Kamis, 26 April 2012
El-Clasico dan Nasib Sepak Bola Kita
EL-CLASICO, duel klasik yang mempertemukan dua raksasa sepak bola Spanyol, FC Barcelona dan Real Madrid tersaji Minggu, 22 April 2012, dini hari kemarin. Begitu menariknya laga dua tim pengkoleksi gelar La Liga terbanyak ini. Dua hari menjelang pertandingan yang sangat menentukan siapa yang akan menjadi jawara La Liga musim ini, koran, media online, hingga TV sudah membahas "panasnya" aura pertemuan Barca-Madrid di Camp Nou. Status pengguna situs pertemanan Facebook turut "memanaskan" tensi sehari menjelang laga. Bahkan jam per jam menjelang kick off dua rival abadi ini diikuti perubahan status pengguna BlackBerry.
Teman-teman saya di BB misalnya menulis, "5 Jam Menuju El-Clasico", "Satu Jam Menjelang El-Clasico", "Sejam Lagi Madrid Keok", hingga "Ayo Madrid, Buat Mereka Menangis di Camp Nou". Puncaknya, nonton bareng (nobar) di mana-mana.
Di Makassar, nyaris tak ada warung kopi atau kafe yang tak menggelar nobar. Satu jam menjelang laga dimulai, dan setelah mengisi kampung tengah alias makan saya berkeliling Kota Makassar. Apa yang saya lihat? Wow, dini hari yang ramai. Bahkan di
Woodsy Gab, kafe yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo yang memang menggelar nobar besar-besaran dan disiarkan live TV One, suasana tak ubahnya sore hari. Kafe yang terletak di depan kantor Gubernur Sulsel itu sesak pengunjung. Separuh berbaju Madritista (sebutan fans Real Madrid). Selebihnya dengan baju biru-merah milik fans The Catalans, Barcelona. Parkir kendaraan pun meluber hingga ke luar area kafe.
Saat pertandingan sudah berlangsung, dari menit pertama hingga menit ke-94 Broadcast Message atau Pesan Berantai lewat BlackBerry seolah bersahut-sahutan. Fans Barca dan El Real saling memberi dukungan. Sebagian saling ledek. Saya sendiri yang "cinta mati" Real Madrid mengirim setidaknya enam kali pesan berantai.
Selama 94 menit pertandingan, sedikit pun saya tidak ingin memejamkan mata. Aksi-aksi CR7 (Cristiano Ronaldo) dan Si Manusia Setengah Dewa, Lionel Messi yang juga berebut El Pichichi alias top scorer, berikut pemain lainnya, begitu memukau.
Mereka memperagakan skill individu masing-masing seolah sadar bahwa ada 400 juta pasang mata sedang menyaksikan aksi mereka. Dua arsitek bola terbaik dunia, Pep Guardiola dan Jose Mourinho juga tampil dengan ciri khas masing-masing di pinggir lapangan. Sesekali keduanya menyampaikan pesan serunya duel anak asuhnya lewat bahasa tubuh. Kadang menggeleng atau memegang kepala bak orang yang sedang pusing.
94 menit terasa sangat cepat. Dan Los Blancos sebutan Madrid yang tadinya selalu merasa inferior ketika berhadapan Barca akhirnya pulang dengan kepala tegak setelah meraih kemenangan ke-87 mereka di El-Clasico. Satu gol Sami Kheidira dan CR7 hanya mampu dibalas satu gol pemain pengganti Barca, Alexis Sanchez. Skor 1-2 di El-Clasico ke 218 pun memposisikan Madrid sebagai kandidat kuat peraih gelar La Liga Primera musim ini. Madrid yang unggul tujuh poin (87-81) dengan hanya
menyisakan empat pertandingan hampir pasti mustahil terkejar Xavi Hernades dkk.
Inilah akhir drama El-Clasico. Begitu banyak penggila bola yang mengorbankan tidurnya hanya sekadar untuk menyaksikan laga ini. Dan mereka tentu puas.
Suasana hati seperti ini sangat berbeda dengan saat kita menyaksikan pertandingan sepak bola di Indonesia. Masih terlalu banyak cibiran dan umpatan yang keluar dari penonton di stadion dan pemirsa yang menyaksikan pertandingan di rumah atau di
warkop serta kafe. Soal buruknya lapangan lah, atau kepemimpinan wasit dan ulah penonton.
Kualitas pertandingan kita masih sangat terlalu jauh di bawah kompetisi di Eropa atau bahkan di negara Asia lainnya seperti Jepang, Korea Selatan atau negara-negara di Timur Tengah. Kondisi ini tak lepas dari bobroknya persepakbolaan di negeri
berpenduduk kurang lebih 240 juta jiwa ini. Kepentingan politik dan egoisme segelintir orang yang tidak tahu diri telah merusak segalanya. Tak ada prestasi. Kita gagal di Pra Piala Dunia, gagal di Piala Asia, gagal di SEA Games, dan gagal segala-galanya.
Konflik yang sepertinya tak kunjung usai telah merusak sepak bola kita. Pergantian Ketua PSSI dari Nurdin Halid ke Djohar Arifin Husin hanya memberi harapan semu. Sebab setelah itu, kompetisi sepak bola kita makin kacau. Kubu yang tak puas terus
"mengganggu". Sementara kubu Djohar Arifin seolah tak mampu berbuat apapun, termasuk tak bisa meyakinkan lawan politik sepakbolanya untuk kembali ke pangkuan PSSI.
Yang terjadi kemudian, dua kompetisi bergulir. Indonesia Super League (ISL) yang ditangani PT Liga Indonesia dan Indonesian Premier League (IPL) yang dikelola PT LPIS bergulir bersama. Dua kompetisi se kasta ini sama-sama juga mendapat dukungan media. Perseteruan makin memanas ketika proses perekrutan pemain tim nasional (timnas) dilakukan untuk Pra Piala Dunia. PSSI menolak memakai tenaga pemain yang ikut kompetisi ISL. Alasannya, itu kompetisi ilegal. Hasilnya, timnas kita dibantai Bahrain 10-0.
Harusnya, hasil yang jelas mengecewakan ini bisa menjadi pelajaran berharga untuk para "politikus bola" dan segera bersatu dan berikrar untuk tak lagi berebut kursi. Tapi toh, fakta berbicara lain. Semua semakin kacau. Pengurus Persatuan Sepak bola
Seluruh Indonesia (PSSI) dan Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI) begitu tanpa malu bertahan dengan egosime masing-masing.
Akhirnya, 18 Maret 2012 lalu Kongres Luar Biasa (KLB) di Hotel Mercure Jakarta, PSSI La Nyalla Mattalitti terbentuk. Polemik dua kepengurusan PSSI pun menjadi makin besar. La Nyalla mengklaim ada dukungan mayoritas untuk PSSI-nya dari pemegang suara sah. Itu dibuktikan dari KLB yang dihadiri 81 dari 101 pemilik suara sah PSSI.
Kubu Djohar Arifin sebenarnya sempat melunak dengan memberikan pengakuan terhadap kompetisi ISL. PSSI juga bersedia mengakomodir pemain-pemain ISL untuk masuk timnas Indonesia, termasuk yang disiapkan mengikuti Turnamen Al Nakbah di Palestina, Mei nanti. Pelatih timnas senior, Nil Maizar pun memanggil 45 pemain termasuk yang bermain di ISL. Namun hasilnya, nol. Klub ISL enggan menyumbangkan pemain untuk timnas Indonesia. Klub ISL yang mendukung PSSI La Nyalla hanya akan melepas pemainnya ke timnas yang dilatih Alfred Riedl jika nanti ada pemanggilan.
Tak ada senyum kegembiraan untuk persepakbolaan kita. Prestasi timnas pun kian terpuruk. Pada peringkat FIFA, sehari setelah dipecundangi Bahrain, Indonesia berada di peringkat 146 dunia. Peringkat ini turun drastis dibanding sebelum munculnya prahara sepak bola di negeri ini. 2010 lalu posisi Indonesia adalah di peringkat 127 dunia atau urutan 19 Asia.
Lalu sampai kapan prahara di negeri yang mayoritas warganya pencinta sepak bola ini akan berakhir sehingga kita bisa mengangkat prestasi klub dan timnas kita ke level yang membanggakan? Kita tentu harus tetap mengedepankan kepentingan persepakbolaan dan berangkulan kembali sebagai warga negara yang baik dan menginginkan sepak bola kita maju. Sebab jika tidak ada keinginan baik, perseteruan sepak bola kita akan terus berlanjut. Apakah kita mau perseteruan ini menjadi duel klasik atau El-Clasico di negeri tercinta ini? Kalau memang itu keinginan kita, yakinlah ini akan abadi.
Makassar, Minggu, 22 April (Beberapa saat setelah El-Clasico: Naskah ini juga termuat di Harian FAJAR Makassar edisi Senin, 23 April)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya