Selasa, 23 Juli 2013

Rindu Siti Nurbaya

Beberapa bulan terakhir ini, istriku sangat menggandrungi drama-drama Korea. Saking senangnya, foto salah satu pemeran utama drama Korea itu dijadikan DP Blackberry-nya.


Entah sudah berapa drama ia tamatkan tahun ini. Ia pernah berpekan-pekan mengikuti cerita
My Rosy Life. Queen of Reversals juga pernah menghiasi malam-malamnya.

Lalu sekarang ada Story of Mermaid, Secret Garden, 49 Days
dan Priences Hours.

Dan barusan ia "bertengkar" dengan anak bungsu kami, Arqam Arung Mario. Masalahnya "sensitif", anak dua tahun kami memindahkan chanel TV saat ibunya sedang nonton drama Korea. Sebagai ibu, istri saya mengalah. Tapi tidak menyerah. Ia memperbaiki duduknya di depan laptop dan melanjutkan mengikuti jalan cerita drama tadi.

Karena hampir setiap hari istri menonton beberapa drama Korea, saya juga kadang ikut-ikutan. Satu dua saya ikuti alur ceritanya. Dan saya mulai kagum.

Saya dan istri punya penilaian sama. Selain ceritanya yang bagus, alur kisahnya juga sulit ditebak. Itu membuat penasaran.

"Ceritanya bagus dan bikin penasaran karena jalan ceritanya tak bisa ditebak. Kalau sinetron Indonesia, langsung bisa ditahu bagaimana endingnya." Begitu kata Eka istriku dan saya mengamininya.

Alasan inilah mungkin yang membuat istri saya nyaris tak pernah menonton sinetron Indonesia.

Tapi bukan berarti istri saya sepanjang hari tak pernah melirik TV nasional dengan tayangan beragamnya. Hanya saja, jika harus memindahkan chanel ke TV lokal, istriku lebih banyak ke acara musik, memasak atau lawak. Paling sering misalnya ke TV7 dengan acara Gak Nyangka, Makan Besar dan Ups Salah. Itu di pagi hari menyelingi drama Korea-nya. Lalu di malam hari, istriku lebih banyak menonton Opera Van Java.

Memang beberapa tahun belakangan, saya pribadi menilai sinetron Indonesia tak menarik. Membosankan. Bahkan ada yang memang tak layak ditonton. Terkadang daya tariknya hanya di betis atau di pakaian minim pemerannya. Jalan kisahnya berputar-putar tak jelas dan tidak masuk akal.

Ini tentu memprihatinkan. Sebab di masa lalu, kita punya sinetron yang bagus. Misalnya di tahun 1991 ada sinetron Siti Nurbaya di TVRI. Waktu itu saya masih remaja dan rasanya menyesal jika satu episode terlewatkan. Seperti itu yang dirasakan istri saya kalau melewatkan satu hari drama Korea-nya. Makanya saya simpulkan sendiri jika sinetron Siti Nurbaya menarik.

Lalu saat itu juga ada serial drama berseri Sengsara Membawa Nikmat. Sinetron ini diangkat dari novel karangan Sutan Sati.

Kedua sinetron itu mengisahkan budaya dan kultur indonesia. Jalan ceritanya benar-benar jalan cerita Indonesia. Sederhana namun menarik. Itu yang membuatnya berbeda dengan sinetron sekarang yang kehilangan identitas ke-Indonesia-an. Akhirnya, jangan heran jika efeknya buruk.

Ke depan, saya atau kita (kalau punya penilaian sama dengan saya) sebagai warga Indonesia, tentu berharap bahwa sinetron kita akan kembali semenarik Siti Nurbaya atau Sengsara Membawa Nikmat. Kalau pun tak bisa mengedepankan kisah dan karakter lokal, setidaknya jalan cerita dan pesannya bagus untuk anak bangsa.

Barru, Selasa, 23 Juli 2013
(Ngabuburit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya