Selasa, 08 Februari 2011

Entah…….

Gadis itu sangat mempesonaku. Kecantikannya yang tanpa  makeup, kesederhanaannya, dan cara bertuturnya, membuat saya kembali merasakan debar seperti saat masih SMA dulu. Dan saya yakin, makna debar itu belum berubah. Itu masih debar-debar asmara.  Saya jatuh cinta.
Entah takdir seperti apa yang digariskan Tuhan pada saya dan Azizah. Rabu, 9 Februari 2011, kami sama-sama ikut sebuah acara di Malino.  
“Saya Miro tapi bukan Miro Baldo Bento si pesepakbola atau Miroslav Janu sang pelatih Arema. Lengkapnya Amiruddin, hehhehehe….,” kataku sambil menjulurkan tangan. Saya ingat nama Miro ini diberikan teman waktu masih kuliah dan saya pikir tidak akan mengurangi tingkat kepedean saya di hadapan mahluk berparas idaman ini.
“Azizah. Bisa panggil Cica, yang jelas bukan Aziz,” katanya membalas guyonan perkenalan saya.
Dan tiba-tiba saja kami sudah sangat akrab. Bahkan ketika kuajak dia ke kafe dekat vila tempat acara, dia menurut saja.
Kami saling bercanda. Saya berceloteh bak burung kenari di hadapannya. Tak pernah lelah untuk membuatnya tersenyum. Atau sekadar menggelitiknya dengan cerita masa lalu sambil mengintip deret giginya yang putih dan tersusun rapi. Bahagia sekali rasanya. Melihat tawa Cica yang begitu lepas, saya yakin dia juga menikmati kebersamaan itu.
Sampai akhirnya, saya yakin dia sepenuhnya milikku ketika bibirku mendarat di bibirnya dan dia tak menolak.
Malam panjang kami lewati berdua di sudut kafe. Saling mengucap kata cinta. Berbagi nomor telepon dan membuat janji untuk kelak saling setia. Kokok ayam tak pernah membuat mata kami lelah. Hingga mentari pagi mengusir gelap, saya baru melepaskan pelukan dan aroma wangi rambut Cica. Begitu sulit melepas Cica pagi itu kembali ke kamarnya.
 Siangnya, saat acara santap bersama. Cica sudah lebih awal di ruang makan. Dia tampak segar dengan rambutnya yang masih basah. Seyumnya manis sekali siang itu saat mengantre di meja prasmanan. Saya memilih berdiri di sampingnya. Dua piring yang dia pegang sekaligus sudah berisi penuh nasi dan lauk. Ada telur dan ikan kesenangan saya. Dia pilih sendiri tanpa meminta persetujuan lebih dulu. Dalam hati saya berpikir, wanita ini betul-betul pelayan pria yang baik. Dia akan menjadi istri yang sempurna.
Cica masih tetap memegang kedua piring itu saat melangkah ke meja makan. Saya hanya mengekor saja dari belakang. Bak raja dari kerajaan masa lalu, saya tinggal makan saja. Saya sudah bersiap menarik kursi untuk duduk ketika merasakan ada yang ganjil. Piring berisi makanan tadi ternyata diberikan Cica ke seorang pria yang lebih dulu duduk di meja. Sedikit kikuk, saya langsung meneruskan langkah ke meja lain.
Dalam hati saya bingung sendiri. Muka memerah lantaran malu tak bisa saya sembunyikan. Saat masih berjuang menstabilkan pikiran, Cica datang mendekat.
“Itu suami saya. Dia baru datang pagi tadi,” katanya singkat dan telak. Telak menghantam dada dan mengiris-iris hati saya. Kata-kata itu membuat saya tiba-tiba histeris dan langsung berlari ke luar ruang makan, tanpa memperdulikan orang-orang. Saya hanya berusaha berlari sejauh mungkin. Sampai akhirnya nafas seperti sudah akan berhenti. Beruntung, saat badan sudah sangat letih, nyaris pingsan dan terjatuh di jurang di sisi kanan jalan, seorang wanita muncul dan menolong.
“Ayah bangunmaki salat,” begitu sms istri saya Rabu dini hari tadi. Nada dering pesan singkat itu membangunkan saya yang sudah nyaris terperosok di jurang. (Makassar, 9 Februari, saat hari masih sangat pagi dan masih terbayang kisah di sudut kafe bersama Cica)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya