Rabu, 17 Juli 2013

Pak Menteri, yang Jual Diri Bagaimana?

Sugiyanto warga yang beruntung. Bermodal kertas karton bertuliskan rencana menjual ginjal demi menebus ijazah anaknya dan tentu saja kamera wartawan, semua masalahnya selesai.


Sebagai bonus "kenekatannya", putrinya, Sarah Melanda Ayu, 17 yang ijazahnya tertahan di pondok pesantren, juga mendapat beasiswa.

"Urusan ijazah ini kementerian yang take over. Kedua, kita tidak berhenti sampai di situ. Ayu bilang mau lanjut kuliah, Ayu condong ke eventuality organizer, traveling, dan pariwisata. Jadi Mbak Ayu bisa kuliah, kami siapkan supaya tidak terbebani biaya pendidikannya.”
Begitu kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh di Gedung Kemendikbud, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, 28 Juni lalu.

Kalau akhirnya pria yang berprofesi sebagai tukang jahit itu terharu, terisak, lalu mencium tangan Pak Menteri, itu wajar. Dia tak perlu lagi menjual ginjalnya dan anaknya juga akan kuliah. Sungguh sebuah berkah yang berawal dari aksi "lelang ginjal" di Bundaran Hotel Indonesia.

Tapi mungkin hanya Sugiyanto yang seberuntung itu. Ataupun kalau ada selain dia, hanya segelintir. Sangat sedikit.

Sebab hingga hari ini, masih banyak orang di sekitar kita, yang kisahnya lebih getir. Mereka tak hanya berencana menjual ginjal, tapi memang sudah menjual dirinya.

Saya punya kisah itu. Suatu malam di 2010, ketika lagi pengumpulan data untuk sebuah keperluan, saya sengaja berkeliling Kota Makassar. Beberapa ruas jalan yang terkenal dengan perempuan malamnya saya datangi. Termasuk Jl. G. Latimojong. Dan sampailah saya di lampu merah.

Meski sudah dini hari dan kendaraan sudah sepi, saya tetap berhenti di lampu merah. Lalu muncullah seorang ibu-ibu. Dia PSK, tapi melihat wajah dan body-nya, ia lebih pas disebut ibu-ibu. Ia sudah tak layak menjajakkan tubuhnya. Sebab sepertinya hanya keberuntungan saja yang menaungi hingga "kerja malamnya" membuahkan hasil menggembirakan.

Singkat cerita, setelah ia memelas dan menceritakan nasibnya dini hari itu yang tanpa pelanggan, saya bersedia membayarnya Rp200 ribu. Dan kami pun mencari penginapan.

Karena tujuan awal memang untuk cari data, di penginapan saya hanya tidur-tiduran di ranjang. Tentu sambil mengorek informasi tentang dia dan keluarganya.

"Saya punya anak, Pak. Saya harus pulang sebelum pagi untuk mengantar dia ke sekolah," kata ibu itu mendesak agar saya berhenti bertanya. Ia ingin saya segera mengambil hak untuk pembayaran Rp200 ribu yang telah diterimanya.

Pada akhirnya ibu itu pun pulang. Kami berpisah saat subuh sudah menyapa.

Masih lanjutan pengumpulan data itu, saya mendatangi tempat lain dan bertemu perempuan muda. Sebut saja Luli. Katanya dia datang dari luar Sulsel. Karena usianya baru 19 tahun, tak mungkin alasannya menjual diri untuk sekolah anaknya seperti ibu yang saya temui tadi.

"Saya hanya sempat SMP. Tidak ada biaya. Saya pernah jadi TKW tapi ditipu. Saya menjual diri agar orangtuaku di kampung bisa makan dan hidup. Adik-adik saya juga bisa tetap sekolah." Kira-kira seperti itu alasan perempuan muda tersebut saat saya berbincang dengannya. Entah ia jujur atau sedang berbohong. Yang pasti, setelah itu kami sering berbincang tentang hidupnya.

Jelas, nasib Sugiyanto lebih baik dari ibu yang saya temui dan Luli, si gadis muda. Tapi semua tentang pendidikan dan beratnya hidup. Cuma, seperti saya bilang tadi, Sugiyanto dan Ayu lebih beruntung. Mereka hanya perlu kertas karton dan megaphone lalu mengumumkan keinginannya menjual ginjal. Setelah itu, banyak yang iba, termasuk Pak Menteri.

Sementara si Luli dan ibu tadi, tidak mungkin akan ke flyover, dan dengan megaphone berteriak menjual bagian intim tubuhnya lalu berharap nasib baik di pihaknya. Tak akan ada yang iba. Malah bisa jadi yang mereka dapatkan hanya cemooh.

Jadi, cara haram untuk melanjutkan hidup dan membiayai pendidikan orang tercintanya pasti akan terus mereka lakukan. Sebab itulah jalan keluar mereka saat ini. Lalu jika para menteri di negeri ini tetap tak peduli pada nasib mereka, maka itu akan jadi garis hidup yang abadi ibu-ibu dan Luli-Luli yang lain.

Makassar, 1 Juli 2013
(Pagi yang dingin di awal bulan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya