pilpres 2009 ini. Meski sebenarnya saya tak mau menyimpulkan bahwa ramalan pria yang saya temuai 2004 silam itu menjadi permanen sepanjang SBY-JK bersama memimpin negeri. Dan semoga saja, siapapun yang kelak terpilih menjadi presiden, bisa menjadi rahmat dan pria mualaf tadi, entah di mana ia berada kini memberikan ramalan berbeda. Negeri ini, di tangan paket siapapun (SBY-Budiono, JK-Wiranto, serta Mega-Prabowo), akan diwarnai kegembiraan, ketentraman, kemakmuran, dan kebahagian seluruh rakyat. Tidak lagi harus berlinang air mata. Meratapi sanak family yang tiba-tiba menghadap Ilahi atau meratapi kondisi negeri yang kian carut marut dan semakin tak jelas. MERDEKA.selamat hari kebangkitan nasional.