Rabu, 20 April 2011

J. Wieryana Haq, Sang Pematung Asal Sulsel

Dia cerdas dan punya mimpi. Ketika cita-citanya kuliah di Yogyakarta pupus di tengah jalan, ia pun berjuang sendiri mengasah bakat otodidaknya.

LANTAI 11 Hotel Aryaduta, Kamis sore, 31 Maret, seperti biasanya mampu menyodorkan pemandangan indah. Memandang ke bawah, mata akan tertuju pada anjungan Pantai Losari yang mulai ramai, hamparan laut biru, tanah tumbuh, proyek awal Center Point of Indonesia (CPI) dan Masjid Terapung Al-Makazzari 99. Ada juga kapal-kapal yang bergerak membelah laut. Cahaya merah di ujung cakrawala juga perlahan muncul pertanda pemandangan sunset akan segera terlihat di balik dinding kaca hotel.
Sore itu, di lantai 11, tiga pria terlihat sedang beristirahat. Seorang di antaranya bernama Oteck. Dari meja yang menghadap ke laut, Oteck memandang ke patung batu berbentuk telinga yang didudukkan di meja lainnya. Di samping patung telinga ada juga patung wajah manusia dengan jari telunjuk di depan bibirnya pertanda perintah diam. Juga ada patung imajinasi yang menggambarkan pikiran.
"Ketiga patung itu sudah 17 hari saya kerjakan. Bahannya campuran semen dan keramik. Ini patung kontemporer yang sulit. Idenya terlalu tinggi dan saya berpikir keras untuk memastikan memulainya dari mana. Tapi pada dasarnya, ada gambar yang sudah disiapkan," kata Oteck. 
Oteck pria berumur 49 tahun itu. Posturnya kecil. Tingginya hanya 155 cm. Meski kecil, Oteck yang kelahiran Mamuju, 11 Desember 1962 punya kemampuan besar. Oteck itu hanya nama panggilan. Nama lengkapnya sebenarnya J. Wieryana Haq.
Di kalangan pelukis, dekorator, desainer, serta pematung di Makassar, Oteck bukan nama asing. Itu berkat kemampuannya. Khusus sebagai dekorator, ia dikenal luas di kalangan pejabat atau pengusaha. Jasanya sebagai dekorator dan desainer banyak digunakan, khususnya di acara kawinan. Itu sejak 1987 silam.
Ayah tiga anak ini mengaku jasanya pernah digunakan keluarga Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo saat pernikahan anaknya, Adnan Purichta di Hotel Clarion. Saat pernikahan anak Nurdin Halid dan Bupati Sinjai, Rudyanto Asapa di Hotel Mulia Jakarta, ia diterbangkan khusus ke sana untuk mendekor ruang pengantin. Bekerja empat hari dan melahirkan dekorasi berkonsep Bugis-Toraja, Oteck dibayar Rp35 juta.
"Saya padukan pelaminan Bugis dan Toraja. Pelaminan Bugis dilengkapi tongkonan di bagian kiri dan kanannya. Tiket saya ditanggung bersama transport dan makan. Saat selesai, saya tidak menyangka ternyata saya dibayar Rp35 juta. Itu sangat besar nilainya bagi saya," katanya bangga.

Ia juga pernah dipanggil khusus untuk dekorasi pengantin anak Bupati Luwuk Banggai. Hasil karyanya untuk pelaminan Bugis juga sampai ke Singapura. Beberapa waktu lalu, seorang pengusaha meminta jasanya untuk membuat ornamen dan dekorasi pelaminan. Dan itu disewakan. "Bahkan saya dengar itu sampai ke Brunai Darussalam," bebernya.
Di kalangan pengusaha perhotelan, Oteck sangat familiar. Maklum selama ini ia memang banyak bekerja di hotel. Di Hotel Singgasana yang dulunya bernama Hotel Marannu, Oteck bekerja selama 22 tahun. Di saat bersamaan, ia juga bekerja sebagai freelance di hotel-hotel lainnya, termasuk Imperial Aryaduta yang kini ia tempati bekerja dan Hotel Sahid.
"Perjanjian saya di hotel memang bisa bekerja di luar sepanjang tidak mengganggu pekerjaan rutin saya," katanya.
Tak hanya di Makassar, suami Cristina Surya ini juga sangat dikenal di hotel-hotel di Bali. "Tahun 1983 saya mulai bekerja di hotel MGH. Itu hampir tiga tahun. Setelah itu, saya berangkat ke Bali dan kerja freelance dari hotel ke hotel. Pada beberapa event kebudayaan di sana, saya juga banyak terlibat. Saya pernah membuat patung es di sana dan juara dalam sebuah lomba dan mendapat sertifikat dari Australia. Gambarnya dua burung sedang berpacaran. Tapi itu bukan patung es pertama saya, meski sebelumnya hanya berupa patung inisial semisal huruf," beber Oteck yang kembali lagi ke Makassar tahun 1990.
Di usianya saat ini, Oteck tak lagi bisa menghitung karya-karyanya. Termasuk lukisan, patung, dan dekorasi. "Untuk patung, saya bisa macam-macam. Termasuk patung mentega, patung es, patung gabus, serta patung pisang dan mangga. Tapi awalnya saya ini pelukis," kata Oteck yang juga sempat mendesain rumah almarhum Dr Saman Kalla.
Khusus patung, ia pernah membuat patung naga, sinterklas, piala, onta, masjid, hingga gereja. Saat membuat patung sinterklas dengan enam ekor rusa yang sedang terbang, Oteck butuh 21 hari. Itu ia kerjakan sendiri. Saat FAJAR ke Aryaduta, patung ini masih ada di lantai 11. "Patung bikinan saya tersebar. Ada di Makassar, Bali, Toli-toli, hingga Surabaya," katanya.
Bakat Oteck sendiri muncul sejak kanak-kanak. Itu turun dari orang tuanya yang memang pelukis dan pematung. Bakat itu tak hanya turun padanya namun juga kepada delapan saudaranya. Bahkan ada kemenakannya yang kemudian menjadi pematung di Swedia. Oteck yang anak kedelapan mengaku senang dengan seni sejak masih SD. Bahkan saat sekolah di SD 40 Makassar, lukisanya sampai ke Belanda setelah memenangi sayembara. Saat itu usianya baru 9 tahun.
Tamat SD, Oteck lanjut ke SMPN 6 Makassar lalu ke SMAN 1 Makassar. Di SMAN 1, Oteck sudah dipercaya menjadi dekorator setiap ada kegiatan sekolah. Itu juga yang menginspirasinya untuk berencana kuliah dan memperdalam ilmunya.
"Saat tamat SMA, saya mau kuliah di Yogyakarta untuk mengembangkan bakat. Tapi ekonomi orang tua sedang goyang dan saya harus membatalkan niat. Bapak saya meninggal 1981 atau dua tahun setelah saya tamat SMA," katanya.
Tapi perjuangan Oteck dengan bakat otodidaknya yang terus dia asah telah membuahkan hasil. Ia bisa menikahkan dirinya sendiri, membeli rumah serta kendaraan dan menyekolahkan anak-anaknya. Kini ia mampu hidup layak bersama keluarganya di Antang Jl Kajenjeng Raya No.22. 

"Intinya, saya berusaha mempelajari semua karya bidang seni dan saya bisa. Dan jika sudah bisa bekerja, saya akan berusaha menjaga kepercayaan orang dengan memberikan hasil terbaik," katanya. (amiruddin@fajar.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya