Rabu, 17 Juli 2013

Semua Berakhir di ATM

Pastinya, ini siang yang indah. Macet dan panas di Tamalanrea tak bisa mengusik saya.

Baru saja menelepon Hussen, kapten kapal yang bisa mengantar saya menjelajahi surga Raja Ampat.
Biaya Rp30 juta selama 10 hari sudah tak masalah.

Menikmati pesona keindahan alam dan keragaman biota laut serta keelokan terumbu karangnya wilayah kebanggaan Indonesia itu, Rp30 juta harga yang pantas.

Banyak angan-angan muncul setelah itu. Di Raja Ampat saya akan menikmati Pulau Waigeo. Lalu hari kedua akan diving di Waiwo. Konon banyak burung cendrawasih di Desa Wisata Sawingrai, saya juga akan ke sana. Pianemo, gugusan pulau kecil yang katanya tercantik ketiga di Raja Ampat juga tidak akan terlewatkan.

"Ini kesempatan. Kapan lagi bisa bersantai," kata saya sambil tersenyum.

Kalau masih ada waktu, saya juga akan ke Kepulauan Wayag. Di telepon, Hussen bilang di situ ada Missol, primadona Raja Ampat dan juga tempat diving terindah. Sayang kalau semua ini harus dilewatkan.

"Uangnya sebentar saya transfer Pak." Itu kalimat terakhir yang menutup percakapan kami beberapa menit lalu.

Dan kini, taksi perlahan mulai lepas dari macet Jl Perintis Kemerdekaan. Jika tidak ada demonstrasi di flyover, mungkin 25 menit ke depan akan sampai di MTC.

Benar saja, jalan begitu lancar. Mobil dan kendaraan lain seperti sengaja menepi untuk memberi saya jalan. Petepete yang sering dikeluhkan warga lantaran ketidakteraturannya, seolah menghilang sejenak. Kini suasana jadi lebih sejuk lalu taksipun menepi.

Di MTC, saya langsung ke lantai 3. Tujuan saya sejak awal memang ke sana. Rencananya, sebelum berangkat ke Raja Ampat, saya ingin mencari HP baru. Saya tertarik membeli sebuah
BlackBerry Porsche P'9981. Harganya saya belum tahu. Tapi menurut teman-teman, itu BB kualitas terbaik.

Sampai di lantai 3, saya langsung ke tempat seorang teman. "Kebetulan masih ada satu. Tapi harganya Rp18.000.000," kata teman pemilik gerai HP. Jelas sekali dia meragukan daya beli saya. Wajar sebab sebelumnya HP termahal yang pernah saya beli padanya harganya hanya Rp1,6 juta.

Jujur, saya juga sebenarnya sedikit kaget mendengar harganya. Apalagi di dompet saya hanya ada uang tunai Rp3,5 juta. Namun membayangkan bagaimana saya akan menghasilkan banyak foto dan membagikan berbagai gaya ke teman-teman, itu harga yang tak merisaukan.

Apalagi Rp30 juta untuk biaya di Raja Ampat, tiket pesawat sekitar Rp8 juta dan BlackBerry Porsche P'9981 Rp18 juta, belum menghabiskan Rp100 juta yang baru masuk ke rekeningku. Malah masih banyak sisa yang bisa dipakai bersenang-senang.

Saya pun pamit sebentar ke ATM yang ada di lantai yang lain pusat perbelanjaan itu. Setelah beberapa menit antre, dengan gaya orang kaya (memegang dompet di depan kotak ATM sambil sesekali memperlihatkan jejeran kartu kredit), akhirnya saya masuk ke ATM.

Lima menit di dalam ATM, penarikan selalu batal. Aneh juga pikir saya sebab saat cek saldo jelas-jelas tertera angka Rp100.025.000. Saya sampai berkeringat dingin. Saat makin panik melihat antrean benar-benar sudah mengular panjang, tiba-tiba security masuk dan menyeret saya keluar.

"Ada apa ini, Pak? Saya mau ambil uang kok diseret begini." Saya memprotes security sambil berusaha melepaskan kuncian tangannya.

"Uang apa, memangnya kau tidak bisa melihat berapa saldo rekeningmu. Saldo Rp25 ribu jelas tidak bisa ditarik walaupun kau bermalam di ATM." Security terlihat makin marah. Tangannya juga semakin kencang menjepit leher saya. Saya sudah nyaris kehabisan nafas ketika anakku, Arung Mario menarik kakiku. Lalu, rencana ke Raja Ampat dan BlackBerry Porsche P'9981 sirna seketika. (*)

Barru, 4 Juli 2013
(Pagi yang penuh kebencian pada seorang security)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya