Rabu, 20 April 2011

Pelukis Hiper Realis Tau-tau

*Mike Turusy, Seniman Sulsel Berkiprah Internasional
 
 
NAMANYA Mike Turusy. Itu sesuai Kartu Tanda Penduduk (KTP) meski sebenarnya nama aslinya, Rusmin.

 
Ia melukis sejak kecil. Mike menegaskan itu memang sudah bakatnya. Sambil memperlihatkan satu per satu karyanya, Mike terus bercerita ke saya, Rabu, 3 Maret 2011 lalu. Di lantai dua sebuah bangunan di Jl Jampea No.1, Mike mengisahkan secara detil perjalanan hidupnya. Mulai saat ia masih dengan cita-citanya sebagai penyanyi, lalu menjadi tukang las, dan terakhir ia mantap sebagai seorang pelukis.
      "Memang itu bakat. Dulu di sekolah, saya pernah dikeluarkan dari kelas dan tidak bisa ikut tiga mata pelajaran sekaligus. Saya iseng menggambar guru laki-laki saya sedang telanjang di papan tulis saat waktu istirahat. Pas bunyi lonceng, saya lupa menghapusnya. Itu saat saya masih di SMP," kenangnya. 
Sosok Mike menggambarkan jati dirinya sebagai seniman. Penampilan berbeda. Rambut gondrong. Celana robek di lutut. Dua anting di telinga kiri disempurnakan dengan dua gelang tali berwarna hijau di leher. Juga ada gelang besi di tangan kiri yang ikut bergerak-gerak saat Mike memainkan kuasnya di atas kanvas.
Sekilas, jika hanya mendengar namanya, bisa jadi bayangan kita akan tertuju pada sosok bule dengan kulit putih dan postur besar. Tapi tidak. Dia Mike Turusi, asli Sulsel. Ia pria kelahiran Masamba, 4 Februari 1960 silam. Penampilannya yang seperti vocalis band The Rolling Stone, Mike Jagger memunculkan nama "Mike" dalam kesehariannya. Apalagi ketika itu ia memang suka bermusik. Ia pegang gitar dan vokal. Itu juga cita-cita awalnya. Saat itu ia masih di Jakarta. Turusy sendiri diambil dari Pam keluarganya, Paturusi yang ia hilangkan "Pa" di depannya. Mike Turusy, terdengar kebarat-baratan, tapi keren. Turusy juga menjadi simbol lokalnya sebagai seorang anak keturunan Sulsel.
Mike dewasa ketika di Jakarta banyak mangkal di Blok M. Di situ juga ia mendapatkan takdir hidupnya menjadi seorang pelukis. Dia melukis mulai tahun 1982 di Jakarta. "Saya belajar dari seorang pelukis potret. Namanya Danny Watti. Dia orang Flores. Dia guru saya yang pertama. Cuma dia tidak berkembang. Hanya terus menjadi pelukis potret. Sementara muridnya ini sudah pameran di mana-mana," beber Mike yang salah satu saudara kandungnya menjadi polisi di Malaysia.
Saat itu juga Mike membuka jasa melukis potret. Ia merintis melukis di emperan toko dan trotoar di sana dan akhirnya diikuti sejumlah pelukis lain.
Belakangan, kemampuan Mike makin mumpuni. Tapi ia tak betahan di Jakarta. Ia akhirnya hijrah ke Yogyakarta. Setelah itu pindah ke Bali dan akhirnya ke Balikpapan. Kebetulan di sana memang ia memiliki saudara kandung. Di Balikpapan, Mike membuat padepokan dan menggelar pameran pertamanya bersama sanggar lukis Bayuasri. Ia juga ikut mendirikan sanggar ini.
Sampai akhirnya, pada tahun 90-an pria yang pada umur 4 tahun harus hijrah ke Malaysian bersama orangtuanya ini memutuskan kembali ke Makassar. Di kampung halamannya, Mike semakin bersinar sebagai seorang pelukis. Ia dikenal dengan aliran realis.
Mike memang punya cita rasa seni tinggi. Itu dibuktikan ketika ia kemudian banyak menghasilkan lukisan dengan tema budaya. Khususnya tentang Toraja.
"Saya tertarik dengan nilai budaya yang unik dan alami. Tahun 1996 saya melukis soal Marrenge Baka (membawa bakul di punggung), Rambu Solo, hingga Rambu Tuka (budaya lokal)," katanya.
Dari sana pula ia mulai kenal dengan Tau-tau atau orang-orangan yang menjadi simbol khususnya bagi kalangan kaya dan bangsawan di sana. "Melukis itu kan apa yang dilihat, apa yang dengar dan apa yang dirasakan. Itu yang dibuat di kanvas. Ketika saya di Toraja, saya lihat ada keunikan di sosok Tau-tau ini. Lalu saya mulailah melukis Tau-tau. Tahun 2000 saya berpikir kenapa tidak saya hidupkan saja dari pada terlihat kaku. Mulailah saya hidupkan. Misalnya lukisan kayu penjual kayu yang judulnya Legal Logging. Ada juga lukisan kayu pria bersepeda. Belakangan ada beberapa orang yang tertarik dilukis kayu," beber Mike.
      Lukisan Tau-tau kayu ini belakangan dikategorikan dalam aliran hiper realis. Lalu oleh dosen senirupa UNM diistilahkan Hiper Realis Tau-tau. "Saya itu tahunya berkarya. Biar orang yang punya bidang masing-masing menilai. Apakah itu kurator atau kolektor," katanya.
Lukisan hyper realis atau beberapa menyebutnya super realis adalah jenis lukisan dengan corak citra realistik yang sangat ekstrem. Lukisan Hiper Realis atau Super Realis mencitrakan objek secara mendetail dan akurat, detil semua benda atau objek digarap dengan teknik yang sangat tinggi yang menuntut skill yang tinggi pula.
Sejak itu, Mike mulai lebih aktif mengikuti pameran. Ia juga mulai tembus level internasional. Tahun 2005 misalnya, graha budaya Indonesia menawarkan pelukis Sulawesi untuk pameran di Jepang. Namanya Kokoro Sulawesi. Ada 17 orang yang ikut termasuk Mike. Selain itu ada juga dari Manado, serta Palu. Mereka pameran bersama.

"Dari seleksi itu saya diterima dan ditunjuk untuk pameran tunggal 2008 di Jepang. Mungkin lukisan saya dilihat unik. Mungkin dia melihat lukisan kayu aneh. Tapi itu persoalan selera yang nilai. Tidak bisa lantas bilang bahwa setelah pameran tunggal di luar negeri, itu sudah hebat. Faktor kebetulan saja. Itu faktor selera masyarakat di sana. Saya di sana juga bilang bahwa ini hanya persoalan selera. Juri ini kan bukan malaikat. Mereka manusia juga. Di Sulsel ini banyak pelukis hebat. Misalnya Zaenal Beta," katanya.
Dalam pameran tunggal ini, Mike membawa 25 lukisan. Konsep fotonya semua tentang budaya Toraja.
Di pameran tunggal undangan Fujitoko University ini Mike juga didaulat membawakan materi. Termasuk soal lukisan Tau-tau-nya. "Saya bawa materi dua jam. Ditanya kenapa memilih lukisan kayu. Tempat acaranya di Takatanababa," kata ayah tiga anak ini.
      Kepala Graha Budaya untuk Seni Indonesia di Jepang, Okawa menurut Mike memuji lukisannya. "Katanya ini satu-satunya di dunia. Memang ada juga lukisan kayu yang lain, tapi hanya pelengkap. Seperti orang di belakang kandang. Kalau saya kan utuh. Semua kayu. Manusianya kayu, semuanya kayu," katanya.
Banyak yang menilai inspirasi lukisan kayu Tau-tau ini dari Pinokio. Sosok dalam sebuah film. Tapi Mike membantahnya.
Menurutnya, lukisan kayunya dengan Pinokio beda. Ini juga yang akhirnya membuat dia memutuskan membuat lukisan berjudul Wellcome to Toraja. Itu menceritakan Pinokio yang berkunjung ke Toraja dan disambut Tau-tau.
"Memang banyak yang mengira demikian. Tapi jujur pertama saya lihat Tau-tau lalu saya hidupkan. Jadi beda, saya tidak ikut di Pinokio. Makanya saya sengaja melukis pinokio juga untuk membuktikan bahwa beda. Saya kasih ketemu dan memang beda. Pinokio hidungnya mancung dengan sepatu dan tas, sementara tau-tau pakai sarung dan passapu (penutup kepala). Sama-sama manusia kayu memang tapi sangat beda," katanya.
Tak hanya pameran di Jepang, Mike juga sempat pameran dua kali di Singapura dan sekali di Thailand. ia pameran di Singapura tahun 1998 dan 2000. "Saya juga sempat pameran di Design Smith Gallery, Ohayo, Amerika Serikat. "Lukisan saya juga jadi post card di Amerika. Yang jadi post card itu lukisan anak di atas kerbau di Sungai Saddang. Jadi yang masuk ke arena pameran dan tidak mampu membeli lukisan, cukup mereka beli post card saja," kata pria yang juga dikenal dengan aliran surealis lewat karyanya "Battu Ratema ri Bulan" (Saya sudah dari bulan). Lukisan ini dibeli menantu mantan gubernur Sulsel HZB Palaguna.
Untuk lukisan imajinatif, Mike sempat melukis tokoh dari Barru, Colliq Pujie. Ia melukis berdasar foto anaknya di masa tua. Yang pesan Bupati Barru.
2011 ini, Mike kemungkinan kembali akan menggelar pameran di luar negeri. "Ada tawaran lagi untuk pameran tunggal di Jepang 2011 ini. Kalau tidak bisa tahun ini mungkin paling lambat 2012. Panitianya sama dengan 2008 lalu. Kalau saya tidak mampu tunggal, katanya bisa berdua atau bertiga," beber Mike.
Bagi Mike, ia ingin fokus dengan lukisan berelemen kayu. Apalagi pada pameran nasional 2009 silam, kurator nomor satu Indonesia, Agus Darmawan sudah memberikan apresiasi.
"Ia mengatakan lukisan saya selain unik juga mengangkat budaya daerah. Banyak lukisan unik, tapi tidak ada nilai budaya yang diangkat," kata pelukis yang lukisannya berjudul "Gadis Penenun" pernah dibanderol Rp25 juta ini.
Lukisan tau-tau Mike sendiri belum terlalu banyak. Katanya baru 40-an. Tapi jika ditotalkan seluruh lukisannya, termasuk yang beraliran realis, pria yang mengajar di Sanggar MakassART Gallery ini sudah melukis ratusan unit. Sabtu Minggu dia mengajar.


Soal lukisan Tau-tau-nya, Mike mengaku paling senang dengan lukisan berjudul Legal logging dan pematung. Lukisan Legal Logging menurutnya terlihat hidup sekali.
"Sekarang saya juga melukis potret dengan konsep Tau-tau. Banyak yang minta. Ada orang barat. Ada beberapa," kata ayah tiga anak, Virgiawan, Monalisa, serta Aldi ini.

Memang menurut Mike, tak gampang menjadi pelukis Tau-tau. Misalnya untuk wajah orang, itu harus ada tambahan elemen. Jadi berat untuk memiripkannya. Dalam melukis Tau-tau, Mike harus membuat retakan dan serat kayu yang dituntut tak mengubah kemiripan wajah yang dilukis. Makanya ia mengatakan, dibandingkan lukisan realis ukuran 20 R yang bisa ia kerjakan dengan bayaran Rp500 ribu, lukisan Tau-tau lebih mahal. Namun ia tak menyebut angka.
Dia juga tak menerima orderan begitu saja. Misalnya untuk lukisan Tau-tau yang hanya sekadar wajah, Mike menolaknya. Baginya ada alur cerita jika itu lukisan Tau-tau. Misalnya sementara main musik. Jadi estetika harus ada.
Dengan kemampuannya kini, Mike belum merasa sempurna. Ia terus belajar menyempurnakan kemampuannya. Termasuk ia mempelajari berbagai jenis kayu lewat buku-buku. Karena lukisan kayunya memang menggunakan berbagai jenis kayu, termasuk kayu pinus dengan ciri khasnya putaran-putaran seratnya.
"Saya belajar tentang kayu juga. Buku saya ratusan. Waktu pameran di Amerika, itu disumbangkan ke saya. 10 karung mungkin dikirimkan. Saya terus belajar. Saya kan sekolah tidak ada. Saya tidak tamat SMA. Jadi saya harus banyak belajar di buku. Saya bahkan kadang belajar sama murid saya. Kalau ada sesuatu yang baru yang saya lihat dibuat murid, saya belajar. Berkesenian itu berkembang terus. Tidak ada istilah mentok," kata Mike yang juga mengaku senang fotografer dan sempat juara tiga lomba foto dengan kamera pinjaman 2002 silam.
Kini, Mike sudah dikenal luas di dunia internasional. Lelaki yang beralamt di Jl Kandea ini juga masuk dalam situs International Artists Network dan karya-karyanya diperbincangkan penikmat seni lukis dunia. Ini adalah jaringan global seniman kreatif dari negara manapun di dunia untuk persahabatan, kolaborasi, interaksi dan bimbingan.
Setiap saat, Mike dimintai karya terbaiknya. Hanya saja, ia mengaku terkendala bahasa. Salah satunya permintaan agar Mike mengirim karyanya untuk dimasukkan dalam katalog lukisan dunia 2010. Itu dikirim 2009 lalu dan Mike tidak pernah tahu itu.
"Maklum tidak lulus SMA," katanya tertawa. (amiruddin@fajar.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya