Senin, 07 Februari 2011

Potret Kecil di Flyover

Segepok duit itu belum membuat Syahrul tersenyum, Selasa, 4 Januari. Matanya masih bergerak liar ke deretan mobil yang tertahan lampu merah. Berharap menemukan lambaian tangan. Namun tak ada yang memanggil. Ia mencoba menawarkan koran dagangannya dengan sisa suara siangnya. Itupun tak lagi terdengar nyata. Suara pengamen mengaburkannya.
Syahrul kecil tak putus asa. Kembali ia duduk di atas tumpukan koran berbungkus plastik seraya mengamati ribuan bintang yang mengintipnya dari kejauhan. Matanya penuh harap pada lampu merah berikutnya. 
Hampir setahun Syahrul berlangganan malam di jalan layang. Sejak diresmikan Presiden negeri ini, 26 Januari 2010 silam, ia dan ibunya sudah di sana. Usianya baru delapan tahun. Belum berbeda jauh dengan usia jalan layang ini. Meski lambungnya tak teratur menerima makanan, tubuh Syahrul yang malam itu berbungkus kaos oblong biru, terlihat berisi. Hanya kulitnya tampak lebih gelap lantaran terik siang acap membakarnya.
Syahrul satu dari belasan anak yang berjuang untuk hidup di sekitar jalan layang yang tahun lalu masih lebih dikenal dengan kilo empat. Mereka beradu nasib dengan penjaja koran remaja dan dewasa lainnya. Tak pasti masa depan di benak Syahrul kecil. Sebab ketika pagi dan bocah sebayanya sedang di ruang kelas bersama lembaran diktatnya, ia malah sibuk berlarian menggapai tangan-tangan yang memegang lembaran duit seribuan.*********
Mata pria itu menuntun hatinya menghitung dengan pelan kerupuk yang tergantung di gerobak becaknya.  Siang telah berlalu. Hari ini cukup. Begitu yang muncul dalam pikirannya. Lembar-lembar duit telah tersusun di saku depannya. Hari itu, Rabu, 5 Januari dan Dg Baso sudah amat senang. Di benaknya kini terbayang makanan lesat yang disajikan istrinya yang menungguinya bersama anak-anaknya di rumah mereka di Jl Maccini. Itu seperti hari-hari sebelumnya. Tatkala pulang, anak istrinya akan menyambutnya. Si Ina, istrinya akan langsung mengambil gerobak becaknya, memarkirnya di samping rumah seraya mengambil tempat es, dan toples yang masih berisi sisa campuran es. Lalu membawanya ke dapur. Dibersihkan dengan air, untuk persiapan berjualan esok hari oleh sang suami tercinta.
Sementara Dg Baso, akan kehilangan letih setelah mengayuh beberapa kilo saat si bungsu, Rama sudah menggelayut di pundaknya. Saat-saat seperti itu, Dg Baso yang hanya sempat mengenyam bangku SD akan berdoa panjang-panjang. Mulai soal sekolah anaknya yang tinggi, aklhlak yang santun, masa depan yang cerah, hingga iman yang kokoh.
Ia berharap kelak anaknya tak lagi harus di flyover saat pagi, siang, hingga menjelang magrib. Ia ingin anak-anaknya punya masa depan tinggi. Itu pula kenapa dia merelakan meninggalkan kenikmatan bernama rokok saat anak pertamanya, Nusher lahir 15 tahun lalu.
Jauh dari Maccini, Aswad  juga sudah mulai menikung masuk di rumahnya dengan gerobak baksonya. Berbeda dengan Dg Baso, petang itu, Aswad tiba di rumahnya yang dia sewa Rp1,5 juta pertahun, dengan wajah irit senyum. Sehari sebelumnya dia membawa pulang duit Rp150 ribu. Waktu itu, ada demo mahasiswa dan warga di flyover. Banyak yang lapar. Aswad yang sesekali membuka tutup panci baksonya sambil menepuk-nepuk mangkuk dengan sendok, membuat nafsu makan tiba-tiba muncul. Tapi hari ini, sepertinya sangat jarang yang bergairah dengan bakso. Hanya beberapa sopir petepete saja yang singgah untuk makan siang. Juga beberapa penjaja Koran. Pembeli lainnya baru ia dapatkan saat berbelok masuk ke lorong rumahnya.
Esok, saat mentari mulai meninggi, Dg Baso, Aswad dan beberapa penjual lain kembali akan datang ke flyover. Dari situ mereka hidup. Bukan kantor, melainkan hanya sebuah jalan beratap beton.
*******
Ayu suatu ketika merasa sangat ingin bersama Allu. Mereka berpacaran. Sejak Allu mengutarakan isi hatinya tujuh bulan lalu, sejak itupula mereka resmi sebagai pasangan kekasih. Malam itu bulan bersinar hanya membentuk sabit. Namun langit tetap saja indah. Ribuan bintang membantunya memberi cahaya ke belahan bumi kecil bernama Makassar.
Ayu dan Allu sepakat memilih flyover. Sebungkus kacang, dan sebotol soft drink yang dibeli dari tokoh campuran samping rumah kos Ayu di Jl Racing Centre, teman mereka sambil duduk bersama di sadel motor.
Keduanya tampak sangat bahagia sebagai sepasang kekasih. Merenda kasih tanpa harus merasa takut terlihat bapak Ayu. Sorot lampu kendaraan yang melintas tak sedikitpun mengusik. Kadang tawa keduanya terdengar begitu lepas. Mereka sedang membincangkan masa depan. Tentang rumah mungil dengan taman beraneka bunga dan kolam ikan. Di lain waktu membahas anak-anak mereka yang sedang lucu-lucunya berlarian di taman.
Tak hanya Ayu dan Allu, Sabtu, 8 Januari malam itu. Ada Lia dengan Ilham. Juga Agus ditemani pacarnya, dan beberapa pasangan lain. Kecuali klakson dan deru mesin, yang ada hanya hening di jembatan layang itu. Tak ada suara gitar dari pengamen jalanan yang kadang meneror  jika tak dapat seribuan seperti halnya di Anjungan Pantai Losari.
Di bawah flyover, tak jauh dari tiang-tiang raksasa yang menyanggah beton sepanjang 314 m, Rum juga sedang bercengkrama dengan buah hatinya, Liza. Sebuah janji untuk saling bersama sehidup semati sejak sejam sebelumnya sudah dipatri di hati. Malam minggu itu, untuk kesekian kalinya, sejak jembatan layang yang dibangun dengan duit negara Rp 60 miliar itu rampung, Rum dan Liza menghabiskan malam di sana. Dan makin larut, flyover akan semakin ramai. Hanya isyarat pagi dan rintik hujan yang mengalahkan hati mereka untuk tetap bertahan di sana. Ya, flyover, tempat mereka memadu kasih.*********
“Jangan mau dibungkam. Ayo lawan,” Eros berteriak dengan tinju teracung. Aparat di sekelilingnya tak membuatnya takut. Senin, 3 Januari, siang itu ia memaki pemerintah. Ia kecewa. Harapannya akan sebuah negeri yang sempurna, negeri yang bisa melindungi rakyatnya, pejabat tak korup, dan masyarakat saling menyayangi, tak kesampaian.
Marahnya makin tak tertahan saat Gayus Tambunan hanya divonis tujuh tahun penjara padahal  sudah mempermalukan bangsa ini di seantero jagad. Dan hari itu, ia kembali turun ke jalan. Jas almamater yang sudah buram, kembali menemaninya. Bersama  mikrofon peninggalan zaman reformasi. Bersama puluhan teman-temannya yang entah murni atau tidak berteriak atas nama rakyat, Eros terus berorasi. Di lain waktu ia menyanyikan sair-sair Wiji Tukul yang membuat bulu kuduk bergidik.
“Presiden harus bertanggung jawab atas semua ini. Saatnya revolusi!!!!” teriak Eros persis saat aparat kepolisian berpakaian sipil menjepret wajahnya.
Eros dkk pulang saat suara mereka yang sudah parau semakin mendesak rasa laparnya. “Kami akan kembali berdemo dengan massa yang lebih besar,” ancamnya.
Belum sejam suara Eros dkk lenyap terbawa angin, ratusan ibu-ibu muncul dari arah gedung DPRD Sulsel. “Lawan neoliberalisme. Pemerintah sudah menjadi antek-antek pemilik modal bernama Amerika. Hentikan swastanisasi, saatnya rakyat kembali berdaulat,” teriak Luna, korlap aksi dengan rokok ditangan kiri dan mikrofon di lengan kanan.
Hanya beberapa menit membentangkan spanduk, setelah gambar mereka diabadikan sejumlah media, satu persatu ibu-ibu yang konon mendapat jatah Rp20 ribu mundur teratur ke tukang es. Tak lama kemudian, sisa Luna sang korlap yang berteriak sendiri.
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, flyover menjadi tempat penyampaian aspirasi  warga dan mahasiswa kota Daeng.
*********
Sejak pagi pria itu  di bawah flyover. Matanya sesekali melirik jam tangannya. Lain waktu dia mengambil henpon di saku celananya. Menelepon beberapa saat, lalu kembali memperbaiki posisi duduknya di atas sadel motornya.
Sudah sejam lebih pria itu di sana. Beruntung dia perokok berat sehingga masih ada pekerjaan lain baginya, bukan sekadar mengumpat. Mengumpat informannya yang seorang aparat. Juga mahasiswa yang telat datang.
“Di mana mako bos?” kata pria tersebut. Ada nada kesal di ujung kalimatnya.
Kerut di wajahnya baru terhapus perlahan saat melihat dari kejauhan motor berjejer, menguasai jalan dan pengendaranya tanpa helm dan berteriak. “Hidup mahasiswa! Hidup rakyat!” Teriakan ini membuat pria tadi langsung berdiri. Kamera dari tas dikeluarkan. Kertas notes juga mulai dicoret.
Pria itu Rahman. Dia wartawan salah satu Koran di kota ini. Rabu siang itu, saat rombongan mahasiswa meninggalkan flyover, giliran Rahman yang memegang mikrofon.  
Dalam sepekan, sudah dua kali Rahman turun jalan. Penganiayaan wartawan di Palu dan penculikan yang menimpa rekan seprofesinya di Maluku menuntunnya bersama beberapa rekannya untuk bersuara lantang.  Rahman merasa prihatin dengan upaya pembungkaman pers oleh oknum pejabat dan pengusaha yang merasa terusik dengan pemberitaan.
“Lawan kriminalisasi pers. Kawan-kawan tidak boleh gentar,” tegas Rahman. Saat Rahman sedang asyik dengan orasinya, Wina menjempretnya. Anto dan Ari juga tak ketinggalan menyorotkan moncong kameranya. Sejak pagi, mereka juga sudah di flyover. Tak berselang lama, mikrofon bergeser ke tangan Wina. Lalu menyusul Anto dan Ari. Bergantian juga mereka saling liput. Wartawan Makassar sangat akrab dengan flyover. Setiap pekan, ada saja liputan demonstrasi di sana.***********
Sudah hampir setahun pohon-pohon trembesi itu di flyover. Usia ini harusnya membuat pohon berakar tunggang  tersebut berbatang besar. Tapi tidak, pohon-pohon yang ditanam di sisi jalan di bawah flyover masih terlihat ringkih. Kurus. Hanya daunnya yang masih hijau yang menandakan pohon ini hidup.  Tak pasti penyebabnya. Bisa lantaran ditanam seadanya atau juga karena memang tak terurus.
Tapi tak perlu meributkan nasib trembesi. Sebab di flyover masih terlalu banyak masalah yang secepatnya mesti dituntaskan. Lihat para mahasiswa yang menjadikan demonstrasi sebagai rutinitas. Mereka turun ke jalan karena ada masalah. Bangsa ini sedang sakit dan mahasiswa-mahasiswa itu sedang ingin membawanya ke jalur rumah sakit terdekat.
Tengok juga si Syahrul kecil. Dia mestinya sekolah, tapi kemiskinan menjeratnya. Hingga dia harus berpeluh keringat di saat bocah ini mestinya menikmati mobil-mobilan bukan malah berlarian menggapai tangan-tangan  di atas mobil dalam silewerang kendaraan yang bisa saja merobohkan tubuh mungilnya.
Pikirkan juga Dg Baso dan Aswad. Tiap hari mereka menggantungkan nasib keluarganya di flyover. Dari tetes keringat merekalah keluarganya hidup. Jika saja sekolah digratiskan sejak dulu, dia mungkin sudah berdasi dan mengumpulkan duit dari belakang meja.
Ayu dan Allu juga. Andai pengamen di Losari tak meneror mereka usai memberikan hiburan ala kadarnya, mungkin flyover bukan tempat mereka menatap bintang dan merajut mimpi sebagai sepasang kekasih. Bisa jadi mereka akan tenang di pinggir Losari tanpa  khawatir kendaraan yang lalu lalang tiba-tiba oleng dan menimpa mereka yang sedang kasmaran di pinggir jalan.  
Lihat juga si Rahman, wartawan itu. Dia harusnya bisa fokus meliput tanpa harus ikut-ikutan berdemonstrasi hanya karena kebebasan pers masih cenderung diabaikan. Masih begitu banyak masalah di negeri ini. Dan trembesi yang mampu bertahan hidup hingga 600 tahun akan menjadi saksi dan penyampai kabar bahwa reformasi 1998 belum menjadi jaminan negeri ini sudah lebih baik. Negeri ini masih menyedihkan. Yang terlihat di flyover hanya potret kecil. (Makassar, 7 Februari 2011: Sambil menikmati tes susu di warkop 88)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya