Selasa, 26 Mei 2009

Di Ujung Jarum, Satu Generasi Itu Hilang

"Bos, minta api mu," ucap Ib saat bermaksud membakar rokok seraya menjulurkan tangannya. "Korek saja, jangan sampai tertular ko teman," sambung Ib, suatu malam di penghujung 2008, saat Fajar menemuinya.

AMIRUDDIN, Makassar


Ib, itu nama inisial. Wajahnya hitam dengan mata sayu. Dia pria berusia 28 tahun. Kurus. Rambutnya sebahu. Bandol di kepalanya. Ia tinggal di salah satu jalan di bagian selatan Makassar.

Wajar jika Ib tak hendak meminta api lewat rokok. Ia mungkin khawatir penyakitnya berpindah. Ya. Ia salah seorang pengidap AIDS di kota ini. Salah satu pembunuh kelas wahid di dunia.

Kondisi Ib cukup memprihatinkan. Namun di lain sisi ia masih cukup beruntung.
Memprihatinkan bahwa ia tahu telah mengidap AIDS lebih dari setahun lalu. Beruntung, sebab dari 20 teman masa kecil hingga remaja dan merangkak dewasa, kini tersisa lima orang termasuk dia. Satu persatu sahabat kecilnya pergi mendahuluinya. Ya, satu generasi itu pergi satu persatu dijemput malaikat maut setelah mengidap AIDS.

Kematian lima belas pemuda yang tergabung dalam geng, sebut saja geng X, dimulai 2007. Terakhir, dua rekan Ib meregang nyawa beberapa hari setelah idul fitri 2008.

"Mereka meninggal dalam kurun waktu satu minggu. Tidak tahu saya kapan. Tapi mungkin hampirmi juga," ujar Ib lirih. Penggalan kalimatnya sarat penyesalan.

Belenggu AIDS yang menghantam satu generasi ini bermula dari ketergantungan mereka terhadap obat-obatan. Awalnya tahun 1997 hanya ganja. Namun berselang dua tahun, anggota geng X beralih ke putaw. Ampas heroin.

Geng X ini, berdiri 1995 dari pemikiran membentuk kelompok musik. Anggota awalnya 60 orang. Sebagian besar mengecap pendidikan hingga SMU. Awal terbentuk, mereka kerap mengikuti festival musik di dalam dan di luar Kota Makassar.

Tak ada yang menyangka jika anggota geng X yang berasal dari keluarga mapan bahkan pejabat ini sudah terlibat jauh dalam dunia hitam. Pasalnya, mereka aktif dalam kegiatan sosial di tempat tinggalnya. Mulai kerja bakti, hingga penjagaan keamanan. Simpatipun mereka dapatkan dari orang-orangtua.

Tahun 1997, pergaulan dan lingkungan luar mulai menjerumuskan sebagian besar dari mereka dalam obat-obatan dan minuman keras. Bermula dari ganja atau cimenk yang diperoleh dari saweran alias kumpul uang. Ketika itu, ganja masih terjual "bebas". Polisi belum banyak yang tahu jenis narkoba ini. Jadinya, ketika mengonsumsi, tak harus sembunyi-sembunyi seperti sekarang. Ketika itu, belum ada razia ketat kepolisian. Makanya, mengisap ganja di pinggir jalanpun jadi.

Tiga tahun ketergantungan ganja, tahun 2000, peredaran narkoba terus berkembang di Makassar. Merekapun mulai kenal dengan sang pembunuh tingkat tinggi, putaw atau nama sandinya PT. Tidak hanya sebagai penikmat, merekapun tergiur menjadi pengedar. Keuntungan besar menjadikan mereka larut.

Karena keuntungan yang didapat besar, tanpa mereka sadari, ternyata muncul sekat satu sama lain. Perebutan pasar, membuat anggota geng X mulai terpecah. Satu persatu mulai keluar membentuk geng sendiri. Ada tiga geng pecahan geng X. Walaupun geng X tetap berdiri, jumlah mereka sisa 20 orang, termasuk Ib.

20 anggota geng X inilah yang semakin larut buaian nikmat sesaat putaw. Mulailah muncul "kejahatan" lain yang mereka lakukan demi mendapatkan putaw. Mulai menjual barang orangtua, hingga tindak kriminal.

Seiring kencangnya genderang perang terhadap narkoba di kota ini, razia pun terjadi di mana-mana. Satu persatu anggota geng X pun masuk bui. Sejak 2003 mereka menjadi narapidana dengan vonis dua hingga lima tahun kurungan di lembaga permasyarakatan (LP) Salemba, di Jl Sultan Alauddin.

Saat di lembaga itulah, Ib yang beberapa waktu lalu bebas, dinyatakan mengidap HIV-AIDS. Ia berdalih penyakit itu menjangkitinya di LP. "Lebih baik di dalam (LP) bos. Putaw gampang didapat. Tinggal tunggu pengantar. Tapi lumayan mahal. Anak-anak pakai saat istirahat," cerita Ib.

"Ada tonji (juga) anak-anak yang kena di luar. Mungkin, ini mungkin nah, kan petugas LP ketika ada napi yang positif HIV-AIDS, dibebaskan keluar berobat. Di situmi (situlah), ada yang makai sama-sama. Tidak ada lagi yang dipikir kalau sudah sakaw," lanjut Ib seraya meminta sebatang rokok.

Pertengahan tahun 2006, satu anggota geng ini pertama divonis mengidap HIV-AIDS. Tapi vonis dokter tidak membuat mereka jera. Satu jarum suntik tetap digilir. Mereka hanya menyiapkan air mineral untuk diminum dan mencuci jarum suntik yang digilir.

"Yang saya tahu Hd (anggota geng X yang meninggal pertama, red) pernah mengidap. Selama hampir satu tahun penyakitnya dia bawa hingga meninggal awal 2007. Berikutnya, disusul anak-anak yang lain. Mudah-mudahan saya yang terakhir," katanya.

Hilangnya satu generasi akibat putaw seperti halnya dialami geng X ini bukan hanya terjadi Makassar. Di kabupaten kota lain di Sulsel juga terjadi fenomena sama. Di Kabupaten Wajo misalnya, ada satu geng sekolah yang anggotanya juga nyaris habis.
"Saya sempat merawat satu di antara anggota geng itu. Pengakuannya, ia berteman sepuluh orang dan saat itu, ia mengaku sudah lima orang yang meninggal. Mereka juga pengguna putaw," kata Ketua Pokja virus HIV/AIDS RS Wahidin Sudirohusodo, Dr dr Syamsu Sp PD, Selasa, 26 Mei.
Menurutnya, geng ini menggunakan jarum suntik secara bergantian saat memakai putaw. “Yang saya obati itu juga kini sudah meninggal,” bebernya.

Di Makassar sendiri, geng-geng pemakai putaw yang menggunakan jarum suntik secara bergantian bukan hanya geng X yang lima anggota sisanya kini juga positif AIDS. Di sejumlah wilayah di Makassar, ada geng pemuda lain yang nasibnya sama. Mereka juga hilang satu per satu. "Ada beberapa geng di kota ini yang satu per satu anggotanya meninggal karena AIDS. Mereka pengguna jarum suntik dan pengonsumsi putaw. Tapi mereka sudah terkena AIDS sejak empat atau lima tahun lalu," kata Ilham, staf Dinkes Makassar yang khusus menangani soal HIV/AIDS, beberapa waktu lalu..

"Bahkan, hampir setiap hari, ada saja anggota-anggota geng seperti itu yang meninggal. Hanya memang sebagian besar tidak diketahui," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar, Naisyah T Azikin.

"Seandainya ada anggota BNN (Badan Narkotika Nasional) dan polisi yang mau bekerja sama memberantas peredaran Putaw di sini, saya yang pertama angkat tangan setuju. Terserah apa kata yang lain."

Kalimat itu meluncur dari mulut seorang pria Manado, suatu malam di penghujung 2008. Saat itu, jarum jam menunjukkan pukul 01.30 ia duduk berbincang bersama Fajar..

Bukan tanpa alasan pria berparas gagah itu berucap demikian. Sebagai mantan narapidana, termasuk kasus narkoba, ia sudah merasakan begitu kejamnya bergelut dalam dunia hitam penuh candu ini. Salah seorang buah hatinya, mendapatkan sakratul mautnya berawal dari putaw.

Sebenarnya, pria berpostur tak lebih 165 cm itu berusaha melupakan masa lalunya yang kelam. Namun desakan bahwa tulisan ini bisa menyelamatkan generasi muda yang terjerembab, meluluhkannya.
"Oke kalau begitu. Tapi tidak banyak lagi yang saya ingat,” ungkapnya seraya mengepulkan asap rokok dari bibirnya. Ia keluar dari LP Salemba tahun 1995.

Pria ini, sebut saja Alex, tahu banyak soal putaw. Ketika menyinggung putaw dan peredarannya di Makassar, Alex sempat terdiam. Mungkin saking bencinya mendengar nama barang haram itu. Ia bahkan mengumpat dengan bahasa kotor.

"Seandainya kamu tahu bagaimana perasaan saya, ketika melihat anakku meninggal karena AIDS, mungkin, kamu tidak mau tanya tentang itu," ujarnya.

Setelah menenangkan diri beberapa saat, Alex bercerita kembali.
"Peredaran putaw di wilayah sini luar biasa", katanya.

Anggota geng X di wilayah selatan Makassar juga sangat dikenal Alex. Ia menyebut mereka, khususnya yang masih hidup hanya pengguna. "Dulu saya juga sempat pakai beberapa kali. Alat suntik yang saya gunakan, saya buang setelah memakai. Karena saya selalu ingat anak istri saat memakai, jadi saya berhenti," katanya. Dia mengatakan, peredaran putaw di Makassar sulit diberantas. Pasalnya, dibekingi oknum petugas.

Alex membeberkan, anaknya satu dari 15 anggota geng X, geng anak muda yang meninggal karena HIV/AIDS. Putaw-lah awal musibah itu. Memang, katanya, sebagian besar anggota geng ini terkena AIDS di LP. Namun anaknya, terjangkit di luar. "Anakku terjangkit di rumah. Saat itu, saya tidak tahu di kamarnya dia memakai bersama empat temannya. Pertama saya lihat, hanya satu orang seperti sakit flu. Pas keluar, semuanya sudah terlihat flu," ceritanya.

Berselang beberapa bulan kondisi tubuh anaknya melemah. Ia pun berinisiatif memeriksakannya dan dinyatakan positif. "Karena putaw, anakku tersiksa beberapa bulan di RS sebelum meninggal. Seandainya putaw manusia, lebih baik baku bunuh ka (saling bunuh), pas saya lihat anakku meninggal. Apalagi dia anak laki-laki tertuaku," kenangnya.

Peluang terjangkit HIV/AIDS lewat jarum suntik ini memang cukup besar. Berdasarkan estimasi akhir 2007, ada 6.000 hingga 9.000 IDU (injecting drugs user) atau pengguna putaw di Sulsel. Makassar sendiri, sekira 4.000-6.000 IDU.

Ketua Pokja virus HIV/AIDS RS Wahidin Sudirohusodo, Dr dr Syamsu Sp PD mengatakan, pasien Odha umumnya tertular melalui jarum suntik. Menurutnya persentasenya mencapai 70%. Syamsu pun berharap jaringan peredaran narkoba ditangani serius.

"Pasien asal Sengkang yang saya tangani akhir 2007 lalu mengatakan tergabung di geng sekolah pengonsumsi putaw. Katanya, saat masih sekolah, hampir 50 persen siswa laki-laki pernah mencoba putaw. Kami yakin banyak geng demikian di sekolah," katanya.

Sementara itu, Kadis Kesehatan, Naisyah T Azikin mengatakan, yang jadi masalah banyak pemakai narkoba yang positif AIDS tapi tetap mengonsumsi narkoba suntik.
Ketua I KPA Makassar ini mengatakan, pemerintah berharap kerjasama aktif kepolisian. "Inilah harapan pemerintah. Dan bagi kami, vonis HIV/AIDS itu bukan akhir segalanya. Tapi bagaimana menjaga, memelihara serta meningkatkan kualitas hidup. Misalnya berperilaku hidup sehat. Jangan kalau sudah divonis tetap mengonsumsi, itu jelas berbahaya. Pasti akan pindah ke orang lain," katanya.

Pemkot kata Naisyah sekarang mengembangkan kelompok dukungan sebaya (KDS). Anggotanya pengidap AIDS yang sadar. Mereka menjadi pendamping agar anak yang putus asa, dan menyuntik dirinya lalu menyuntik orang lain agar penyakitnya pindah, itu bisa disadarkan. (amiruddin@fajar.co.id)