Rabu, 04 Februari 2009

Kospin, Derita Berkepanjangan, dan Seekor Kucing

Saya tak bisa lagi mengingat tanggal dan bulan pasti pertama kali saya melihatnya di Jl Perintis Kemerdekaan tepat di samping swalayan Alfa yang kini sudah menjadi Carrefour. Yang saya jamin tidak salah, adalah bahwa kala itu, tahun 2004. Persis setahun setelah saya menyelesaikan kuliah di Fakultas Sastra Unhas. Meraih gelar sarjana yang sama sekali tak bermutu.



Saat itu, malam beranjak larut menuju dini hari. Malam itu, sebenarnya secara tak sengaja saya melihatnya. Ketika pulang dari kantor, saya terusik dengan nyala pelita di balik tenda berwarna biru. Cahayanya samar-samar. Bahkan nyaris tak tampak dari kejauhan.

Malam itu, saya sama sekali tak berpikir jika di situ sebenarnya ada seorang ibu tua. Ibu tua yang hidup sebatang kara di bawah sebuah tenda biru. Ya, namanya Ibu Ijah. Ia ketika itu sudah berusia 70 tahun. Tak seharusnya memang, ibu setua itu berada di pinggir jalan di usia yang sudah 70 tahun. Seharunya, ia bisa menghabiskan sisa-sisa hidupnya dengan nyaman dan tenang. Tinggal di rumah, menimang cucu, atau paling tidak, dekat dengan orang-orang tercintanya. Namun, itulah faktanya. Di usianya yang sudah senja, ia malah menghabiskan masa tuanya di bawah tenda, tanpa keluarga, dan tanpa kasih sayang.

Tapi, malam itu, saya tak mendatanginya. Sekadar menanyakan keadaannya, apakah ia sakit, atau ia mungkin lapar, pun tidak saya lakukan. Setiap malam, ketika saya pulang dari kantor dan mengendarai motor saya yang juga sudah berusia senja, saya hanya mengamatinya dari jauh. Tak lebih dari itu. Sampai pada suatu hari, saya akhirnya harus meninggalkan Kota Makassar untuk bertugas di kota Parepare, sekira 160 km dari Makassar. Kala itu sudah 2005.

Sebagai seorang wartawan, ketika saya sebenarnya mengkritisi naluri jurnalistik yang saya miliki.
"Kenapa saya tak pernah mencoba memberanikan diri mendekat, atau sekadar menyapa ibu tadi. Jangan-jangan ia dulunya seorang wanita kaya. Atau bisa jadi, ia janda seorang pejabat yang ditelantarkan setelah uzur. Atau ia ternyata seorang ..............." Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengganggu pikiran saya.
"Bagaimana kalau tiba-tiba ada wartawan yang mengangkat kisahnya dan ternyata sangat menarik. Sungguh meragukan kualitas kewartanan saya." Pikiran-pikiran seperti ini yang jauh lebih sulit untuk disingkirkan. Selalu mengganggu.
************
Tapi seperti kata pepatah, "Kalau Jodoh Takkan Kemana." Ya, saya memang ditakdirkan untuk menulis kisah dan nasib Ibu Ijah. Pada tahun 2007, saya kembali ditarik ke Makassar. Saya pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. 28 Mei, saya langsung mendatanginya.

Sore itu, Ibu Ijah sedang sibuk menjahit bajunya yang robek. Sama sekali dia tak menghiraukan keadaan di sekelilingnya. Bunyi suara knalpot mobil dan motor yang melintas hanya sekitar enam atau tujuh meter dari tempatnya duduk tak membuat dia berpikir berhenti dari aktivitasnya itu.

Sekitar setengah jam kemudian, perempuan tua itu mengambil dua tas. Satu tas pinggang dan satunya lagi ransel. Setelah itu, ia bergegas berdiri dan keluar dari balik tenda berwarna biru yang penuh sesak dengan barang. Sejenak ia merapikan rambutnya dan berniat melangkah. Namun baru saja akan melangkah, penjual es campur yang berjualan tak jauh dari tendanya, datang dan menyapanya.

Mereka terlihat berbincang serius. Si wanita beberapa kali menunjuk ke arah tenda yang layaknya tenda anak pramuka. Entah, apa yang ditanyakan si penjual es campur tadi.

Saat itulah, dari tempat saya berdiri, saya melihat dua kompor, beberapa panci, gelas, piring, tempat air yang
dibeli sendiri, serta pakaian yang dibungkus beberapa tas.

“Saya sudah beberapa tahun tinggal di sekitar sini. Pastinya saya tidak ingat lagi, namun kira-kira sepuluh tahun. Sebelum di sini, saya tinggal di lokasi bangunan Alfa, juga dengan tenda. Saat Alfa mulai dibangun saya pindah ke sini,” kata Ibu Ijah sambil menunjukkan tenda tempat tinggalnya kepada saya
yang ikut mendekati tendanya beberapa saat setelah penjual es campur tadi menyapanya.

Sore itu, saat si penjual es campur mendatanginya dan lalu saya susul, Ibu Ijah mengaku akan pergi ke salah satu rumah di sekitar jembatan Tello. Sekira 700 meter dari tendanya. Namun, rencana itu diurungkan karena sibuk melayani pertanyaan-pertanyaan saya. Saat berbincang saya melihat Ibu Ijah sebagai sosok tegar. Meski hanya tinggal di bawah tenda dan tidur di atas tumpukan barang-barang, termasuk tas pakaiannya.

“Saya sudah terbiasa. Saya memasak, makan dan tidur di sini. Kemarin saya juga sempat membeli ikan Rp 2.000,” katanya.

Ia lantas membuka panci yang masih berisi nasi yang baru saja matang dan belum disentuh sama sekali. Karena tinggal di bawah tenda, hidup Ibu Ijah tidaklah enak dan nyaman. Bahkan, menurutnya, jika malam tiba, ia tidur di atas tumpukan barang-barang miliknya. Berbeda dengan empat tahun sebelumnya, Ibu Ijah mengaku tak lagi memiliki lampu ataupun pelita di dalam tendanya.

“Lampu jalan cukup terang, makanya saya tidak mencari lampu sendiri. Kalau malam, saya tidur ditemani kucing. Nyamuk juga banyak, tapi saya sudah terbiasa,” ujarnya menceritakan kehidupannya.

Sejak hidup di bawah tenda ia mengaku tak pernah kehujanan. Alasannya, ia tidur di atas barang dan hanya beberapa centimeter saja dari tenda. Hanya saja, bunyi hujan yang menerpa tenda diakui mengganggu saat ia mencoba tidur. Satu kesyukuran Ibu Ijah, slama sekitar sepuluh tahun hidup di bawah tenda, ia tak pernah sakit keras. Paling-paling, ia hanya sakit kepala. Untuk tetap bertahan hidup, Ibu Ijah mengaku banyak dibantu orang.
“Saya biasa dikasi uang sama orang. Uang tersebutlah yang saya pakai beli beras,ikan, serta peralatan masak,” bebernya.

Pengakuan Ibu Ijah itu juga dibenarkan beberapa tukang becak yang mangkal di depan Alfa.

Bagaimana sebenarnya awal Ibu Ijah tinggal di bawah tenda. Apakah ia memang tak punya keluarga?
Kepada saya, ibu Ijah menuturkan jika ia sebenarnya orang Leureng, Siwa, Sengkang. Sebuah daerah berjarak sekira 250 km ke arah selatan Makassar. Ia mengaku sebenarnya punya rumah di sana. Hanya katanya ia diusir orang.
Siapa orang yang mengusirnya, Ibu Ijah enggan bercerita. Yang pasti kata dia, itu bukan keluarganya.

"Barang-barang saya juga diambil. Kalau di Makassar ini, saya tidak punya rumah, jadi saya tinggal di tenda saja,” katanya.

Ibu Ijah juga mengaku punya beberapa anak. Katanya, suaminya bernama La Muga. Namun sudah meninggal dunia. Dulunya, suaminya bekas tentara asal Tala, Kabupaten Pangkep. “Saya melahirkan anak sepuluh. Tiga di antaranya
meninggal. Ada juga di antara anak saya sopir mobil. Setelah suami pertama saya meninggal, saya sempat kawin lagi namun akhirnya saya tinggalkan,” katanya yang sesekali berbicara dalam bahasa Bugis.

Ibu Ijah sendiri tak banyak bercerita soal anak-anaknya. Termasuk di mana mereka dan kenapa ia tak ikut pada salah satu anaknya yang sudah besar.

Yang mengejutkan saya ketika Ibu Ijah mengaku sebagai salah satu korban kospin (koperasi simpan pinjam) yang menggegerkan Sulsel 1998 silam ketika tiba-tiba dinyatakan bermasalah. Ternyata, Ibu Ijah juga salah satu korban kospin yang sempat menghebohkan Sulsel dan membuat sejumlah warga tiba-tiba mengalami stres.

Saya sempat mendesak Ibu Ijah untuk bercerita banyak soal kospin yang membuatnya menderita. Namun untuk yang satu ini, Ibu Ijah memiliki bungkam. Ia lebih banyak hanya menjawab pertanyaan saya dengan sunggingan senyum. "Saya memang kehilangan uang sekitar Rp 50juta," kata Ibu Ijah. Uang yang dia masukkan ke kospin dengan harapan mendapat uang yang lebih banyak ternyata tak kesampaian. Pada tahun 1998, Suparman selaku bos kospin di Pinrang ditangkap. Ibu Ijah dan ribuan warga lainnya yang berharap untung akhirnya buntung. Ibu Ijah bahkan mendapat derita berkepanjangan dari kasus itu. Tak ada lagi rumah, uang, sanak famili. Yang ada hanya tenda biru dan seekor kucing sebagai teman tidur. (calonbupatibarru@yahoo.co.id)