Senin, 09 September 2013

Kepiluan Naypidiaw

Gary Cahill mengatakan, sepak bola terkadang begitu kejam. Ia berkata begitu setelah laga timnya, Chelsea menghadapi Bayern Munich di final Piala Super Eropa, Sabtu, 31 Agustus, dini hari, di Stadion Eden kota Praha Republik Ceko. Kemenangan mereka yang sudah di depan mata, sirna. Chelsea yang masih unggul 2-1 hingga menit ke-120 atau beberapa detik sebelum wasit asal Belanda, Jonas Eriksson meniup peluitnya, secara dramatis takluk. Javi Martinez di detik akhir perpanjangan waktu menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Lalu, Romelu Lukaku menyempurnakan luka Chelsea lewat kegagalannya mengeksekusi penalti. The Blues pun kalah 4-5 dan trofi yang tadinya sudah di depan mata Cahill jadi milik Munchen.
Setelah itulah terlontarlah kalimat ini dari mulut bek Chelsea, Gary Cahill.”Kami tampil bagus, namun sepakbola terkadang kejam.”
********
Tanggal 26 Mei 1999. Di depan 90.045 penonton yang memadati Stadion Camp Nou, Samuel Kuffour harus menangis. Bek Bayern Munchen itu meratapi kegagalan timnya meraih trofi Liga Champions.
Samuel Kuffour pantas menangis. Sebab sepanjang sejarah Liga Champions UEFA, final ini bisa dianggap sebagai final paling dramatis yang pernah ada. Gol tendangan bebas Mario Basler yang menerobos gawang Manchester United, sepertinya akan jadi penentu hasil akhir. Waktu di tangan wasit terbaik dunia ketika itu, Pierluigi Collina juga sudah menunjukkan angka 90. Waktu normal usai.
Tapi, selalu ada drama dalam sepak bola. Dan seperti kata Cahill, sepak bola kadang kejam. Trofi di depan mata pemain Munchen melayang. Subuh itu, saat penonton di seluruh dunia meyakini Munchen sudah juara. Atau ketika para petaruh bola yang memasang taruhan voor 1/2 dan menjagokan MU yang memang sedang di era keemasan diprediksi menang, sudah pasrah. Tiba-tiba, duo super sub United, Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer muncul sebagai pahlawan.
Seperti dalam film-film kerajaan, ketika istana sudah nyaris dikuasai lawan, Sheringham dan Solksjaer muncul dengan kuda hitamnya di balik pintu. Prajurit yang tadinya sudah nyaris menyerah pun kembali bertarung dengan gagah berani dan akhirnya menang. Ya, di ujung laga itu, pada menit 91 dan 93 Sheringham dan Solksjaer mencetak gol. Dan begitulah, pada akhirnya, semua penonton memaklumi jika Samuel Kuffour meratapi kekalahan tersebut.
*******
Naypidiaw. Senin, 2 September 2013. Saat itu pukul 22 lewat Wita.
Saya mungkin salah satu dari sekian juta warga Indonesia yang sudah siap berteriak saat pertandingan Garuda Muda melawan Tim Harimau Malaya Muda sudah memasuki menit ke-93. Beberapa detik lagi, anak asuh Sutan Harhara dan Mundari Karya akan berlarian, berpelukan, menangis dan menciumi lambang Garuda di dada mereka. Mereka saat itu unggul 1-0 lewat gol Gatot Wahyudi dan dua bendera merah putih di Stadion Wanatheikdi, Myanmar, Senin malam itu terlihat makin gagah kibarannya disorot kamera. Seolah ingin menyampaikan pesan bahwa inilah Indonesia yang mengalahkan Australia di partai semifinal dan akan menjuarai AFF Cup 2013. Begitu akan mengharukan momen itu. Apalagi, euforia kemenangan sudah dinantikan begitu lama.
Tapi rencana pesta juara itu gagal. Di pengujung laga, wasit bukannya meniup peluit tanda pertandingan berakhir melainkan menunjuk titik putih. Indonesia mendapat hukuman penalti ketika pemain Malaysia yang sudah kehabisan akal menembus barisan kokoh pertahanan Indonesia. Drama terjadi, Malaysia menyamakan skor.
Drama sepakbola pun bersambung ke episode adu penalti. Sempat sama-sama gagal di penendang pertama, Garuda Muda tampak superior di penendang selanjutnya. Dua eksekutor sukses menjalankan tugas “negaranya”. Lalu penjaga gawang Indonesia, Panggih Priyo Sambodo bak Lev Yashin, kiper terbaik sepanjang masa asal Uni Soviet yang paling sering menghentikan tendangan penalti lawan. Tiga penendang Malaysia dibuat tak berkutik. Skor 2-0 untuk Indonesia kembali memunculkan asa juara. Rencana pesta kemenangan yang tadinya buyar perlahan terajut kembali. Bisa dikatakan ketika itu peluang menang Garuda Muda 97 persen.
Satu gol lagi, atau sekali lagi pemain Malaysia gagal, Indonesia akan meraih trofi AFF Cup 2013 U-16.
Tapi, seperti yang kita tonton bersama perjuangan Garuda Muda di Naypidiaw berakhir pilu. Dua eksekutor terakhir gagal dan Malaysia kembali bangkit dari kekalahan. Puncaknya adalah ketika Gatot Wahyudi sebagai eksekutor keenam gagal lagi dan kiper lawan, Abang, dengan gaya Oleg Salenko-nya memperdayai Panggih.
Akhirnya, kita akan memaklumi jika pasukan muda kita menangis seperti halnya Samuel Kuffour. Sebab drama pilu ini akan membekas di ingatan mereka sampai akhir hayat. Begitulah kekejaman sepakbola pada manusia seperti kata Gary Cahill.
Barru, 3 September 2013
(September oh September)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya