Rabu, 20 April 2011

“Saya Penemu, bukan Profesor”

*Zaenal Beta, Penemu Lukisan Tanah Liat Asal Makassar

Suatu hari aktris dan pembawa acara Shahnaz Haque memuji Zaenal Beta di Indonesia Siesta. Artis cantik itu menyebutnya profesor.


Itu 2007 silam di Jakarta. Zaenal Beta masih ingat semua perbincangan dengan Shahnaz. “Dia bilang bangga wawancara dengan profesor lukisan tanah liat. Saya bilang saya bukan profesor, hanya penemu. Profesor itu resmi didapatkan di hadapan orang hebat dan saya lebih bangga disebut penemu saja,” kata Zaenal di Gallery Art Benteng Fort Rotterdam, Selasa, 22 Februari.
Kenang-kenangan dari perbincangan dengan Shahnaz itu abadi lewat sebuah foto ukuran 4 R yang tertempel di pintu Gallery Art. Foto ini dipasang berjejer dengan foto Zaenal bersama Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Kabinet Gotong Royong, I Gede Ardika dan sang maestro lukisan Indonesia, Affandi.
Foto Enal, sapaan akrab Zaenal Beta, dengan tokoh-tokoh ini menjadi jaminan kualitasnya. Enal pantas mendapat penghormatan karena prestasinya sebagai penemu lukisan tanah liat.
Tahun 1980 menjadi awal cerita penemuan itu. Saat itu, di usia 20 tahun, Enal mewakili Sanggar Ujungpandang untuk ikut pameran lukisan Dewan Kesenian Makassar (DKM). Ketika sedang mencari cat untuk persiapan melukis, kanvasnya terjatuh di tanah merah saat sedang mengayuh sepeda di Jl Veteran. Kebetulan di situ sedang ada pengerjaan jalan. Dia panik dan bingung. Ia memungut kanvasnya, lalu berusaha menghilangkan tanahnya.
“Saya coba bersihkan tanahnya dengan telapak tangan, ternyata muncul gambar. Ada rumah, serta perahu. Sejak itu, saya mulai melukis dengan tanah liat,” bebernya.

Tiga bulan awal, Enal melukis tanah liat dengan menggunakan tangan. Seperti temuan awalnya, ia selalu melumuri kanvasnya dengan tanah lalu membuat garis dan gambar sesuai ide di otaknya. Lalu, satu kejadian menuntunnya menyempurnakan penemuannya.
“Plafon rumah saya kan rendah. Saat melukis, saya berdiri mengamati hasilnya. Kepala saya terantuk gamacca (semacam anyaman sayatan isi bambu yang pipih untuk plafon atau dinding rumah panggung di Sulsel). Bilah bambu jatuh di lukisan. Saya pikir lukisan tersebut sudah rusak. Saat menghilangkan bilah bambu ini ternyata ada goresan indah yang tinggal. Saya mencoba menggunakannya, ternyata lebih rapih. Akhirnya saya putuskan menjadikannya alat melukis,” kisah Enal.
Bilah bambu ini belakangan dipotong kecil. Ukurannya 1 cm x 2 cm. Panjang dua sisi bilah bambu ini tak sama. Satu sisi dipotong lebih panjang sehingga kelihatan meruncing. Yang runcing untuk menulis atau mencoret.
      Belakangan, bilah bambu pipih sebagai alat melukis ini diambil beberapa orang barat untuk kenang-kenangan. Ada dari Swiss, Jerman, Prancis, Malaysia dan warga negara lain yang kebetulan melihatnya melukis.
      Tapi penemuan alat itu belum juga menyempurnakan temuan Enal. Masih ada persoalan kualitas, dan keindahan warna.

“Panjang cerita sampai akhirnya saya ke tukang kursi. Saya mengambil sedikit pernis-nya untuk melapisi lukisan. Ternyata berhasil. Lukisan jadi tahan dan tanahnya tak runtuh. Sejak itulah saya puas dengan temuan saya. Lukisan saya yang 30 tahun lalu kini masih bagus. Malah kadang sulit membedakan lukisan baru dengan lukisan lama,” katanya.

**********    

Enal lahir dari keluarga tak kaya. Ayahnya, Daeng Beta, pedagang buah sedang ibunya, Daeng Saga, hanya ibu rumah tangga. Zaenal 12 bersaudara. Ia anak keenam. Sebenarnya, nama pemberian orang tuanya Arifin. Tapi ia menggantinya.
      Enal sudah senang menggambar sebelum masuk SD. Ia punya kebiasaan buruk dengan kesenangannya itu. Jika kakak-kakaknya pulang sekolah dan menyimpan bukunya sembarangan, Enal akan langsung menyambarnya. Buku tersebut dengan segera akan dipenuhi coretan.
      Saat akan sekolah, ia sudah bertekad menjadi pelukis. Ia pun meminta disekolahkan di sekolah pelukis. Tapi saat itu tidak ada. Enal akhirnya bersekolah di SD 115 Ujungpandang yang kini berganti nama menjadi SD Mamajang 3. Awal sekolah, Enal sudah berusia 9 tahun.

“Buku saya sangat sedikit catatannya. Kalau buku sejarah, isinya lebih banyak gambar pahlawan nasional, seperti Pattimura,  Pangeran Diponegoro dan Sultan Hasanuddin. Ilmu Bumi juga begitu. Isinya gambar pulau, candi dan sebagainya. Jadi sampai kelas IV SD saya bodoh membaca. Pulang sekolah, saya sering dipukul kakak. Mereka bertanya sebenarnya saya belajar apa di sekolah kenapa buku isinya gambar semua,” cerita Enal.
Enal kecil sangat senang dengan gambar pacuan kuda. Ia terpengaruh dengan film-film koboi yang sering ditontonnya. Ia juga suka gambar beladiri. “Kelas III dan IV saya sudah ikut lomba melukis tingkat pelajar di SD kartika. Tapi tidak juara,” katanya sambil tertawa.
Saat kelas 2 SMP, Enal yang ketika itu berumur 17 tahun mulai masuk sanggar melukis. Ia pilih Sanggar Ujungpandang yang dibimbing Bachtiar Hafid. Dari situlah bakatnya terasa. Lima tahun dia dibimbing Bachtiar. Dalam periode itu pula Enal menemukan teknik melukis dengan tanah liat. Tiga lukisan pertamanya dengan tanah liat yakni rumah adat, rusa, dan ikan terbang.
Sejak beberapa tahun lalu, pria kelahiran 19 April 1960 ini sengaja memelihara rambut. Ia gondrong. Enal juga memelihara jenggotnya hingga menjuntai panjang. Jenggot ini dikuncir mirip model rambut yang dikepang. Ketika melukis, ia senang mengenakan kaus oblong tanpa lengan.
Bagi yang belum kenal, Enal sekilas akan tampak menyeramkan. Tapi kalau melihat ia sedang melukis, kesan itu akan hilang. Ia sangat gampang diakrabi. Ia juga tanpa sungkan mendemonstrasikan kelebihannya. Saat FAJAR menemuinya hari itu, ia memperlihatkan kemampuannya melukis.
Awalnya, sebenarnya FAJAR minta ia untuk berakting saja di depan kanvas. Untuk pemotretan. Namun ia menolak.
Kanvas, serta kaleng tanah pun ia keluarkan di depan Gallery Art yang menjadi studionya sejak 2008 silam. Cepat sekali Enal bergerak. Awalnya melumuri kanvas dengan tanah liat menggunakan tangannya. Tampak belepotan. Lalu ia mulai mengambil alatnya, berupa bilah bambu pipih.
      Dimulai dari garis ke samping sekira 30 cm, lalu ke atas, setelah itu menarik garis bergelombang di bawah, terbentuklah sebuah kerangka lukisan cantik. Memulai melumuri kanvas dengan tanah pukul 16.58, lukisan tersebut selesai (belum termasuk pelapisan dengan pernis) pukul 17.00. Enal hanya butuh dua menit menyelesaikan lukisannya. Sebuah lukisan perahu pinisi di tengah ombak yang keras.
      “Nama lukisannya “Badai Pasti Berlalu,” kata Enal sambil mengelap tangannya. Untuk yang akan dijual, karena harus dilapisi pernis, satu lukisan bagi Enal butuh waktu hingga dua jam.
Melihat kecepatannya melukis, wajar jika Enal mengklaim kesulitan menghitung karyanya. “Ratusan lah. Januari hingga awal Februari 2011 ini saja saya melukis 20-an. Tapi saya memang malas menghitungnya. Itu hanya akan membuat saya membatasi diri. Saya mau terus berkarya dan berkarya. Laku tidaknya itu urusan belakangan,” tegas suami Andriani ini.
Meski tak ambil pusing soal jumlah karya, Enal yakin bisa menggantungkan masa depan dengan melukis. Lukisannya juga sudah banyak terjual. Paling mahal dihargai Rp10 juta. Ukurannya 1 meter x 80 cm. Itu lukisan perahu Pinisi yang dipajang di Hotel Imperial Aryaduta. Nama lukisan termahalnya “Badai Pasti Berlalu”.
“Saya tidak tahu siapa yang membeli. Itu 2006 lalu. Pembeli itu langsung mengambil dua. Satunya dihargai Rp4 juta. Imperial memang sangat membantu kami sebagai pelukis. Sudah 40-an karya saya laku di sana,” bebernya. 
Soal harga, meskipun karyanya lain dari pada yang lain, Enal tak melulu mematok harga tinggi. Punya Rp100 ribu pun, lukisan Enal sudah bisa dibawa pulang.

Lukisan Enal banyak diburu kolektor asing. Kolektor Amerika Serikat yang pertama mengambil karyanya pada 1981. Enal ingat namanya Mr Danhill. Ia dari Calipornia University. Si kolektor membeli 12 lukisannya. Kebetulan dia mendapati Enal melukis di Losari.
“Dia membelinya Rp5 ribu per buah. Jadi total Rp60 ribu harga seluruhnya. Tinggi sekali nilainya saat itu. Seluruh hasil penjualan saya berikan ke orang tua. Mereka yang sempat menganggap saya akan gila jika berpikir menjadi pelukis karena miskin, sangat gembira,” bebernya.
Tokoh nasional juga senang lukisan Enal. Selain Affandi lukisannya juga dibeli Guruh Soekarno Putra, Setiawan Djodi, dan mantan pejabat Negara. “Guruh Soekarno Putra datang langsung ke Museum Kota Makassar. Kalau Setiawan Jodi membeli saat dialog budaya di Jakarta,” katanya.

Enal punya objek favorit dalam lukisan. Ia terkesan dengan pinini. Ia mengaku lukisan pinisi menjadi simbol dirinya. Kalau lagi goyah, lukisan pinisi-nya juga akan tampak goyah. Ia mulai melukis pinisi tahun 1977. Ratusan gambar pinisi telah dibuatnya. Tapi semua beda. Kadang ombaknya, ada yang keras ada pula tenang. Langitnya juga beda-beda.
“Kalau pahlawan nasional, saya suka Sultan Hasanuddin,” bebernya.

Dalam perbincangannya bersama FAJAR, Enal menyebut karakter dan sikapnya banyak dipengaruhi maestro pelukis Indonesia, Affandi. Mereka bertemu pertama kali 1986 di Taman Ismail Marzuki.
      “Affandi menyebut saya orang dikasihani Tuhan dan telah membuat sejarah baru. Temuan saya katanya bukti adilnya Tuhan,” beber Enal.
Affandi juga yang membuat Enal menghabiskan seluruh waktu melukisnya di Makassar. Ia diminta berkarya di kota kelahirannya dan tak perlu punya galeri di luar. “Jadi kalau mau lukisan saya, silakan datang ke Makassar. Itu sesuai pesan Affandi,” kata pelukis yang April mendatang berusia 50 tahun.
      Dengan Affandi, Enal punya kenangan. Saat bertemu, Enal  meminta sketsa wajah Affandi di secarik kertas. Gambar itu sebagai pengakuan dirinya penemu lukisan tanah liat.
Seperti pesan Affandi, Enal ingin membuat Makassar dikenal. Makanya sekarang Enal lagi berusaha membagi ilmunya. Mulai dari membentuk kelompok sketsa. Dia juga aktif membuat kerajinan tangan dari limbah. Dijadikan miniatur mobil F1, atau Harley Davidson.
      Baginya, membagi ilmu itu wajib. Agar ada regenerasi. Enal yang jago membuat poster, karikatur, patung, dan relief ini sudah membuat pelatihan di beberapa daerah. Termasuk di Jeneponto, dan Soroako. Ia banyak di sekolah-sekolah dan kampus. “Sketsa itu dasar lukisan tanah liat jadi saya ajarkan,” katanya.
      Malam menjelang, Enal meninggalkan benteng dengan sepedanya. Seperti itu kebiasaannya. Saat magrib, Enal memang akan menutup studionya dan pulang ke rumahnya di samping kanal, Jl Inspeksi Kanal Nomor 9, Kelurahan Mandala, Kecamatan Mamajang. (amiruddin@fajar.co.id)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya