Kamis, 09 Februari 2012

Lampu Merah Kita

SAYA selalu bangga tinggal di Kota Daeng, Makassar. Tapi berlama-lama di lampu merah (traffic light ) membuat kepala saya selalu nyaris dipenuhi umpatan. Berdebulah. Lamalah. Semrawut. Dan saya selalu merasa terusik, terganggu, dan kadang-kadang seolah terancam.


Seperti Kamis malam, 9 Februari 2012 ini. Sinaran rembulan yang berhasil mengusir mendung yang selama beberapa pekan memonopoli langit Makassar, dan sempat membuat saya merasa begitu tenang menyusuri Jl AP Pettarani, harus rusak lagi.

"Choki-choki, Pak. Seribu dua. Ini untuk sumbangan." Seorang perempuan bernama Dewi, menghampiri saya di Lampu Merah Pettarani. Lumayan manis sebenarnya anak ini. Meski tubuh mungilnya kelihatan jelas menjadi kekurangannya. Tapi lama-lama, saya terganggu juga. Satu detik, dua detik, lima detik, teman-temannya yang lain mendekat. Awalnya hanya tiga tangan dengan Choki-choki dalam genggaman di depan wajah saya. Namun muncul tangan lain. Ada di kiri. Lalu muncul juga di bagian kanan wajah. Rasanya seperti di terminal saja. Rasanya seperti sedang dikerumuni sopir angkutan luar kota yang sedang mencari penumpang. Mereka berebut. Sebagian menarik tas, yang lain memegang tangan.

Baru saja mengangkat tangan tanda sedang tak berminat membeli Choki-choki, muncul lagi pengamen. "Ada apa lagi ini?" kata saya meski mereka sebenarnya mengamen di mobil di samping saya. Cara mereka menyanyi dan memetik gitar sudah merusak lagu-lagu Iwan Fals. Itu jelas mengganggu saya yang sejak lama jadi pengagum Iwan. Mereka seolah mau kehabisan nafas dan hanya berteriak-teriak saja.

30 detik seolah sangat lama di lampu merah. Banyak rasa yang muncul. Jengkel melihat pengamen yang tidak bisa ditertibkan dan berlagak preman. Terusik dengan pedagang dadakan dari kampus yang membuat lampu merah sesak. Belum lagi bocah-bocah umur di bawah 10 tahun yang entah dari mana asalnya dan siapa orangtuanya.

Ini baru cerita malam. Pagi, siang, hingga sore kadang lain lagi. Saat siang, selain asap knalpot petepete, di lampu merah kita juga ada pengemis dan pengamen jalanan cilik. Entah kenapa pengemis ini susah ditertibkan. Padahal sudah ada Perda yang mengatur bahwa mereka hanya boleh di tempat ibadah atau di pemakaman.

Sedangkan pengamen cilik, ngeri melihat mereka. Berbekal kaleng, mereka mendekat ke mobil saat lampu merah. Paku ukuran paling panjang digunakan sebagai pemukul kaleng sambil bernyanyi dengan lagu-lagu yang sama sekali tidak enak di dengar. Tanpa irama yang jelas, nyanyian seolah tertutupi bunyi kaleng. Pengendara yang takut mobilnya tergores, akan memberi mereka beberapa recehan atau lembaran rupiah. Tak jelas, taktik menakut-nakuti pemilik kendaraan dengan paku ini dari mana.

Lampu merah juga belakangan dijadikan tempat operasi "biro iklan jalanan". Berbagai selebaran pengobatan alternatif dibagi-bagi di lampu jalan. Tak ada aturan. Pemuda-pemuda berseliwerang  membagikan selebarannya di antara kendaraan yang mengantre dan ribut dengan suara klaksonnya. Mereka kadang membuat macet saat lampu hijau sudah menyala.

Belakangan juga muncul penjual kue. Jadinya, persaingan hidup di lampu merah kita pun semakin ketat. 

Akhirnya, kita harus semakin waspada. Awas lah dengan motor di depan Anda, sebab bisa jadi ada penjambret spesialis lampu merah. Atau mawas dirilah untuk ancaman lain dari belakang, sebab bisa jadi pengantar jenazah yang kini menjadi penguasa jalanan sedang menganyunkan bambu, kayu, atau cambuk besinya sambil berteriak, "Minggirko!". (Makassar, Kamis, 9 Februari 2012: Lagi cari masalah orang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya