Rabu, 17 Juli 2013

Perginya Seorang Teman

Perkenalan kami di 2004. Itu tahun pertama saya di Harian Fajar. Tapi sebagai wartawan magang, saya dan H Basir Kadir nyaris tidak pernah berbincang. Saya masih kikuk "bergaul".


Tapi bukan kikuk saya saja yang jadi penghalang komunikasi kami. Kami memang beda desk. Saya di desk olahraga sementara H Basir redaktur halaman daerah. Selain itu, saya magang hanya beberapa pekan saja.

Kami baru mulai sering komunikasi saat saya dinyatakan lulus dan berhak ikut pendidikan wartawan. Setelah bertugas di Radar Sulbar, Sulawesi Barat, akhir tahun 2004 saya dipindahkan ke biro Harian Fajar di Wajo, Sengkang.

Saat itulah komunikasi kami mulai lebih intens. Meskipun H Basir, redaktur halaman Ajatappareng meliputi Barru, Parepare, Pinrang dan Enrekang, ia kadang menelepon saya. Biasanya ia menelepon jika Patauntung, wartawan harian Fajar Parepare, sedang sulit dihubungi. Untung memang orang Wajo dan setiap pulang kampung ia ke biro.

Sebagai orang baru di dunia jurnalistik, banyak nasihat dan pelajaran yang diberikan H Basir pada saya. Saya ingat ketika H Basir menangani halaman haji dan saat itu ada jemaah asal Wajo yang meninggal dunia di Mekah. Pagi-pagi, H Basir menelepon. Katanya saya harus ke rumah jemaah perempuan itu. Ia hanya memberi nama dan alamat kecamatannya.

Saya sempat bingung. Apalagi kecamatan tempat tinggal jemaah itu sangat luas. Sebagian wilayahnya pegunungan dan akses angkutan umumnya tidak lancar.
Masalah bertambah ketika hari itu ternyata kantor Depag Wajo juga tutup. Saat itu hari libur.

Karena menurut H Basir beritanya wajib ada, saya pun akhirnya berangkat juga. Setelah naik ojek mengelilingi satu kecamatan ditemani gerimis dan bertanya ke banyak orang, akhirnya saya beruntung. Rumah almarhumah saya temukan. Awalnya saya disangka bagian asuransi. Lalu semuanya jadi mudah saat mereka tahu saya seorang wartawan yang sedang meliput berita duka keluarga mereka.

Puas rasanya bisa menyelesaikan tugas tersulit pertama dalam karier jurnalistik saya. Pelajaran yang diberikan H Basir hari itu, tidak mudah menjadi seorang wartawan.

Pelajaran lainnya, seorang wartawan tidak boleh gampang menyerah dan dituntut ulet. Yang terpenting wartawan harus mampu melaksanakan tugas dengan baik.

Ketika saya akhirnya dinyatakan lulus menjadi wartawan Harian Fajar, kami makin sering bertemu. Dan dalam proses itu, H Basir tetap sering menasihati saya dan tentu saja wartawan baru lainnya.

Diterima bekerja dengan gaji yang cukup, wartawan baru termasuk saya berusaha memperlihatkan kinerja bagus. Tak hanya pada hasil tapi juga proses.

Melihat keuletan dan kerja keras kami, H Basir sering memberi nasihat agar kami juga memperhatikan kondisi tubuh. Kami harus jaga kesehatan. H Basir selalu mengingatkan itu sebab saat awal-awal kariernya di dunia kewartawanan, ia juga pernah sakit. Katanya sakitnya parah dan ia hanya bisa terbaring. Beberapa bulan ia tak masuk kantor.

"Jaga kesehatan, Dek. Tidak ada gunanya gajimu itu kalau kau sakit." Begitu inti pesannya. Dan itu selalu ia ulang ketika kami bertemu. Baik saat di ruang redaksi hingga di kantin saat kami secara kebetulan makan bersama.

Saat saya kemudian benar-benar sakit 2012 lalu, saya selalu mengingat nasihat H Basir itu. Apalagi ia memang tak hanya sekali datang menjenguk saya.

Di bulan Juni 2012, beberapa hari sebelum saya keluar dari rumah sakit karena dokter menyarankan berobat jalan saja, H Basir kembali menjenguk saya. Saat itu magrib. H Basir datang bersama Pak Ical, Pemimpin Redaksi kami. Pada akhir pertemuan itu, H Basir kembali berpesan. Katanya, kelak kalau sembuh, saya harus pintar-pintar menjaga kesehatan.

"Hubungi saya kalau ada masalah. Rumah saya dekat di sini. Saya paham kondisimu Dek sebab saya juga pernah mengalaminya." Begitu kalimat terakhirnya sebelum akhirnya kami berpisah.

Beberapa pekan kemudian, saya dapat kabar, H Basir ternyata jatuh sakit. Menurut beberapa teman, sakitnya kini lebih parah. Ia lama tidak sadar.

Belakangan, setelah berbulan-bulan dirawat, teman mengabarkan kondisinya membaik. Tapi ia tetap tak bisa bicara dan mengenali orang. Meski begitu, sebagai teman kantor kabar itu sudah menyenangkan.

Namun hari ini, ternyata Tuhan sudah menghendakinya. H Basir telah berpulang ke pangkuan Ilahi.
Selamat jalan Pak Haji. Pergilah dengan tenang sebab kami mencintaimu.

Barru, 9 Juli 2013
(Lagi sedih di atas kursi roda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya